Perempuan Penggemar Payung
INIKECE - Badannya sudah dirasa tak enak sejak tadi malam. Kerongkongan sulit menelan, tulang serba linu, badan agak hangat, meski belum demam. Udara belakangan ini memang tidak bersahabat. Kadang-kadang panas terik, kadang-kadang mendung menggantung, kadang-kadang hujan tak lepas-lepas.
Dan perempuan itu, selalu menyiapkan payung did alam tasnya. Juga di pinggir jok mobilnya. Termasuk di ruang kantor, serta satu payung hijau yang dititipkannya pada sekretaris kantor.
Ia punya banyak payung. Baginya, payung adalah benda yang jauh lebih penting dibanding celana dalam. Ini serius. Bila pada suatu hari ia tak bawa payung, lalu cuaca tiba-tiba berubah sekena-kenanya, maka siallah hari itu baginya.
Tapi, bila ia hanya tak pakai celana dalam, maka tidak akan ada bencana apa pun yang bakal menimpa. Tidak ada. Jangan dikira ia tak pernah membuktikannya. Pernah, ia tak hanya sehari tak pakai celana dalam. Dan hidupnya baik-baik saja. Masuk angin pun tidak.
Hari ini ia gelisah. Badan yang terasa berantakan ini menahannya untuk banyak gerak. Padahal, ada begitu banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. Di luar, rintik hujan turun dengan rapi serupa tirai. Turun dengan sabar dan rajin. Tak terlihat ada gelagat untuk mereda atau melebat.
Sekali lagi ia melihat keberadaan payungnya di dalam tas. Ada payung lipat kesayangan warna hitam motif bulat-bulat putih dengan salah satu kawat yang sebentar lagi akan lepas.
Sebentar. ia tak bisa pergi begitu saja hanya bermodalkan satu payung. Oh, dua, dengan payung besar hadiah dari klien tiga tahun lalu, berwarna putih dengan logo salah satu merek minuman beralkohol warna hijau tua. Payung promosi yang selalu ada di samping jok mobilnya.
"Belum berangkat?" tanya lelaki di hadapan sang perempuan penggemar payung.
Perempuan itu mengangkat bahu.
"Bawa payung, 'kan?"
Ia mengangguk.
"Sudah siang. Berangkatlah."
Perempuan penggemar payung menarik napas panjang, lalu mengempaskan udara dari hidung. Mendengus keras.
"Kamu marah? Apa salahku?" tanya sang lelaki.
"Aku sakit. Kamu enggak tahu, 'kan? Kamu enggak akan pernah tahu kalau aku tidak bilang. Ya, 'kan?"
"Oh, maaf. ada yang bisa dibantu?"
Pertanyaan tersebut tak menuai jawaban.
Pandangan perempuan itu masih tak lepas dari jendela. Seolah memohon agar rinai hujan menyudah dan udara menghangat. Paling tidak, ia perlu matahari sejenak pagi ini.
"Mau sampai kapan kamu di depan jendela begitu?"
Tanpa menoleh, perempuan itu bergegas ke luar rumah, membuka payung kesayangannya yang berwarna hitam dengan motif polkadot putih. Dengan langkah cepat ia menerabas gerimis pekat, menuju mobilnya yang diparkir di carport tanpa atap.
Kesegeraan yang tepat. Begitu pintu mobil ditutup, air hujan seperti muntah. Tumpah ruah, deras dengan bulir besar-besar. Dan perempuan itu pun menangis keras, tersedu sedang dengan dada yang sesak. Tubuhnya terguncang hebat, seirama hujan. Ia yakin, saatnya sudah tiba. Dan ia tahu, payung akan menyelamatkanya dari penderitaan ini.
***
Lelaki itu, yang tidak pernah tahu bahwa ia sakit bila tak diberi tahu, adalah orang yang pertama kali memberinya payung. Payung transparan berwarna merah jambu. Diberikan pada pertemuan kedua ketika pada pertemuan pertama ia basah kuyup kehujanan.
Lelaki yang mengaku terpikat kepadanya saat pertama kali jumpa itu serta-merta merasa bersalah karena tidak tahu perempuan itu tak pernah membawa payung seumur hidupnya. Lelaki itu pun yakin, perempuan yang bila jalan kerap tersandung kakinya sendiri itu, penggemar warna merah muda.
Seharusnyalah semua perempuan di dunia ini suka pink. Menurutnya, tidak ada perempuan yang tidak suka warna semu merah jambu. Iya, 'kan?
Lelaki itu tidak tahu bahwa tak semua perempuan penyuka merah jambu. Termasuk perempuan, yang pada akhirnya, menjadi penggemar payung itu.
