INIKECE - Cerita yanng mengisahkan tentang Mbah Yam di bulan Ramadan ini. "Ndi, ayo, bangun! Kita harus ke masjid pendukuhan sekarang, siapin acara buka!" seru Bayu sambil menggoyang-goyangkan tubuh Andi yang terlihat pulas di atas kursi panjang.
"Hmmm...." Andi bangun dengan malas. Matanya masih setengah terpejam.
Bayu selaku ketua kelompok KKN hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kemalasan Andi. "Jangan sampe Pak Hartono liat kamu tidur siang kayak gini, Ndi, bisa-bisa kamu beneran dilaporin ke kampus."
Mendengar nama "Pak Hartono", Andi langsung terperanjat terbangun. Pak Hartono adalah induk semang kelompok KKN 67 yang berasal dari salah satu universitas di Kota Yogyakarta, sekaligus kepala sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di pedukuhan tempat mereka melaksanakan KKN.
Beliau berwatak keras, membuat para mahasiswa KKN menjadi segan bahkan takut padanya, terutama Andi. Sikap ceroboh Andi membuat ia dalam pengawas ketat Pak Hartono. Sedikit lagi kesalahan yang dibuat Andi, sepertinya Pak Hartono akan segera mengambil telepon dan menghubungi pihak kampus.
Meski merasa tidak nyaman karena harus tinggal satu atap dengan Pak Hartono, namun Andi memiliki satu alasan kuat mengapa dia suka tinggal di rumah tersebut. Aisyah. Anak gadis semata wayang Pak Hartono yang masih seusia dengan Andi. Wajah manis dan sifat baik hatinya itu langsung menarik perhatian Andi sejak hari pertama KNN.
Mungkin karena itu juga, Pak Hartono jadi semakin ketat memperhatikan gerak-gerik merek. Sebisa mungkin, Pak Hartono tidak akan membiarkan Aisyah untuk terlalu dekat dengan Andi.
"Ayo, teman-teman yang lain udah pada siap berangkat ke masjid," kata Bayu lagi sambil beranjak pergi. "Kalau kamu beruntung, mungkin kamu bisa bertemu dengan Aisyah di sana."
Andi pun langsung tersenyum mendengarnya. Sambil bersenandung riang, dia mencuci muka dan menyusul teman-temannya yang sedang menunggu di teras.
***
Azan magrib berkumandang dengan merdu. Sejenak, suasana masjid di pendukuhan menjadi sedikit riuh dengan suara denting gelas dan gelak tawa, lalu dilanjutkan dengan suasana khusyuk pada saat menunaikan salat magrib. Setelah selesai salat berjamaah, anggota kelompok KKN berkumpul untuk membicarakan angenda mereka selanjutnya.
"Sekarang, kita ke rumah Kepala Dukuh sebentar. Kita diundang ke sana buat makan malem, sekalian mau diskusi tentang acara pengolahan bahan baku talas besok. Nanti akan ada Pak Hartono dan beberapa orang penting pendukuhan juga yang akan dateng. Sepertinya nggak bakalan lama, karena kita udah harus selesai sebelum isya. Rumah Kepala Dukuh juga dekat sini," jelas Bayu.
Semua anggota kelompok menganggukkan kepala tanda setuju, namun perhatian Andi justru tertuju pada Aisyah yang sedang bersiap pulang dari masjid. Mumpung Pak Hartono mau ke rumah Kepala Dukuh, maka ini saat yang tepat untuk mengantarkan Aisyah pulang, pikir Andi.
"Bay, aku izin sebentar buat pulang ke rumah induk semang, ya. Perutku mendadak sakit," kata Andi sambil memegang perutnya yang sebenarnya baik-baik saja.
Bayu dan beberapa temannya menghela napas panjang. "Ya udah, tapi kalau bisa, jangan lama-lama, ya Ndi. Nanti langsung nyusul ke rumah Kepala Dukuh. Tapi, nggak apa-apa kamu jalan sendirian pulang ke rumah? Tau sendiri, 'kan, jalanan di sini gelap banget kala malem karena belum ada lampu jalan."
