Cerita Dalam Buku - KKN di Desa Penari (Two)

Cerita Dalam Buku - KKN di Desa Penari (Two)

INIKECE - Hari pembekalan pun tiba. Semua anak yang akan melaksanakan tugas KKN selama 24 hari sudah berkumpul di aula kampus. Setelah mendengar pidato rektor dan para dosen yang menjadi penanggung jawab pengawasan selama pelaksanaan kegiatan ini selesai berpidato, KKN tahun ini resmi dibuka.

Teriakan mahasiswa dan mahasiswi yang pecah seakan menjadi pembuka dari rentetan cerita ini. Widya, Ayu, Nur, Bima, Wahyu, dan Anton bersiap menuju desa yang akan dijadikan tempat melaksanakan KKN selama satu setengah bulan ke depan.

Mengabdikan diri, membantu, dan mengedukasi kehidupan satu setengah bulan ke depan. Mengabdikan diri, membantu, dan mengedukasi kehidupan masyarakat agar menjadi lebih baik, dengan sarana dan prasarana penunjang proker (Program Kerja) mereka yang telah selesai dikerjakan.

Kelompok Widya masuk ke mobil yang akan mengantarkan mereka. Perbekalan yang sudah mereka siapkan jauh-jauh hari juga tertata rapi di bagasi mobil. Setelah semua siap, mobil melaju tempat dimana mereka nanti akan tinggal, di sebuah desa di pelosok Jawa.

Hujan perlahan turun rintik-rintik. Pemandangan aspal yang basah mengingatkan Widya dengan percakapannya tempo hari bersama kedua orangtuanya.

"Nak, apa gak ada tempat lain untik pelaksanaan KKN kamu? Tempat ini jauh sekali, loh. Selain itu, di sana masih belum terlalu ramai, mana lewat hutan lagi," tanya Bu Azrah, ibu Widya. Ia khawatir anak semata wayangnya mendapatkan tempat KKN yang dirasa tidak masuk akal.

"Tenang saja Bu, dari laporan observasi Ayu sama Nur tempatnya bagus, kok. Ibu percaya saja sama Widya. Widya pasti bisa kok, menjaga diri," ucap Widya sembari mengelus punggung tangan ibunya, berharap seluruh kekhawatirannya meluap.

"Air mengalir pasti larinya ke timur, pernah dengar kalimat itu, Wid? Di timur, masih banyak hal-hal tabu yang kadang tidak masuk akal, karena semuanya itu berkumpul di timur. Dari yang baik, buruk, sampai yang terburuk. Ibu cuma takut anak ibu satu-satunya kenapa-kenapa," kata Bu Azrah, yang disambut tatapan lembut Widya. Hal itu, membuat ibunya akhirnya luluh.

"Ya sudah," kata Bu Azrah kemudian. "Jaga diri, jaga ucapan, hati-hati dalam bersikap. Jangan lupa makan ya Nak, sehat-sehat pokoknya."

Malam itu, Widya mendapatkan pelukan terhangat dari ibunya. Ia tidak pernah merasa sehangat ini.

BACA JUGA CERITA SEBELUMnya :

Cerita Dalam Buku - KKN di Desa Penari (One)


***

Tanpa sadar, Widya tersenyum sendiri sambil menatap keluar jendela mobil. Tiba-tiba, seseorang menepuk bahunya. "Oalah, Wid, Wid, jangan kebanyakan ngelamun kamu, nanti kalau kamu kesurupan, aku ndak mau bantuin kamu, mending aku nyemilin kuaci ae." Wahyu, kating sekaligus teman Ayu yang satu ini memang menyebalkan sekaligus paling selengek diantara mereka.

Bila saja bukan karena permintaan Ayu, lelaki kurus kering dengan mulut cerewet ini akan Widya coret dari proposal anggota KKN mereka. Bersama Anyon si tambun yang suka ngomong kasar tanpa pakai otak, mereka seperti pelengkap.

Namun, ia harus segera membiasakan diri. Kata orang, semakin kamu tidak menyukai seseorang, maka kamu akan semakin jatuh cinta sama dia. Apalagi kalau dipikir-pikir, program KKN banyak melahirkan novel percintaan yang kadang kisahnya terjadi berdasarkan kisah nyata. Amit-amit! batin Widya, melihat Wahyu yang sedari tadi sibuk memakan kuacinya.

Perjalanan mereka cukup jauh, butuh waktu 4 hingga 6 jam. Mereka berangkat pada pukul 11 siang, dan tiba di tempat tujuan menjelang pukul 4 sore. Saat ini mereka baru akan memasuki jalanan hutan yang sering dibicarakan orang.

Orang bilang, hutan ini hutan paling angker di Jawa Timur. Banyak cerita yang beredar tentang pengalaman orang yang pernah melewatinya, meski hanya sebatas rumor. Namun sore ini, hutan ini seakan, memiliki semacam daya tarik tersendiri. Hal itu membuat Widya merasa ngeri setiap memandang pepohonan yang ia lewati, seakan-akan, dari balik semak belukar di antara pepohonan itu ada sesuatu yang tengah mengamatinya.

Berbeda dengan kedua temannya, Nur dan Ayu saling berbicara satu sama lain. Begitu juga dengan Wahyu dan Anyon, mereka sibuk membahas kenapa klub sepakbola yang mereka dukung semalam bisa dibantai begitu saja dengan tim kelas bawah.

