Waktu Yang Tersisa - Cerpen
INIKECE - Namaku Shinta Permata Sari. Orang biasa memanggilku Shinta. Terlahir dari keluar yang cukup berada dengan penghasilan yang bisa dibilang cukup, membuat aku merasa tak pernah berkekurangan. Semua kebutuhanku selalu terpenuhi.
Aku juga memiliki saudara tetapi bukan sedarah. Namanya Tini, dia adalah gadis kecil yang diadopsi oleh papa dan mama dari sebuah panti asuhan setahun sebelum aku dilahirkan.
Dari mana asalnya, aku tak tahu karena memang aku tak pernah bertanya atau mencari tahu tentang keluarganya.
Walaupun kami bukan sedarah, tetapi kami selalu seperti sedarah. Tini adalah kakak yang baik dan bijaksana. Ya, semuanya itu mungkin karena setiap kebutuhan kami selalu dipenuhi sehingga kami tidak pernah merasa iri satu dengan yang lainnya.
Namun kekayaan dan harta benda yang kami miliki tidak menjamin terpenuhnya semua kebutuhan yang lainnya. Saat aku berusia 17 tahun, aku mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawaku. Aku dibawa ke rumah sakit dan mendapat perawatan selama sebulan.
Selama sebulan itu juga aku tak sadarkan diri. Untunglah dewi fortune masih berada di pihakku. Aku masih diberikan kesempatan untuk melanjutkan kehidupanku di dunia ini.
Semenjak kecelakaan itu terjadi, keluargaku berubah secara drastis. Keluargaku bukan lagi keluarga yang harmonis seperti yang terjadi sebelumnya.
Hal ini terlihat jelas dalam diri papa. Dia menjelma menjadi sosok yang asing bagiku dalam keluargaku. Aku tidak lagi mendapatkan kasih sayangnya karena dia mulai menjauh dariku.
Bahkan dia tidak peduli lagi dengan semua kebutuhanku dan juga masa depanku. Aku tak tahu alasan di balik semuanya itu, namun satu hal yang pasti bahwa sejak kecelakaan itu terjadi, papa menjadi orang yang asing bagiku.
Sementara itu, mama dan Tini tetap menjadi sosok yang selalu menyayangiku. Mama selalu mencurahkan kasih sayangnya kepadaku meskipun seringkali pipinya menjadi tempat daratan tangan papa.
Dia selalu memberiku semangat agar aku tetap kuat dan tetap tersenyum menghadapi semuanya. Aku pernah mencoba bertanya tentang papa kepadanya, namun hanya air mata yang bisa diberikannya kepadaku sebagai jawabannya.
Kata-kata yang selalu ia berikan kepadaku, kamu harus tetap semangat, jangan memikirkan mama, mama tidak apa-apa.
Sikap yang kontras antara papa dan mama menghantarkanku pada pertanyaan tentang siapakah diriku yang sebenarnya.
Senada dengan pertanyaan itu, aku pun menjadi pribadi yang munafik. Aku selalu tersenyum tatkala aku bergabung dengan teman-temanku. Aku selalu menunjukkan senyumanku kepada mereka seolah tak ada beban yang harus kutanggung dalam kehidupanku.
Namun, sebenarnya jauh di dalam lubuk hatiku tergores luka yang kian menganga. Aku juga terkadang merasa iri dengan cerita mereka, tatkala mereka menghabiskan waktu bersama keluarga mereka. Tanpa terasa, air mataku bercucuran membayangi semuanya itu.
Setahun setelah menyelesaikan kuliah, aku mendapat tawaran untuk bekerja di sebuah tempat yang membutuhkan keahlianku.
Daerah itu cukup jauh dari rumah. Aku meniti karirku di tempat yang asing dan di antara orang asing. Aku tahu betapa sulitnya beradaptasi dengan orang-orang asing, cara membangun komunikasi yang baik dengan mereka, menjadi bagian dari kebudayaan mereka dan banyak hal lain lagi yang harus aku lalui. Namun aku berpikir bahwa itulah konsekuensi dari jalan hidup yang aku tempuh.