Andi mengangguk mantap sambil memeperlihatkan senter yang dibawanya. "Tenang aja, aku bawa senter, kok."
Sedetik setelah mendapat izin dari Bayu dan teman-temannya yang lain, Andi langsung melesat menyusul Aisyah yang sudah berjalan sampai pintu gerbang masjid.
"Hai, Aisyah. Mau pulang?" tanya Andi dengan sedikit terengah.
Aisyah cukup terkejut melihat Andi yang tiba-tiba berada di sampingnya, tapi, dengan cepat, Aisyah langsung mengubah raut wajah terkejutnya dengan senyum yang manis. "Aku mau ke sekolah PAUD sebentar, ada barang yang tertinggal di sana."
"Malem-malem gini? Memang nggak bisa diambil besok aja?"
Aisyah menggeleng. "Nggak bisa, aku perlu barang itu untuk mempersiapkan kegiatan di PAUD besok pagi."
"Aku anter, ya? Bahaya, lho, jalan sendirian pas udah gelap begini."
Aisyah kembali menggeleng pelan. "Nggak usah, terima kasih. Aku udah biasa, kok, jalan sendirian di sini. Warga disini juga baik-baik semua, nggak mungkin ada yang berniat jahat."
"Tetap aja, nggak baik perempuan jalan sendirian malem-malem," kata Andi sambil tetap berusaha menyamakan irama langkahnya dengan Aisyah.
"Tapi, bukannya kamu ada kegiatan sama teman-teman kelompok KKN-mu?" tanya Aisyah sambil menengok ke arah kelompok KKN 67 yang sedang berjalan menuju rumah Kepala Dukuh.
"Nggak apa-apa, aku udah minta ijin sebentar."
Karena Andi terus kukuh untuk menemaninya berjalan kaki ke sekolah PAUD, akhirnya Aisyah pun mengalah. Mereka berdua berjalan bersama menembus gelapnya malam.
Sesampainya di sekolah PAUD, Aisyah dengan cekatan membukan pintu ruang guru, sementara Andi menunggu di luar. Sekolah PAUD ini serem juga kalau malem, pikir Andi. Biasanya, Andi dan teman-temannya hanya mengunjungi sekolah PAUD di pagi hari, saat sekolah ini ramai akan anak-anak dan para orang tua yang mengantar.
Suasana terasa berbeda kalau gelap dan sepi seperti ini. Apalagi, sekolah PAUD ini dikelilingi oleh kebun dan pepohonan yang cukup lebat. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin malam membuat suasana menjadi semakin mencekam.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah yang cukup jelas di balik pepohonan. Andi langsung menoleh secepat kilat. Dia mengarahkan cahaya senternya ke popohonan sekitar, namun dia tidak melihat siapa pun. Perlahan, bulu kuduk Andi mulai berdiri, badannya mulai gemetar ketakutan. Tidak mungkin dia memanggil Aisyah untuk segera kembali, bisa-bisa jatuh harga dirinya sebagai pria pemberani.
Tak lama, akhirnya Aisyah keluar dari ruang guru sambil membawa tas berisi barang yang cukup besar. "Maaf, ya, menunggu lama." kata Aisyah sambil mengunci pintu ruang guru.
"Nggak apa-apa, Aisyah. Ayo, kita cepat pulang," kata Andi dengan suara sedikit gemetar.
"Ayo," kata Aisyah sambil berjalan menuju pintu keluar PAUD.
Saat Andi mengarahkan senternya ke arah depan, dia melihat sosok seorang nenek yang berdiri tidak jauh dari mereka. Rambutnya putih dan wajahnya tampak menyeramkan karena sebagian tertutupi oleh bekas luka bakar. Nenek itu memandang ke arah Andi dengan tatapan tajam. Kontan, Andi berteriak sekuat tenaga.