Widya melihat Bima, mata mereka sempat bertemu di kaca mobil depan. Bima tersenyum lalu membuang muka untuk menutupi perasaan groginya. Dari semua orang di sini, hanya Bima yang masih bisa menampilkan sosok dewasa, seakan keberadaannya untuk menjadi pemimpin kelompok. Ada perasaan nyaman saat Widya menatap mata cokelat itu.

Tanpa sadar, mereka sudah sampai di sebuah rest area. Tempat ini dijadikan titik temu oleh seseorang yang akan menjemput mereka. Selang tidak beberapa lama, sebuah mobil hitam mendekat. Dari dalam mobil, keluar seorang lelaki muda dengan setelan rapi.

"Mas Ilham," panggil Ayu.

Lelaki itu pun mendekat dan melemparkan senyum pada mereka.

"Sudah lama nunggu?" tanyanya ramah. Dari penamopilannya, sepertinya Mas Ilham berusia antara 34 atau 35 tahun. Garis wajahnya tampak tegas, dan lekuk bibirnya nyaris sama persis seperti milik Ayu. Sekarang Widya tahu, seperti apa Mas Ilham yang sering Ayu ceritakan.

Mas Ilhamlah yang membantu mereka untuk mendapatkan izin kepada Kepala Desa setempat agar bisa melaksanakan kegiatan di desa ini. Tanpa basa-basi, Mas Ilham menjabat tangan semua orang lalu meminta semua mengikutinya. Sebelum masuk ke dalam mobil mereka terlebih dahulu memindahkan perbekalan mereka dan kemudian berangkat.

Jam menunjukkan pukul setengah enam sore. Mobil Mas Ilham menyusuri jalan beraspal yang di kiri-kanannya adalah hutan belantara. Setelah cukup lama berkendara, akhirnya mereka sampai di sekitar gerbang selatan. Ada sebuah gapura yang tertutup oleh rimbunnya tanaman liar.

Beberapa orang yang menggunakan motor pun mendekat. "Pak Ilham," sapa salah satu pria yang mengendarai motor itu.

"Pak Aryo, dimana pak Prabu?" tanya Mas Ilham, melihat satu per satu pemotor itu.

"Pak Prabu tidak enak badan. Beliau berpesan kepada kami agar menyampaikannya kepada Anda, Pak. Apa ini anak-anak kuliahannya?" tanya pria berkulit sawo matang itu, seorang pria yang diperkenalkan Mas Ilham sebagai orang yang akan mengantar ke desanya. Jalan menuju desa itu memang tidak dapat dilalui oleh mobil akibat sulitnya medan dan akses jalan yang belum ada. Maka dari itu Mas Ilham meminta warga yang memiliki motor untuk menjemput.

"Oh, begitu," kata Mas Ilham. "Ya sudah, ayo, keluarkan perbekalannya, lalu kalian bisa ikut bapak-bapak ini ke desa mereka."

Mendegarkan itu, semua anak-anak segera bergegas. Widya mendapat tumpangan seorang lelaki paruh baya yang memperkenalkan dirinya dengan nama Waryan. Ia sangat ramah, bahkan membantu Widya untuk naik ke atas motor.

"Jancuk, numpak sepeda tah iki?" (sial, naik motor ya ini) kata Wahyu yang memancing tatapan sengit semua anak-anak yang mendengar ucapannya.

Mungkin aneh, tetapi, Widya sempat mengamati perubahan wajah pada semua pemotor yang merupakan warga desa itu. Tatapan mereka berubah, semacam jengkel dengan ucapan atau kalimat Wahyu yang memang terdengar aneh, terlebih di Jawa bagian timur seperti ini. Kalimat itu seperti sebuah penghinaan, meski di tempat Wahyu tinggal, kalimat itu terdengar biasa saja, tetap saja Widya dan anak-anak lain merasa tidak enak.

Ayu yang kemudian mencoba mencairkan suasana, sehingga mimik wajah warga desa itu, kembali tenang. Ayu benar-benar tahu cara mengambil hati warga desa sana, tidak salah, bila dulu, saat Ayu mengajaknya bergabung dalam projek KKN ini, Widya langsung menerimanya.

"Masuk ke hutan ya, Pak?" tanya Widya, setelah ia berhasil duduk di atas jok motor tua itu. Suara mesin motor mulai terdengar kerontong, sedikit membuat was-was, apakah motor itu tidak apa-apa mengingat ia sendiri mendengar bahwa akses jalannya saja seperti tidak layak untuk motor seperti ini.

Dengan ramah, Pak Waryan mengatakan, "Iya, masuk ke hutan, palingan cuma sekitar tiga puluh menitan," kata beliau dengan nada ramah, "Mbaknya gak usah takut, motor ini sudah teruji kok," lanjut beliau sembari tertawa. Mungkin Pak Waryan bisa melihat ekspresi gelisah Widya selama duduk di atas jok motor.

Tiga puluh menit, batin Widya. Itu bukan waktu yang sebentar sih. Sejauh apa memang desanya dari jalan utama ini?

Motor yang mengangkut Ayu mulai berjalan lebih dulu, setelah berpamitan dengan Mas Ilham yang melambaikan tangan, seakan bangga melihat adiknya. Sorot matanya benar-benar menyiratkan kebanggaan pada sang adik, juga rasa sayang kakak kepada adiknya.

Yang lain segera mengikuti, tak terkecuali motor yang mengangkut Widya. Perjalanan menuju desa pun dimulai. (BERSAMBUNG)...

0 comments:

Post a Comment