Di luar dugaanku, ternyata membangun persaudaraan di tempat yang asing tidak sesulit yang aku pikirkan. Tiga bulan pertama aku sudah diterima sebagai anggota keluarga yang baru dalam lingkungan tempat tinggalku.
Mereka menganggap aku sebagai bagian dari keluarga mereka. Senyuman dan ramah tama mereka berhasil menjawab keraguanku bahkan juga prasangkaku yang sedikit negatif tentang mereka.
Pada saat itu juga aku berkenalan dengan Nikho, pria yang menjadi pendamping hidupku. Dia adalah pria yang beradal dari daerah yang cukup jauh dari tempat itu dan setahun mendahuluiku mengabdi di daerah itu sebagai gutu sekolah menengah atas.
Empat tahun terpisah dari keluarga sungguh menggoreskan rindu dalam hatiku. Walaupun papa belum kembali seperti dulu, namun aku tetap yakin bahwa di dalam lubuk hatinya, dia masih merindukan diriku.
Aku juga merindukan canda ria yang pernah kulewati bersama mama dan Tini. Tentunya mereka sangat merindukan cerita tentang pengalamanku membangun hidup di tempat yang asing.
Aku memutuskan untuk mengambil cuti dari pekerjaanku. Rindu yang kumiliki terlampau berat sehingga aku memutuskan untuk sejenak kembali kepada pangkuan mama. Aku ingin menceritakan semua pengalaman baru yang aku dapatkan di luar rumah dan juga tentang Nikho, pria pengusir sepiku.
Perasaan rindu itu seakan sirnah tatkalah aku mendapatkan kenyataan piluh di balik dinding rumahku. "Itu kubur siapa, Ma?" tanyaku.
"Itu kubur dari almarhum ayahmu, Nak. Kami kecelakaan ketika kami hendak mengunjungimu. Papamu sadar bahwa dia telah melakukan kesalahan besar dengan berlaku kasar terhadap kamu. Malangnya, Sang Pencipta terlalu cepat mengambilnya sehingga dia tak dapat menemuimu," jelas mama.
Kenyataan yang begitu pahit. Aku merasa bahwa aku belum sempat mengucapkan terima kasihku kepada papa yang telah menghadirkanku di dunia ini. Aku juga belum sempat menceritakan pengalaman hidupku yang baru serta menunjukkan teman dekatku kepadanya.
Setelah waktu cuti selesai, aku kembali ke tempat kerjaku. Dengan berat hati aku melangkah meninggalkan rumah karena aku harus meninggalkan mama dengan Tini dalam perasaan kehilangan. Aku tahu mama pasti merasa sepi, mama pasti merindukan diriku, tetapi aku juga harus membangun masa depanku dengan meniti karirku.
Kedekatan antara aku dan Nikho mencapai puncaknya ketika dia mengutarakan semua isi hatinya kepadaku. Bahkan saat itu juga dia melamarku untuk menjadi pendamping hidupnya. Aku menerima lamarannya dan mulai saat itu kami menjalin hubungan asmara.
Aku memberitahukan mama dan Tini tentang kebahagiaanku dan mereka memberi respon yang positif kepadaku. Mungkin mereka setuju dan ikut bahagia dengan pilihanku, pikirku.
Suatu hari ketika aku baru saja pulang dari kantor, aku mendapat kabar dari Tini bahwa mama sedang sakit. Dia berpesan agar aku harus pulang secepatnya demi mama. Tanpa berpikir panjang aku kembali mengambil cuti.
Dalam perjalanan menuju rumah, aku dihadapkan dengan hal yang aneh. Dari balik kaca mobil, aku menatap sosok mama yang memberikan senyuman kepadaku serta melambaikan tangannya seakan mengatakan, selamat tinggal anakku.
Perasaanku tak karuan. Tanpa sadar air mataku jatuh. Benar saja, sesampainya di rumah aku kembali mendapatkan kenyataan yang pahit. Mama telah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Mungkinkah senyuman dan lambaian itu menjadi wajah terakhir mama yang ia tunjukkan kepadaku?