"AAAAAAAAA, HAAAAANTUUUUU!!!!"
Belum sempat Aisyah mencerna apa yang sedang terjadi, Andi langusng menarik tangan Aisyah." Ayo, lari, Aisyah! Lari!" seru Andi sambil berlari kencang.
Aisyah yang kebingungan hanya bisa mengikuti Andi yang berlari. Lam-lama, tangannya mulai sakit karena ditarik Andi, kakinya juga mulai lelah berlari, namun Andi seperti tidak menghiraukan seruan Aisyah untuk berhenti. Andi yang ketakutan setengah mati terus berlali dengan satu tujuan di pikirannya: rumah Kepala Dukuh, tempat di mana teman-temannya sedang berkumpul! Begitu di halaman rumah Kepala Dukuh, kehadiran Andi dan Aisyah langsung disadari oleh Bayu yang duduk di dekat pintu.
"Andi, ada apa?" tanya Bayu yang keheranan.
"Ada hantu di sekolah PAUD, Bay!" jawab Adni sambil berusaha mengatur napasnya yang tidak beraturan. "Hantu nenek-nenek. Mukanya hampir penuh sama luka bakar."
"Hanti? PAUD? Kamu ke sekolah PAUD? Katanya tadi ijin sakit perut?" Bayu jadi semakin bingung.
Andi terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya bisa pura-pura batuk sambil berharap agar Bayu bisa segera melupakan pertanyaannya barusan.
"Sepertinya kamu salah liat, Ndi," sahut Aisyah pelan. "Mungkin yang kamu lihat itu Mbah Yam, bukan hantu."
"Ada apa ini?" Tiba-tiba terdengar suara berat yang menggelegar, suara milik Pak Hartono yang tampak murka. "Ngapain kalian malem-malem berdua? GANDENGAN TANGAN LAGI!"
Spontan, Aisyah langsung menarik tangannya dari genggaman tangan Andi. Dia merasa malu sekali. Tidak butuh waktu lebih tiga detik bagi Aisyah untuk pamit pulang ke rumah. Andi hanya bisa terdiam di tengah-tengah kekacauan ini.
Kalau masuk ke rumah Pak Dukuh, pasti dimarahi oleh semua orang yang berada di dalam sana. Kalau berjalan pulang menyusul Aisyah, sudah pasti juga akan dilempari sandal ramai-ramai. Mungkin lebih baik kalau gali liang kubur sendiri saja di sini, pikir Andi pasrah.
***
Sebagai hukuman karena telah berbohong pada ketua dan seluruh teman kelompok KKN-nya, Andi disuruh menyebar undangan pertemuan ke rumah-rumah warga sendirian. Tentunya cukup melelahkan, apalagi sedang puasa seperti ini.
Beruntung, Bayu masih mau meminjamkan sepeda motornya kepada Andi. Di tengah perjalanan pulang, Andi melihat seorang nenek yang sedang berjalan sendiri. Dia tampak kesulitan berjalan karena tubuhnya yang bongkok dan tas belajannya yang tampak berat. Mungkin dia butuh tumpangan, kata Andi dalam hati. Dia pun langsung mengendarai motornya pelan ke arah nenek tersebut.
"Nek, nenek butuh tumpangan?" tanya Andi.
Namun, nenek itu tidak menjawab. Dia tetap berjalan memunggungi Andi. Andi pun mengarahkan motornya agar dapat melaju sejajar dengan nenek tersebut.
"Nek, mau kemana? Sini, saya antar," tanya Andi lagi, kini dengan nada suara yang lebih tinggi agar nenek itu dapat mendengarnya.
Begitu nenek itu menoleh, Andi hampir jantungan melihat wajahnya. Laju motornya sampai oleng. Nenek itu adalah nenek yang dia lihat semalam! Sebagian wajahnya memang benar tertutupi oleh bekas luka bakar. Andi langsung melihat kaki nenek tersebut.
