Awalkan Hari Dengan Secangkir Teh Manis, Cerita Ramadan
INIKECE - Cerita Ramadan yang wajib kalian baca, Teh Manis yang bisa menemanimu hingga waktu berbuka puasa. Dengan membaca bisa menambah wawasan dari Hari Ramadan ini!
Boleh dikatakan, kepalaku saat ini serupa gumpalan awan nimbus yang gelap, sangar, siap menumpahkan hujan. Aku beigtu terdesak oleh ide-ide cemerlang yang berletusan di kepala untuk segera menghujani dunia dengan sebuah karya sastra.
Barang kali selama ini belum ada yang menulisnya. Begitulah aku jika sudah diselimuti semangat berkarya, entah siang atau malam, segala situasi akan tetap kuterjang, kalau perlu kujungkir balik demi lahirnya sebuah ide brilian yang akan mengubah peradaban dunia.
Sudah adakah yang menulis tentang pertemuan seorang anak dengan bulan Ramadan yang ternyata menyerupai bidadari cantik? Jika ada, sungguhkan cerita itu orisinal?
Itulah yang aku alami ketika usia baligh, lewat sebuah mimpi. Mimpi basah. Karena akhirnya aku betulan pipis di atas tempat tidur. Tempat tidurku sebuah matras tipis yang dipungut bapak dari tempat pembuangan kompleks rumah orang kaya.
Dulu, kami memang miskin, nyaris gelandangan karena tempat tinggal kami satu-satunya dilibas seseorang pengacara banyak cakap yang menjanjikan tanah kami tak akan jadi sengketa. Uang tabungan bapak ludes untuk membayar sang pengacara. Dan tanah kami dirampok orang kaya cerdik yang menyodorkan surat-surat penting ke depan hakim. Usaha bapak pun tutup buku.
Siang dilahap sore, sore direngkuh malam. Otak kami sekeluarga tak pernah berhenti berputar seperti gasing mainan anak-anak murahan dari plastik daur ulang. Satu-satunya yang kami pikirkan adalah, pekerjaan macam apa yang akan kami lakoni demi mengembalikan stabilitas perekonomian keluarga yang diambang neraka jahanam?
Sering ia memasang harga lebih tinggi dari harga normal supaya nelayan yang menjual tangkapannya bisa pulang ke rumah dengan senyum semringah. Ia bayangkan dirinya sendiri membawa uang setimpal kepada anak istri untuk sekadar menyambung hidup agar esok bisa melaut lagi. Begitu seterusnya sampai mati. Sampai anak-anaknya mewarisi profesi mulai bapaknya.
Menerjang ombak malam yang ganas dengan kelotok sederhana yang sudah dihinggapi lumut dan ditangcapi kulit kerang. Begitulah gulungan nasib berputar, semua menurut peredarannya masing-masing.
Ibuku memilih berjualan pisang goreng untuk takjil buka puasa. Abangku keliling dari masjid ke masjid untuk mencicipi menu berbuka yang dimasak ibu-ibu kampung secara bergilir. Dia memang sedikit pengecut daripada aku. Hanya itu yang bisa ia lakukan agar tak menambah jatah beras yang dimasak sedikit sedikit kami tak punya rumah. Lantas, aku sendiri berbuat apa?
Seperti yang engkau tahu. Aku disini, di gazebo yang baru ditonggakkan di bibir laut, yang dikelilingi perahu-perahu kecil milik nelayan patriotis. Perahu itu bercat merah putih. Di sisi kanan dan kiri digambar wajah para pahlawan. Ada pangeran Antasari, Jenderal Yos Sudarso, ada pula tokoh agama, Kyai Hasyim Asyari, dan Kyai Ahmad Dahlan.
Di klan lain nampaknya perahu sudah berubah warna. Warna warni. Bergambar wajah para artis. Penyanyi dangdut, dan semuanya sudah mulai dihinggapi lumut. Rupanya, perahu itu ditambahkan berdasar klasifikasi. Meski bertolak belakang, sang pemilik tetap akrab satu sama lain.
Di situlah dapat kusimpulkan, bahwa simbol dan gambar bukan hal besar untuk menghalangi persatuan. Terutama, mereka tercipta dari nasib serupa, yaitu sama-sama miskin. Untuk apa pecah belah?
Peristiwa krises keluarga kami memang terjadi di bulan suci. Waktu saat harga-harga naik, tapi darah tidak boleh naik. Maka, di saat sesudahnya kami pun menuai kesucian itu. Bukan sebulan, melainkan sepuluh tahun. Singkat cerita, kondisi perekonomian keluarga kami berubah lebih baik dan jauh lebih baik sebelum kami nyaris gelandangan.
Bapak menjadi pemilik sebuah CV kecil di pinggiran pantai. Kembali dipercaya mendistribusikan hasil nelayan kami. Ibuku punya toko bahan makanan, kakakku membuka warung makan karena terinspirasi masakan ibu-ibu sekampung, dan aku, duduk disini menuangkan tinta demi tinta titah kesuksesan kami dari nol kecil menuju nol besar hingga berada di titik angka satu yang gemilang.
Aku yakin, ceritaku ini akan mengubah hidup seseorang, dan nanti akan mengubah dunia. Asal dikemas dengan kata-kata sastrawi, Susastra, jadi tak sekadar nyastra.
Satu benda yang belum kusingkiran meski kasurku berubah pegas nan empuk dan nyaman adalah matras tipis yang dipungut bapak dari pembuangan kompleks rumah orang kaya.
Meski sekarang kami sudah di kompleks itu. Di situlah aku mimpi basah bertemu bulan Ramadan dalam wujud bidadari cantik. Ia kenakan gaun panjang hijau bambu tunas baru, dengan kerudung menjuntai melayang-layang tertiup angin. Dengan suara lembut, ia menyuruhku menulis pertemuan kami di gazeb ini.
Tapi, apa yang harus kutulis? Bagimana aku mengawali kaliamat pertama yang digdaya? Sedari tadi aku hanya berkata-kata dalam hati. Kertas dan pena tergolek mematung tanpa gerakan. Aku bersemangat, menggebu, tapi sebatas pikiran. Suara sumbang yang tak seorang pun mampu mendengar.
Bisakah karyaku disebut karya sasatra jika tak pernah ditulis? Itu yang terus menerus kepertanyakan. Lantas, kulemparkan kertas dan pena ke laut yang terombang ambing. Mereka pun terombang ambing. Aku terombang ambing. Awan nimbus yang gelap dan sangar itu, akankah disingkirkan bulan?
Para nelayan berdatangan. Jam sembilan malam, saatnya melaut. Seorang anak kecil minta digendong saat menuruni tangga geladak menuju perahu kecil mereka.
"Ayah, aku mau menemanimu menjaraign ikan. Tapi beri aku teh manis."
Ayah bocah lelaki itu pun mengangguk. Ia telah menyiapkan bekal di termos yang sudah memudar gambar bunganya. Tanda sudah dipakai ratusan kali. Ayah itu mengelus kepala si bocah. Ia menasihati sesuatu. "Minum teh manismu saat sahur nanti. Cuma ini yang bisa bapak kasih. Besok puasa lagi, mau?"
Bocah itu mengangguk girang. Begaimana mungkin mereka bisa sebahagia itu? Sedang aku disini ingin menginspirasi semua orang dengan cerita magis pertemuanku bersama bulan suci Ramadan yang menyerupai bidadari?
0 comments:
Post a Comment