Setelah kepergian mama, aku seringkali merasa sakit pada beberapa bagian tubuhku. Aku mencoba untuk mengecek kondisiku di dokter spesialis penyakit dalam dan dari hasil pemeriksaan, aku mendapatkan luka yang baru lagi.
Ginjal yang kumiliki kini tidak lagi cocok denganku. Lebih menyakitkan lagi bahwa aku pernah mendapatkan donor ginjal dan kini tidak cocok lagi denganku. Donor ginjal? Kapan? Mengapa aku tak pernah tahu hal ini?
Aku mulai mencari kebenaran yang tidak aku ketahui. Dalam pencarian itu aku menemukan jawabanya dari Tini. Setelah kecelakaan itu, aku dibawa ke rumah sakit. Setelah pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa aku gagal ginjal dan harus segera mendapatkan donor.
Papa dan mama bingung untuk mencari ginjal yang cocok untuku. Karena keadaan yang mendesak, dengan rela papa memberikan ginjalnya kepadaku walaupun dia tahu akibat dari keputusannya itu. Benar saja, setelah pendonoran itu, papa berubah menjadi sosok yang asing bagiku dan keluargaku, jelas Tini kepadaku.
Setelah kepergian kedua orang tuaku, aku memutuskan untuk berpindah tugas demi menjaga rumah dan semua yang papa dan mama tinggalkan untukku. Aku meninggakan tempat kerjaku dan kembali ke kampung halaman tempat dulu aku dibesarkan.
Hari berganti, bulan berlalu. Dengan keputusan yang matang, aku dan Nikho memutuskan untuk menyatukan cinta kami dalam sakramen perkawinan.
Walaupun aku hanya ditemani oleh Tini, aku tetap merasa bahagia. Aku tahu, dari alam sana papa dan mama ikut bahagia melihat pernikahanku.
Walaupun sudah menikah, aku tetap merahasiakan penyakitku kepada suamiku. Aku tidak memberitahukannya karena aku takut hal itu hanya menjadi beban dalam kehidupannya.
Walaupun terkadang aku merasa letih, namun aku menyembunyikan semuanya itu di balik senyumku. Aku berlaku seolah aku baik-baik saja, tidak ada yang terjadi padaku.
Empat tahun setelah menikah, kami dikareuiai seorang putra. Kami menamai buah hati kami Andri. Kebahagiaan kami tentu saja terasa sempurna. Aku sungguh merasakan bahagia karena di tengah penyakit yang melanda tubuhku, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk tersenyum dengan menitipkan buah hati kami melalui kandunganku.
Sebagai karyawan tentunya suamiku sering pulang malam dari kantornya. Sering juga dia meninggalkanku dan juga buah hati kami karena ahrus menghadiri urusan penting perusahaan di luar daerah. Dia sering menjadi utusan dari perusahannya untuk melakukan kerja sama dengan perusahaan lainnya atau dalam urusan lainnya.
Sautu hari, ketika suamiku bertugas ke luar daerah, aku mengajak anakku menghabiskan akhir pekan kami di pantai yang dulu sering aku dan suamiku berkunjung. Aku sengaja mengajak anakku karena aku ingin kembali mengingat masa-masa di mana Nikho mengutarakan perasaannya kepadaku.
Aku tersentak ketika melihat sosok yang berdiri di depanku. Dia bukanlah orang yang asing dalam hidupku. Apakah itu benar suamiku? Tapi siapakah wanita di sampingya? Apakah itu selingkuhannya? Apakah selama ini dia telah menghianatiku?
Aku kembali dengan perasaan tak karuan. Ternyata selama ini suamiku telah menghianatiku, batinku.
Deraian air mata terus membahasi pipiku. Aku tak lagi menghubunginya atau mengirim kabar kepadanya. Aku tak memberikan kabar kepadanya meskipun begitu banyak pesan yang muncul darinya di balik layar chellphoneku.
Seminggu setelah kejadian itu, aku dikunjungi oleh teman-teman kantor suamiku. Mereka membawakan beberapa bunga dan juga sebuah foto dari suamiku.
Aku bingun dengan kehadiran mereka. Sesaat kemudian salah satu teman suamiku menceritakan kisah yang sebenarnya yang terjadi dengan suamiku.