Kakinya menapak, dia juga punya bayangan. Benar kata Aisyah, dia bukan hantu. Hampir saja Andi tancap gas dan pergi sejauh mungkin!
"Kamu benar mau antar Mbah?" tanya nenek itu dengan suara yang lirih.
Andi mengangguk dengan kikuk. Dengan bantuan Andi, nenek itu duduk di atas motor dan memangku tas belanjanya. Mereka melaju pelan menuju rumah si nenek. Ternyata, rumahnya tidak jauh dari sekolah PAUD. Andi pun membantu membawakan tas belanja si nenek ke dalam rumahnya yang mungil. Andi sempat melihat ada pisang, tepung, dan telur di dalam tas belanja tersebut.
Begitu pintu dibuka, Andi bisa mecium aroma kue yang sangat wangi, seperti aroma kue yang baru saja selesai dipanggang. Perut kosongnya langsung bergetar saat mencium aroma kue tersebut.
"Silahkan masuk," kata nenek itu ramah. "Terima kasih sudah mengantar Mbah pulang."
"Sama-sama, Nek. Maaf semalam saya.."
"Tidak apa-apa," potong sang nenek sambil tersenyum. "Pasti kaget melihat Mbah berdiri sendirian malam-malam. Sebenarnya, kemarin itu Mbah sedang mau jalan ke masjid untuk salat tarawih. Mbah heran, kok, ada orang di sekolah malam-malam. Makanya, Mbah berhenti sebentar untuk melihat kalian."
"Oh..." Andi hanya bisa tersenyum kikuk sambil menggaruk lehernya. "Maaf, ya, Nek."
"Panggil saja Mbah Yam," sahut Mbah Yam sambil duduk di kursi. "Kamu salah satu mahasiswa yang sedang KKN di sini, kan?"
"Eh, iya, Mbah. Nama saya Andi," jawab Andi sambil menarik salah satu kursi agar dia bisa duduk tidak terlalu jauh dari Mbah Yam. Dia melihat ke sekeliling, rumah ini tampak sepi dan tidak ada banyak perabot. Andi justru melihat bertoples-toples kue di salah satu sudut rumah. "Mbah tinggal sendiri di sini?"
Mbah Yam menghela napas sebelum menjawab pertanyaan tersebut. "Iya, Mbah tinggal sendiri di sini. Dulu, ini rumah orang tua Mbah. Tapi, saat Mbah menikah lima puluh tahun yang lalu, Mbah ikut suami Mbah tinggal di Kota Jogja. Belum lama Mbah kembali tinggal di sini untuk mengurus rumah warisan ini dan berjualan keripik pisang."
"Sekarang, suami dan anak-anak Mbah masih tinggal di Kota Jogja? Atau bagaimana?"
Mbah Yam menggeleng pelan. "Suami Mbah sudah meninggal beberapa tahun yang lalu karena kecelakaan kebarakan. Kami tidak punya anak. Makanya, Mbah senang sekali saat tau kalau ada sekolah PAUD yang didirikan di dekat sini. Bahagia rasanya saat melihat anak-anak kecil itu bermain."
Andi terdiam mendengarnya. Saat dia melihat mata Mbah Yam, terlihat jelas kedua matanya berbinar saat bercerita tentang anak-anak kecil sekolah PAUD.
"Sebenarnya, Mbah sering membuat kue untuk anak-anak di sekolah PAUD itu..."
"Oh, jadi itu sebabnya ada banyak kue disini? Kenapa nggak dibawa aja ke sekolah, Mbah? Anak-anak itu pasti senang kalau dapat kue. Apa Mbah Yam butuh bantuan untuk membawakan kue-kue ini ke sekolah?" tanya Andi dengan semangat.