Diam-diam perempuan penyuka payung kerap berharap langit menumpahkan air lebih sering, agar ia bisa membuka payungnya. Karena dibawah payung, berselimut dingin hujan, ia selalu merasa hidupnya menjadi baik-baik saja. Ia merasa terlindungi, nyaman, dan tenang.
Perasaan itulah yang ia hayati ketika berjumpa dengan lelaki yang memperkenalkannya pada payung. Perasaan terlindungi, nyaman, tenang dan yakin hidupnya akan baik-baik saja.
Tapi, perasaannya seperti terlipat enam belas ketika menyadari bahwa lelaki itu, yang kini sudah terikat dan hanya maut yang boleh memisahkan, tak pernah menanangkannya. Lelaki itu bahkan tidak tahu kalau ia sakit! Oh, kalaupun tahu, lelaki itu juga tidak tahu harus berbuat apa!
Tiga tahun lalu perempuan penggemar payung, sedang hamil dua bulan perutnya melilit, nyeri, mulas, sakit, perih, terus-menurus tanpa jeda. Lelaki itu khawatir, tentu saja. Tapi, ia tak menahannya berangkat ke kantor, tak menanyakan kabarnya sekali pun, dan ketika perempuan itu menelepon.
"Perutku sakit sekali. Aku perlu ke dokter," lelaki itu bertanya, "Sudah booking dokternya?"
"Sudah."
"Bagus kalau sudah."
"Kamu di mana?"
"Di kantor."
"Oh, ada rencana?"
"Ini sebentar lagi meeting."
Dalam pikiran perempuan penyuka payung itu, tak ada niat pria itu mengantarnya ke dokter.
Malam harinya ketika, seperti biasa, perempuan itu tiba di rumah pada pukul sebelas malam, lelaki itu tak menanyakan kabar apa pun. Tidak menanyakan kabar sakitnya, tidak menanyakan hasil konsultasinya dengan dokter.
Tak lama setelah itu, janin di kandungannya gugur. Rasa bersalah menyerangnya tak sudah-sudah. Sakit di perut bagian bawah tak setara dengan perasaan yang menghujam dengan ganas. Perih yang mengamuk. Ia tak kuasa menelannya sendiri.
"Semua ini bukan milik kita. Berarti Tuhan belum memercayakan anak kepada kita." Katanya dengan nada menghibur, tanpa pedih perih, tanpa ada tanda ia terluka parah seperti perempuannya.
Luka itu dibawa perempuan penyuka payung tak terbilang tahun. Dibiarkan terbuka, tersayat berulang kali oleh ucapan yang (menurutnya) tak berhanti. Janin berusia dua bulan itu membawa cedera hati, ke mana pun ia pergi.
Janin yang belum berjenis kelamin itu dibubuhkan nama: Umbra. Bayangan yang tak henti berkelebat di sekitarnya, terutama ketika ia sedang mengembangkan payung. Bukan kebetulan jika umbra adalah kata dasar dari umbraculum, nama Latin yang kemudian menjadi umbrella. Payung. Benda kesayangannya.
***
Butir air membentur mobilnya dengan deras, memukul-mukul perasaannya. Ia begitu merasa sendirian. Telepon selulernya berdering nyaring, membangunkannya dari buai pedih dan derai tangis, membangunkannya dari cerita panjang yang berputar-putar di kepalanya.
"Ya, halo..."
"Selamat pagi, Bu. Ini Tyas, Bu. Saya mau mengingatkan ada meeting jam 9, Bu."
"Tolong batalkan. Saya mengubah agenda dna peserta meeting. Tolong siapkan ruang meeting kecil di samping ruangan saya. Tidak usah menyiapkan projector. Tidak ada presentasi. Tolong segera kabarkan Harry, Eron, Damar, dan Mira untuk hadir. Suruh mereka membatalkan semua jadwal pukul 09.00 hingga 12.00."
Tyas, sang sekretaris yang menyimpankan payung hijau besar di bawah komputernya, menelan ludah. Bosnya mendadak memanggil semua kepala divisi. Pelan ia bertnaya, "Saya ikut hadir untuk membuat minutes of meeting, Bu?"
"Tidak perlu. Terima kasih, ya."
Ini pasti kejadian genting. Bu Bos tidak pernah dadakan. Semuanya terencana. Sangat detail, tidak pernah menoleransi kesalahan sedikit pun. Tidak, Bu Bos tidak pernah marah-marah, apalagi mengamuk. Ia hanya bicara dengan penuh tekanan, jika ada yang tidak sesuai dengan rencana. Lalu memastikan semua kembali berjalan benar, tiap 30 menit sekali.
Bu Bos juga tak pernah memanggil SELURUH kepala divisi. Pagi-pagi. Ada apa ini? Tyas mulai berkeringat dingin. Ia menyiapkan ruang rapat dengan perasaan tidak tenang. Hujan deras di luar sana menghasilkan embun di jendela ruang rapat yang makin dingin.