Aku menangis mendengar semua cerita itu. Selama ini, suamiku menyembunyikan penyakitnya dariku. Selama ini dia pergi ke luar daerah hanya untuk mengobati penyakitnya. Dan seminggu yang lalu adalah perjumpaan kami yang terakhir. Tapi mengapa dia tidak menceritakan yang sebenarnya kepadaku? Megapa dia harus berbohong kepadaku?
Setelah kepergian suamiku, kehidupanku tak teratur lagi. Aku selalu keluar malam untuk mencari hiburan yang dibawa pergi oleh suamiku. Aku tak peduli lagi dengan hadiah terindah yang dia tinggalkan padaku yakni putra kami.
Bagiku kepergian darinya adalah kehilangan segalanya dalam kehidupanku. Aku menjadi kupu-kupu malam dan bergabung dengan beberapa temanku. Disana aku menyerahkan seluruh tubuhku kepada orang yang tak aku kenal. Di sana aku mereguk alkohol hingga aku tak sadarkan diri.
Aku coba bertanya-tanya. Seketika itu juga aku menyaksikan runtuhnya bangunan yang ada di sekitarku. Deruan suara kendaraan makin lama makin mengecil hingga semuanya hilang dariku. Aku ditarik oleh sebuah kekuatan besar yang membawaku kepada sebuah situasi yang tak pernah aku alami.
Aku menatap ribuan orang yang bertekun dalam panasnya api yang bernyala-nyala. Mereka mendaraskan doa yang pernah aku dengar dan aku ucapakan sebelumnya. Mereka sepertinya menanti sebuah pembebasan dari api yang terus menyala-nyala.
Lalu aku di bawa kepada situasi lainnya. Disana aku melihat kebahagiaan yang berlimpah. Terdengar canda dan tawa dari ribuan orang yang ada disana. Mereka sangat menikmatinya. Tidak ada penderitaan disana.
Sesaat kemudian aku kembali dalam kesendirian. Semuanya menghilang dari padaku.
"Apakah kamu mengerti semuanya?" Sebuah suara muncul, entah dari mana datangnya aku tak ahu.
"Aku telah memberikanmu kesempatan untuk berada di dunia sebelum engkau ada di sana. Aku menyiapkan sebuah rencana untuk kehidupanmu dan masa depanmu tetapi engkau menjauh dari jalan yang telah aku siapkan untukmu. Bahkan engkau tak menghargai tubuhmu yang aku titipkan kepadamu agar engkau mampu mengenal aku sebagai penciptamu." lanjutnya.
Keheningan kembali menguasai kami.
"Sekarang pulanglah, seseorang menunggumu di sana. Dia sangat membutuhkan kamu," lanjut suara itu dan seketika itu juga dia menghilang.
Kepalaku terasa berat. Aku tak bisa membuka mataku tetapi aku mendengar suara dari orang-orang yang berada di dekatku. Aku mencoba dna berusaha untuk membuka mataku agar aku dapat melihat semua orang yang berada di sekelilingku khususnya kembali melihat putraku.
"Mama sudah bangun?" sebuah pertanyaan muncul dari pria kecil yang berada di sampingku. Air mata berjatuhan membasahi pipinya.
"Mbak Shinta sudah sadar?" tanya Tini yang berdiri di samping putraku. Air matanya juga bercucuran membasahi pipihnya.
"Mbak Shinta, kabar baik ini harus mbak Shinta tahu bahwa secara ajaib ginjal mbak Shinta kembali normal seperti dulu. Selamat ya mbak," kata seorang dokter kepadaku.
"Ma, aku sangat merindukan mama. Aku sayang mama," kata putraku sembari memelukan tubuhku dan merebahkan kepadalnya di atas tubuhku.
Aku juga sangat menyayangimu nak, kataku dalam hati. Ibu minta maaf ya nak, ibu telah menjadi seorang ibu yang tidak bertanggung jawab.
Tak terasa air mataku berjatuhan membasahi pipihku. Air mata tentang cinta yang memberiku arti kehidupan, syukur dan kesempatan yang ada dalam kehidupanku.
0 comments:
Post a Comment