Mbah Yam terdiam sebentar sebelum menjawab. "Bukan itu. Anak-anak justru takut kalau melihat Mbah. Mbah pernah ke sekolah PAUD untuk membawakan kue, namun anak-anak yang melihat Mbah justru menangis ketakutan. Orang tua dan guru-guru mereka jadi kurang suka kalau melihat Mbah. Kepala sekolah PAUD juga sampai melarang Mbah untuk datang lagi."
Perlahan, sinar mata Mbah Yam mulai redup. Andi mulai memahami kesedihan yang dirasakan oleh Mbah Yam. Meski semalam dia juga ketakutan saat pertama kali melihat Mbah Yam, namun kini, Andi dapat melihat ketulusan dan kejujuran di dalam diri Mbah Yam.
Mbah Yam adalah sosok yang sangat baik dan lembut, semua orang di pendukuhan ini harus bisa mengenal dia dengan baik lagi, tekad Andi dalam hati,
"Mbah, nanti saya bantu Mbah agar bisa berkunjung ke sekolah PAUD, ya," tawar Andi.
Mbah Yam terkekeh pelan mendengarnya. "Terima kasih, Nak Andi. Tapi, tidak usah repot-repot. Pasti akan susah sekali. Tidak apa-apa, dari rumah ini saja Mbah sudah bisa mendengar anak-anak itu tertawa kalau pagi. Dengan begitu saja, Mbah sudah senang sekali."
"Nanti saya akan coba, ya, Mbah. Semoga bisa," kata Andi. "Sebelum saya pulang, boleh saya minta kue bikinan Mbah?"
" Ya, ya, boleh. Silahkah ambil yang mana saja. Nanti dimakan, ya kalau sudah buka puasa,."
Setelah mengambil salah satu toples berisi kue, Andi pamit pulang. Meski dirinya tidak yakin dengan apa yang akan dia lakukan, setidaknya dia akan berusaha. Demi Mbah Yam.
***
Sore keli ini, kelompok KKN dan Pak Hartono sekeluarga berbuka puasa di rumah. Setelah berbuka puasa dengan kurma dan segelas teh hangat, Andi memberanikan diri untuk memberikan setoples kue dari Mbah Yam kepada Pak Hartono.
"Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba kasih saya kue? Mau gandeng tangan anak saya lagi?" tanya Pak Hartono dengan nada tajam.
Aisyah yang duduk tidak jauh dari ayahnya hanya bisa menunduk malu. Dia juga tidak mengerti mengapa Andi masih mau mendekati ayahnya dengan cara seperti itu. Jelas-jelas dari awal, ayahnya tdaik menyukai Andi.
"Nggak ada maksud apa-apa, Pak. Saya bener-benar tulus menawarkan karena kue ini enak. Bapak harus coba," kata Andi, berusaha meyakinkan.
Meski masih curiga, namun Pak Hartono sedikit tergiur dengan aroma wangi dari kue yang ditawarkan. Dia pun mengambil satu keping dan memakannya dengan perlahan.
Rasa tak bisa berbohong. Pak Hartono mengakui kalau rasa kue itu enak. Beliau bahkan mengambil beberapa keping lagi. Setelah beliau menghabiskan beberapa keping, Andi baru menjelaskan bahwa kue itu adalah bikinan Mbah Yam yang tadinya ditujukan untuk anak-anak PAUD. Andi juga menceritakan bagimana tulusnya Mbah Yam mencintai anak-anak kecil.
"Saya mohon kemurahan hati Bapak untuk menerima Mbah Yam di sekolah PAUD, walau hanya satu kali," kata Andi sungguh-sungguh.
"Bagaimana saya tau kalau dia tidak akan membuat anak-anak didik saya menangis? Dulu dia sempat datang ke sekolah, malah bikin kacau suasana!" seru Pak Hartono.
Andi terdiam mendengarnya. Dia seakan kehabisan kata-kata untuk membela Mbah Yam.
"Yah, nanti Aisyah bantu menengkan anak-anak kalau mereka mulai ketakutan," sahut Aisyah tiba-tiba.