Hujan, seperti biasa, menuai macet panjang. Perempuan penggemar payung, Bu Bos, menikmatinya. Ia melihat Umbra menari di kap mobilnya. Biasalah anak-anak, senang sekali mandi hujan. Tangannya melambai-lambai. Ah... bahagia sekali anak itu. Tadinya ia ingin mengajaknya masuk ke dalam mobil atau memberikannya payung mungil yang ia simpan di laci dashboard, kalau-kalau Umbra membutuhkannya.
Tapi tak usahlah. Biarlah ia menikmati tiap tetes air yang jatuh, sambil menengadah lalu membuka bibir mungilnya. Lucu sekali. Pekik girang kecilnya terdengar sampai ke dalam mobil. Melihat Umbra senang membuat ia heran, mengapa ibu-ibu sering melarang anaknya main hujan, atas nama pilek? Tahukah mereka bahwa pilek tidak didatangkan bersama hujan? Pilek itu virus yang mampir ke dalam tubuh yang sakit. Jika hati gembira, manalah mungkin virus berani mampir?
Sakit itu tak hanya tubuh, juga hati, juga pikiran, juga keinginan, juga kekuasaan, juga harapan, juga religi, juga makanan, juga minuman, juga meja-meja kantor, juga orang-orang.
***
Pukul 08.50.
Tyas mendengar denting lift dan detak sepatu mendekat. Tak biasanya, Bu Bos langsung menuju ruang rapat tanpa menaruh tasnya terlebih dahulu. Cepat ia membagi tugas dan rencana tahun ini dengan begitu tergesa kepada seluruh kepala divisi yang sudah duduk kaku di hadapannya.
Ruangan ini panas. Saya perlu membuka jendela sedikit."
"Ada yang keberatan?" tanyanya.
Tidak seorang pun menjawab. Ruang rapat itu dinginnya luar biasa. Hujan dan AC central. Perpaduan sempurna.
Umbra bergelayut di ujung roknya. Tertawa-tawa gembira. Rambutnya dikibas-kibaskan dan memercik sisa air hujan dari luar tadi. Perempuan penggemar payung tersenyum. Hatinya tenang. Umbra tak ke mana-mana. Mereka bisa bermain bersama. Sesegera yang ia bisa.
Gedung kantor riuh. Gema teriak percah menabrak-nabrak dinding. Dari lantai 32, melayang tubuh perempuan, melompat dengan indah sambil mengembangkan payung besar, berwarna merah jambu transparan.
Perasaan itulah yang ia hayati ketika berjumpa dengan lelaki yang memperkenalkannya pada payung. Perasaan terlindungi, nyaman, tenang dan yakin hidupnya akan baik-baik saja.
Tapi, perasaannya seperti terlipat enam belas ketika menyadari bahwa lelaki itu, yang kini sudah terikat dan hanya maut yang boleh memisahkan, tak pernah menanangkannya. Lelaki itu bahkan tidak tahu kalau ia sakit! Oh, kalaupun tahu, lelaki itu juga tidak tahu harus berbuat apa!
Tiga tahun lalu perempuan penggemar payung, sedang hamil dua bulan perutnya melilit, nyeri, mulas, sakit, perih, terus-menurus tanpa jeda. Lelaki itu khawatir, tentu saja. Tapi, ia tak menahannya berangkat ke kantor, tak menanyakan kabarnya sekali pun, dan ketika perempuan itu menelepon.
"Perutku sakit sekali. Aku perlu ke dokter," lelaki itu bertanya, "Sudah booking dokternya?"
"Sudah."
"Bagus kalau sudah."
"Kamu di mana?"
"Di kantor."
"Oh, ada rencana?"
"Ini sebentar lagi meeting."
Dalam pikiran perempuan penyuka payung itu, tak ada niat pria itu mengantarnya ke dokter.
Malam harinya ketika, seperti biasa, perempuan itu tiba di rumah pada pukul sebelas malam, lelaki itu tak menanyakan kabar apa pun. Tidak menanyakan kabar sakitnya, tidak menanyakan hasil konsultasinya dengan dokter.
Tak lama setelah itu, janin di kandungannya gugur. Rasa bersalah menyerangnya tak sudah-sudah. Sakit di perut bagian bawah tak setara dengan perasaan yang menghujam dengan ganas. Perih yang mengamuk. Ia tak kuasa menelannya sendiri.
"Semua ini bukan milik kita. Berarti Tuhan belum memercayakan anak kepada kita." Katanya dengan nada menghibur, tanpa pedih perih, tanpa ada tanda ia terluka parah seperti perempuannya.
Luka itu dibawa perempuan penyuka payung tak terbilang tahun. Dibiarkan terbuka, tersayat berulang kali oleh ucapan yang (menurutnya) tak berhanti. Janin berusia dua bulan itu membawa cedera hati, ke mana pun ia pergi.
