Cerita Dalam Buku - KKN Di Desa Penari ( Five)
INIKECE - Widya terbangun saat hari sudah mulai sore. Ia kemudian menyadari Ayu tidak ada di sampingnya. Widya menoleh ke arah Nur. Melihat kondisi badannya, Widya merasa Nur sudah jauh lebih baik dibandingkan tadi pagi. Ia membangunkan anak itu, menggoyang badannya dan seketika Nur terbangun.
"Kenapa sih, Wid?" tanya Nur malas.
"Kita belum mandi sejak datang ke desa ini. Ayo mandi, mumpung masih sorean," ajak Widya memelas. Ia merasa tubuhnya agak lengket dan gatal. Bila tidak mandi, ia takut nanti malam akan sulit tidur. Tapi mengingat lokasi mandi yang cukup jauh, ia takut pergi seorang diri.
"Mandi?" ulang Nur. "Di bilik dekat sungai itu?"
"Ayolah, gatel badanku. Kalau gak mandi, nanti malam gak bisa tidur aku," ucap Widya memelas.
"Tapi barusan kamu bisa tidur, tuh," balas Nur menggoda.
"Lengket Nur, risih badanku kalau belum mandi," ucap Widya lagi. Ia bahkan tidak menghiraukan candaan Nur. Yang ia inginkan saat ini hanyalah mandi.
Setelah sedikit memaksa, akhirnya Nur setuju, tapi dengan syarat, ia mau mandi lebih dahulu. Saat itulah, Widya dan Nur akhirnya keluar dari tempat peristirahatan. Mereka sempat mencari Ayu tapi tidak menemukannya. Mungkin Ayu ada urusan yang harus diselesaikan. Takut hari keburu gelap, mereka pun memutuskan untuk berangkat hanya berdua saja.
"Aneh gak sih Nur, di desa ini kok, dari kemarin aku gak lihat ada anak seumuran kita? Palingan kalau ada ya, cuma anak bocah." tanya Widya di perjalanan.
"Iya, aneh. Merantau kali," ucap Nur setengah malas menjawab.
"Ya kalau merantau masa semuanya. Tega gitu ninggal orangtuanya. Kok bisa, ya?" sahut Widya.
"Udahlah Wid, bukan urusan kita itu. Mungkin mereka punya alasan sendiri," ucap Nur, menutup pembicaraan.
Alasan sendiri, ulang Widya di dalam hati. Pertanyaan itu, terngiang di telinga Widya, tanpa sadar mereka sudah sampai di Sinden, dan hanya butuh beberapa langkah lagi mereka akan sampai di bilik dekat sungai.
Sore itu langit sudah kemerahan, Widya merasakan perasaan campur aduk itu lagi. Ia merasa seakan-akan sedang diawasi, yang anehnya, selalu Widya rasakan bila berada di Sinden.
Sampailah akhirnya mereka di bilik mandi. Nur yang pertama masuk lebih dahulu. Ia melihat kendi di dalam yang rupanya sudah terisi penuh.
"Jangan lama-lama, loh Nur, hari sudah keburu gelap," ucap Widya mengingatkan.
"Ia, sabar."
Selama di luar bilik, Widya hanya menatap ke sana-kemari. Matanya tidak bisa lepas dari Sinden yang tidak terlalu jauh dari tempatnya sendiri, seakan Sinden itu terus memanggil dirinya. Hal itu membuat buku kuduk Widya merinding.
Setelah mencoba keras mengalihkan perhatian, terdengar suara air yang terguyur dari dalam bilik. Nur sedang membilas badannya, mungkin.
Suara air dari dalam bilik menjadi fokus Widya untuk membuang jauh-jauh perasaan sepi. Aneh, pikir Widya lagi, kenapa ia tidak melihat ada warga yang ke sini untuk mandi, mengingat ini satu-satunya bilik di desa ini. Apa mereka benar-benar mandi sebulan sekali?
Saat sedang melamun, tiba-tiba tercium aroma kemenyan yang menyengat. Aroma itu langsung menusuk hidung Widya.
Suara air mengguyur masih terdengar dari dalam bilik. Widya, mencoba mencari tahu dari mana aroma itu berasal. Saat Widya sedang mencari-cari, tiba-tiba matanya teralihkan pada sebuah pohon besar di samping bilik. Ia baru sadar, ada pohon besar itu di sini, lengkap dengan semak belukarnya. Akar pohon itu menjulang tinggi, membuat Widya merasa takjub. Bisa jadi umur pohon itu sudah ratusan tahun.