Pak Hartono, Andi, dan semua anggota kelompok KKN yang hanya bisa menonton dari belakang itu tampak terkejut saat melihat Aisyah mendukung Andi. Mendengar dukungan dari anaknya sendiri, Pak Hartono tidak bisa berbuat banyak.
"Baik, hanya satu kali! Besok pagi, kita bawa Mbah Yam ke sekolah. Tapi, kalau ada satu saja anak yang menangis karena Mbah Yam, saya tidak bisa menerima kehadirannya kembali di sekolah!" ptus Pak Hartono.
Andi tampak senang sekaligus tidak percaya mendengar kata-kata itu meluncur dari mulut Pak Hartono. Andi langsung melempar senyum ke arah Aisyah dan mengucapkan terima kasih melalui senyumannya itu.
***
"Selamat pagi, adik-adik!" sapa Andi dengan ceria saat membuka kelas di sekolah PAUD keesokan harinya. "Hari ini, kita kedatangan nenek yang sangat istimwa. Dia membawa banyak kue dan cerita untuk kita semua. Angkat tangan akalu kalian mau dapet kue!"
Semua anak pun mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi. Andi senang melihat permulaan yang baik ini.
"Tapi, kalau sudah dapat kue, janji kalian nggak boleh nakal atau nangis, ya. Nah, sekarang kita panggil nenek istimewa kita buat masuk ke dalam kelas. Yuk, kita panggil namanya. Mbah Yam! Mbah Yam!" seru Andi.
Anak-anak pun mulai mengikuti Andi untuk memanggil Mbah Yam. Tak lama, teman-teman kelompok Andi datang membawa toples berisi kue. Menyusul di belakanganya, tampak Aisyah menuntun Mbah Yam yang memaki masker wajah masuk ke dalam kelas. Semua yang berada di dalam ruangan kelas langsung terpana melihat banyaknya kue dan sosok Mbah Yam.
Khusus di pagi hari ini, Mbah Yam diberi kesempatan untuk menceritakan dongen di depan anak-anak PAUD. Tidak butuh waktu lama bagi anak-anak untuk merasa terhibur dengan kehadiran Mbah Yam. Mereka bahkan tidak segan lagi untuk duduk berdekatan dengan Mbah Yam. Saat hendak pulang, ada seorang anak yang tak sengaja menarik masker wajah Mbah Yam hingga terlpepas. Sontak Andi, Aisyah, dan teman-temannya yang lain terkejut melihatnya.
Jangan sampai ada yang menangis, jangan sampai ada yang menangis, Andi dan Aisyah berdoa dalam hati.
Namun, ketegangan mereka tiba-tiba pecah saat melihat Mbah Yam mulai terkekeh. Suara tawanya yang lucu justru membuat anak-anak itu tergelak. Tatapan matanya yang penuh cinta berhasil mendamaikan suasana. Semua anak yang berada di dalam kelas jadi semakin menyukai sosok Mbah Yam. Andi melihat ke sekeliling, namak semua orang, termasuk para orang tua, guru, dan Pak Hartono dapat menerima kehadiran Mbah Yam.
Untuk pertama kalinya sejak melaksanakan KKN, Andi merasakan harmoni yang nyata di pendukuhan ini, dimana tidak ada lagi jarak antara yang tua dan muda, tidak ada lagi ketakutan dan prasangka antara satu sama lain. Semuanya bergabung dalam satu kebahagiana yang sama.
***
Sebelum tidur, Andi membuka buku laporan KKN pribadinya. Perlahan, dia mulai menulis :
Hari ini, saya mneyadari pentingnya membuka kesempatan dan hati kepada orang lain, bahkan kepada orang yang tidak kita kenal sekali pun. Hati tidak akan pernah damai bilan kita terus menutup diri. Lebih dari itu, tidak akan ada yang namanya "Harmoni" bila kita terus berburuk sangka kepada orang lain. Bukankah kita juga butuh kesempatan yang sama untuk menunjukkan rasa cinta kita?