Rindu Peri Tanpa Sayap, Cerita Pendek
INIKECE - Mataku terfokus di depan gedung bioskop yang memajang poster film terbaru berjudul Angel of Peace. Terdapat gambar peri wanita dengan mahkota di kepalanya. Rambutnya pirang terurai seperti rambuku.
Baju putih panjang snagat indah, dan ia mempunyai sayap putih di punggungnya. Sayap itu seperti penyempurna keindahannya.
"Bidadari itu cantik sekali," ucap seorang anak kecil yang tiba-tiba berargumen di sampingku.
Bidadari itu mengingatkanku pada masa laluku. Entah masa lalu yang indah atau tidak, yang pasti aku harus belajar beryukur dengan kehidupanku yang sekarang.
***
Pagi itu aku memandang jendela kamarku dengan tatapan sayu. Awan putih tebal yang ada di luar jendela bergulung-gulung diterpa angin. Birunya langit pagi membungkus awan-awan itu seperti permen kapas dalam mangkuk. Jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan, tak lagi kuhiraukan. Aku masih mengantuk dan tak bersemangat untuk bangun.
"Clara, sarapanmu sudah siap!" Suara ibu yang memanggilku dari ruang makan membuatku terpaksa untuk bangun dan bersiap-siap untuk pergi bekerja.
Setelah menyantap roti bakar dengan selai stroberi kesukaanku, aku berangkat kerja dengan berjalan kaki. Angin tidak begitu kencang pagi itu. Sepoi-sepoi meniup daun yang bergelantungan di pohon. Banyak peri bersayap hijau yang memenuhi jalan. Entah ada urusan apa, mereka sangat berisik sekali.
Rambut pirang panjangku diikat ke belakang, serupa dengan seragam cokelatku dan kontras dengan sayapku yang berwarna putih. Ya, masa laluku adalah seorang pergi. Di dunia peri dulu, aku bekerja sebagai penjaga kedamaian di kota Serte, kota peri.
Jangan berpikir bahwa aku sangat berotot untuk menjadi seorang penjaga kedamaian adalah takdirku. Bagiku, pekerjaan sebagai penjaga kedamaian di Serte adalah pekerjaan yang memakan gaji buta. Untuk apa aku dan beberapa peri bersayap putih lain menjaga kota yang sudah damai ini?
Pernah aku berkunjung ke ujung kota, di mana terdapat tembok besar mengelilingi perbatasan kota itu. Aku terbang ke puncak tembok itu untuk melihat apa yang membuat tembok besar ini dibangun. Yang kulihat hanyalah hamparan awan kosong dan beberapa burung bangau merah muda yang tengah bertransmigrasi.
Serte tidak begitu besar, karena kami berada di atas awan yang diliputi mantra sihir. Pesawat-pesawat manusia tak bisa melihat atau menabrak kota kami karena perlindungan mantra sihir itu. Meski kota ini kota kecil, Serte adalah kota yang sangat padat. Bangunan-bangunan menjulang tinggi untuk memantau tugas para peri di dunia manusia.
Hal yang uni di Serte adalah, pekerjaan ditentukan oleh warna sayap. Mungkin yang diketahui manusia, sayap peri hanya berwarna putih dan cokelat. Tapi percayalah, sayap peri sangat berwarna-warni. Itu akan sangat membosankan mengetahui sayap seorang peri yang akan tumbuh pada usia tujuh tahun, dan di situ kita langsung tahu pekerjaan di masa depan.
Untuk yang menyukai pekerjaannya di masa depan, tentu akan bersemangat sekali menjalani hidupnya. Tapi jika menyukai pekerjaannya, seperti aku, akan berusaha bersemangat untuk menjalani hidup daripada mati karena terlalu stres.
Aku ingat sekali saat aku berusia lima tahun, aku sangat tidak sabar untuk melihat apa warna sayapku nanti. Kala itu aku sangat ingin memiliki sayap merah muda seperti ibuku, dan bisa menjadi model terkenal, karena mayoritas peri bersayap merah muda adalah peri yang cantik atau tampan.
Aku terus berdoa kepada Tuhan agar aku diberi sayap merah muda. Hingga suatu pagi di usiaku yang ketujuh tahun, aku benar-benar ingin mengecat sayapku. Beberapa helai bulu putih cerah tumbuh di punggungku. Ayah, ibu, serta kakaku sangat senang sekali kala itu, karena mereka merasa punya pelindung di keluarga.
Tapi aku menangis setiap malam karena aku sungguh tidak menginginkan sayap putih. Mungkin bagi sebagian peri berpikir, aku seharusnya bangga dengan sayap putih karena identik dengan kesucian dan tugas yang sangat amanah. Tapi bagiku tidak. Bagiku, putih adalah kekosongan.
Hingga pada suatu sore, aku benar-benar melakukan hal yang menurutku berarti dalam hidupku. Di kota Serte terdapat gedung yang sangat tinggi bernama Gedung Mertalis. Tingginya mencapai seratus lantai. Gedung ini adalah pusat dari kota Serte.