Di sana, aroma kemenyan itu semakin kuat. Lantas, ketika Widya memperhatikan dengan saksama, ia baru menyadari sumber aroma itu berasal dari sebuah sesajen. Di sela akar yang mencuat itu, ada sebuah sesajen yang diletakkan dengan kepulan asap seakan baru saja dinyalakan entah oleh siapa. Widya yang melihat itu kaget bercampur ngeri. Ia langsung kembali ke bilik tempat ia menunggu Nur mandi.
Namun aneh, suara air tidak terdengar sama sekali. Hanya keheningan.
"Nur," panggil Widya tetapi tidak ada jawaban apa pun.
"Nur!" Widya masih berusaha memanggil "Nur! Kamu di dalam kan?" Masih tidak ada jawaban apa pun.
Keheningan itu membuat Widya menempelkan wajahnya di pintu kayu. Ia mencoba memasang pendengarannya. Tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara.
Suara yang berasal dari dalam bilik, merupakan suara dari seorang wanita, yang tengah berkidung. Suaranya merdu, lembut dan seakan terdengar menenggelamkan. Widya terus memasang pendengarannya, berharap yang ia dengar adalah suara Nur. Tapi entah kenapa bulu kuduk Widya berdiri. Ia yakin Nur tidak mungkin bisa berkidung seperti ini.
Lelah menahan penasaran, sontak Widya menggedor pintu dengan keras sembari memanggil Nur. Perasaannya entah kenapa semakin tidak enak, seakan ia khawatir oleh sesuautu.
"NUR! BUKA! NUR!" teriak Widya sambil terus mendorong sampai pintu itu terbuka.
Nur melihat wajah Widya yang tengah panik. Ekspresi Nur juga tampak terguncang.
"Wid," suara Nur sedikit gemetar.
"Lama sekali mandinya," ucap Widya marah.
"Iya maaf, habis kamu tak panggil dari dalam kok, gak nyahut. Aku pikir kamu pergi ninggalin aku," ucap Nur. Kalimat Nur sejenak membuatnya bingung. Bila Nur memanggilnya dari dalam bilik, mana mungkin ia tidak mendengarnya. Sedangkan sedari tadi Widya juga terus memanggil Nur, tapi tak ada sahutan sama sekali.
"Ya sudah, ayo mandi sana. Sekarang biar aku yang jaga," ucap Nur kemudian.
Widya pun melangkah masuk ke dalam bilik dan menutup pintunya. Seperti yang Widya bayangkan, tercium aroma lembab lumut hingga lantai tanah yang menjadi alasnya. Tapi Widya meyakinkan dirinya, bahwa ia tidak boleh memikirkan itu sekarang.
Ia melihat kendi besar berisikan air, setengah isinya sudah terpakai. Widya meraih gayung yang terbuat dari batok kepala yang dipilin dengan kayu jati dan diikat dengan sulur.
Widya menanggalkan pakaiannya, membasuh badannya dengan air yang dingin itu. Ia masih terbayang-bayang suara kidung yang ia dengar tadi. Mungkinkah Nur bisa berkidung dan Widya tidak tahu akan hal itu? Entahlah.
Namun, tiba-tiba Widya merasakan seakan ada sosok lain yang menemaninya saat ini. Perasaan itu seakan-akan sangat nyata. Ia merasa ada yang sedang mengamatinya, melihat dari ujung rambut hingga ujung kaki, dan sosok itu tengah menikmati pemandangannya.
Terbayang, wajah sosok cantik nan jelita yang sedang melihat Widya. Bayangan itu terus menerus menghantui isi kepala Widya. Tapi bilan dilihat ke sekeliling, Widya tidak menemukan siapa pun, hanya dirinya sendiri.
Hening dan sepi, Widya merasa seperti ditelan kesunyian. Tidak ada suara Nur dari luar bilik, memberikan sensasi kesepian yang luar biasa.
Lalu suara kidung itu terdengar kembali. Tetapi anehnya, kini suara itu terdengar dari luar bilik.
Benarkah itu suara Nur yang tengah berkidung untuk menghibur diri? batin Widya, mempertanyakan hal itu.
Widya buru-buru menyelesaikan mandinya dan segera melangkah keluar dari dalam bilik. Ia mendapati Nur yang melihatnya dengan ekspresi pucar. Entah kenapa, Widya merasa Nur seakan menyembunyikan sesuatu darinya, tapi Widya lebih memilih diam. Mereka berjalan bersama-sama, kembali ke penginapan di saat hari mulai semakin petang. ( BERSAMBUNG ... )
0 comments:
Post a Comment