Janin yang belum berjenis kelamin itu dibubuhkan nama: Umbra. Bayangan yang tak henti berkelebat di sekitarnya, terutama ketika ia sedang mengembangkan payung. Bukan kebetulan jika umbra adalah kata dasar dari umbraculum, nama Latin yang kemudian menjadi umbrella. Payung. Benda kesayangannya.
***
Butir air membentur mobilnya dengan deras, memukul-mukul perasaannya. Ia begitu merasa sendirian. Telepon selulernya berdering nyaring, membangunkannya dari buai pedih dan derai tangis, membangunkannya dari cerita panjang yang berputar-putar di kepalanya.
"Ya, halo..."
"Selamat pagi, Bu. Ini Tyas, Bu. Saya mau mengingatkan ada meeting jam 9, Bu."
"Tolong batalkan. Saya mengubah agenda dna peserta meeting. Tolong siapkan ruang meeting kecil di samping ruangan saya. Tidak usah menyiapkan projector. Tidak ada presentasi. Tolong segera kabarkan Harry, Eron, Damar, dan Mira untuk hadir. Suruh mereka membatalkan semua jadwal pukul 09.00 hingga 12.00."
Tyas, sang sekretaris yang menyimpankan payung hijau besar di bawah komputernya, menelan ludah. Bosnya mendadak memanggil semua kepala divisi. Pelan ia bertnaya, "Saya ikut hadir untuk membuat minutes of meeting, Bu?"
"Tidak perlu. Terima kasih, ya."
Ini pasti kejadian genting. Bu Bos tidak pernah dadakan. Semuanya terencana. Sangat detail, tidak pernah menoleransi kesalahan sedikit pun. Tidak, Bu Bos tidak pernah marah-marah, apalagi mengamuk. Ia hanya bicara dengan penuh tekanan, jika ada yang tidak sesuai dengan rencana. Lalu memastikan semua kembali berjalan benar, tiap 30 menit sekali.
Bu Bos juga tak pernah memanggil SELURUH kepala divisi. Pagi-pagi. Ada apa ini? Tyas mulai berkeringat dingin. Ia menyiapkan ruang rapat dengan perasaan tidak tenang. Hujan deras di luar sana menghasilkan embun di jendela ruang rapat yang makin dingin.
Hujan, seperti biasa, menuai macet panjang. Perempuan penggemar payung, Bu Bos, menikmatinya. Ia melihat Umbra menari di kap mobilnya. Biasalah anak-anak, senang sekali mandi hujan. Tangannya melambai-lambai. Ah... bahagia sekali anak itu. Tadinya ia ingin mengajaknya masuk ke dalam mobil atau memberikannya payung mungil yang ia simpan di laci dashboard, kalau-kalau Umbra membutuhkannya.
Tapi tak usahlah. Biarlah ia menikmati tiap tetes air yang jatuh, sambil menengadah lalu membuka bibir mungilnya. Lucu sekali. Pekik girang kecilnya terdengar sampai ke dalam mobil. Melihat Umbra senang membuat ia heran, mengapa ibu-ibu sering melarang anaknya main hujan, atas nama pilek? Tahukah mereka bahwa pilek tidak didatangkan bersama hujan? Pilek itu virus yang mampir ke dalam tubuh yang sakit. Jika hati gembira, manalah mungkin virus berani mampir?
Sakit itu tak hanya tubuh, juga hati, juga pikiran, juga keinginan, juga kekuasaan, juga harapan, juga religi, juga makanan, juga minuman, juga meja-meja kantor, juga orang-orang.
***
Pukul 08.50.
Tyas mendengar denting lift dan detak sepatu mendekat. Tak biasanya, Bu Bos langsung menuju ruang rapat tanpa menaruh tasnya terlebih dahulu. Cepat ia membagi tugas dan rencana tahun ini dengan begitu tergesa kepada seluruh kepala divisi yang sudah duduk kaku di hadapannya.
Ruangan ini panas. Saya perlu membuka jendela sedikit."
"Ada yang keberatan?" tanyanya.
Tidak seorang pun menjawab. Ruang rapat itu dinginnya luar biasa. Hujan dan AC central. Perpaduan sempurna.
Umbra bergelayut di ujung roknya. Tertawa-tawa gembira. Rambutnya dikibas-kibaskan dan memercik sisa air hujan dari luar tadi. Perempuan penggemar payung tersenyum. Hatinya tenang. Umbra tak ke mana-mana. Mereka bisa bermain bersama. Sesegera yang ia bisa.
Gedung kantor riuh. Gema teriak percah menabrak-nabrak dinding. Dari lantai 32, melayang tubuh perempuan, melompat dengan indah sambil mengembangkan payung besar, berwarna merah jambu transparan.
0 comments:
Post a Comment