Kantor perairan, pabrik makanan, pabrik pakaian, kantor keuangan, dan semua hal tentang Serte ada di gedung ini. Dan di puncak gedung ini, lantai seratus dari Mertalis merupakan portal ajaib yang bisa membawa peri ke dunia manusia.
Peri terkadang juga berurusan dengan manusia dalam hal tertentu yang sangat rahasia. Aku bahkan tak tertarik dengan urusan itu. Yang membuatku tertarik adalah, aku ingin pergi ke dunia manusia selamanya.
Kata ayahku, yang merupakan anggota pemerintahan, jika peri datang ke dunia manusia, peri akan kehilangan sayapnya. Pikirku, itu akan bagus sekali jika aku harus merelakan sayapku pergi dan bekerja di dunia manusia tanpa pandang bulu.
Hingga akhirnya aku pergi ke puncak gedung itu tanpa sepengetahuan keluargaku. Aku menekan tombol yang akan membuka portal pembatas dunia pergi dan manusia. Saat portal itu terbuka, yang harus aku lakukan hanyalah menahan napas dan melompat dari puncak gedung itu.
Ketika portal berukuran besar itu telah terbuka di depan mataku, aku merasa gugup. Tak ada yang aneh dengan portal itu. Seperti jendela berisi gambaran bagian luar gedung ini. Aku hanya takut untuk melompat. Dan akhirnya aku menahan napas dan, hap.
Aku melompat dengan kepala dibawah. Sayapku tak bisa digerakkan untuk memperlamat gerakanku. Dan hal menarik yang pernah kusaksikan adalah, satu persatu buluku mulai rontok seperti terkikis angin. Dan semakin dekat aku dengan daratan, buluku sudah mulai habis, dan aku mendarat pelan di kota manusia dengan posisi kakiku di bawah. Aku menjadi peri tanpa sayap, atau lebih kerennya, aku sekarang adalah manusia.
Aku memakai pakaian yang sama seperti pakaian yang terakhir kali kukenakan di dunia peri tadi. Matahari sore sudah menunjukkan warna jingganya di langit New York. Aku tahu bahwa portal itu hanya mengarah ke New York. Dan di New York ada beberapa portal lagi yang bisa mengarah ke negara lain atau kembali ke Serte. Tapi aku tidak ingin kembali ke Serte.
Aku yang membawa sekantong uang Serte, atau di dunia manusia disebut dengan emas, langsung saja aku menuju ke bank terdekat kota itu dan menurkan emas itu dengan Dollar untuk menyewa apartemen.
Ternyata uang Serte laku sangat mahal di sini. Lima uang Serte yang kutukarkan bisa untuk membeli satu blok apartemen untuk tinggal di New York. Hingga akhirnya aku menabung semua uang Serte yang telah menjadi Dollar. Aku tak perlu bekerja untuk bisa hidup di kota besar ini.
Tapi setiap aku jalan-jalan di sore hari mengelilingi komplek apartemen, aku selalu menemui ornag-orang yang tubuhnya tidak sempurna. Ada yang tidak memiliki kaki, tidak memiliki lengen, ada yang berjalan memakai tongkat karena ia tak bisa melihat. Dan banyak lagi ketidaksempurnaan itu.
Aku sangat tidak tahu jika manusia ada yang tidak sempurna. Aku kira manusia sama seperti peri hanya saja tanpa sayap. Tapi ternyata mereka memiliki kekurangan-kekurangan yang tak dipunyai peri. Aku jadi merasa malu dengan diriku sendiri. Aku yang sempurna dengan sayap putih, masih merasa hidupku adalah hidup paling tak sempurna. Kini, setelah tahu kehidupan manusia dengan segala kekurangannya, aku menjadi menyesal karena tidak bersyukur. Harusnya aku berpikir panjang.
Hingga akhirnya aku berhenti di depan gedung bioskop yang memajang poster film terbaru berjudul Angel of Peace. Terdapat gambar peri wanita dengan mahkota di kepalanya. Rambutnya pirang terurai seperti rambuku. Bajunya putih panjang sangat indah, dan ia mempunyai sayap putih, seperti sayapku dulu.
Aku rindu dengan sayapku. Aku bahkan rindu dengan pekerjaan yang kusia-siakan dulu. New York tidak seaman Serte. Banyak kejahatan di sini. Yang bisa kulakukan adalah, aku tidak boleh menjadi pengecut dan harus belajar untuk bersyukur.
Tentang Penulis
Annisa Nurul Aini, gadis kelahiran Nganjuk, 4 November 1996 ini tengah menggeluti hobi menulisnya. Pernah secara tidak sengaja mendapat penghargaan dari Nickelodeon Singapura karena menulis esai mengenai Global Warming pada 2009. Selain menulis cerpen dan esai, Annisa juga suka menulis surat untuk sahabat-sahabat penanya di berbagai berlahan dunia.
0 comments:
Post a Comment