Cerita Dalam Buku - KKN Di Desa Penari (Four)

Cerita Dalam Buku - KKN Di Desa Penari (Four)

INIKECE - Pagi itu Widya sudah berkumpul dengan yang lain di depan posko posyandu, tempat anak laki-laki menginap semalam. Ayu terlihat sedang berbicara dengan Bima, tapi dari semua pemandangan itu, Widya lebih tertuju kepada Wahyu yang sedari tadi terlihat dongkol. Wajahnya muram dan tidak mengenakkan. Padahal wajahnya sudah tidak enak untuk dilihat.

"Kenapa sih, tuh anak>: tanya Widya kepada Nur.

"Katanya di tepat mereka tinggal, gak ada kamar mandinya," sahut Nur.

"Loh, kasihan," ucap Widya sembari menahan tawa.

Beberapa saat kemudian, Pak Prabu datang, membuat mereka mengerumuninya.

"Baiklah," kata Pak Prabu. "Karena semua sudah berkumpul, agenda pagi ini kita keliling desa. Saya antarkan. Mari."

Semua anak mengikuti Pak Prabu berjalan menyusuri rumah-rumah warga. Widya bisa melihat warga desa sedang melakukan aktivitasnya. Ada yang membopong karung berisi rumput, ada juga para ibu-ibu tua tengah mengobrol. Setiap kali mereka berpapasan dengan warga, mereka akan tersenyum, menyapa. Benar, kata orang-orang kalau warga desa itu ramah-ramah.

Pak Prabu menjelaskan, bila akses air di sini sedikit sulit. Menggali sumur tidak terlalu banyak membantu karena mungkin desa ini ada di dataran tinggi berbatu, sehingga butuh kerja keras untuk mendapatkan air. 

Untungnya, di sebelah timur ada sebuah sungai. Di sana warga biasa mendapatkan air bersih untuk mandi. Tapi untuk warga perempuan yang ingin mandi, disediakan sebuah bilik, tidak terlalu jauh dari sungai.

"Kalau mau buang hajat, di mana, Pak?" tanya Wahyu.

"Karena akses sungai itu sangat penting bagi kami. Buang hajatnya kalian gali tanah saja, setelah selesai, pendam. Tapi untuk perempuan, ada bilik sedikit jauh. Di sana kalian bisa buang air besar karena areanya sudah dilewati oleh sungai desa. Mengerti?" Pak Prabu mengatakan itu sembari tersenyum.

Widya dan yang lain mengangguk mendengar penjelasan Pak Prabu. Meski sedikit tidak terima, bila untuk mandi saja mereka harus berjalan sejauh itu. Tapi mau bagaimana lagi, mereka adalah tamu, jadi setidaknya mereka sudah melakukan yang terbaik untuk menerima kami.

"Pantas saja," kata Ayu. "Tadi saat mau mandi di rumah Bu Sundari, aku bingung kok, gak ada kamar mandi. Tak kira kenapa. Begitu ya pak, jadi semua warga mandinya ke sungai."

Pak Prabu mengangguk. "Lagipula, warga juga gak mandi setiap hari, jadi masalah itu sebenarnya sepela bagi kami," tawa Pak Prabu pecah. Sayangnya, tidak ada yang ikut tertawa, sehingga Pak Prabu merasa geli sendiri sekaligus tidak enak, mereka pun melangjutkan perjalanan.

Langkah mereka berhenti di sebuah tempat terlihat bangunan yang tua sekali, menyerupai candi tapi tidak terlalu besar. Di sana, Widya bisa melihat ada kolam berbentuk persegi empat, kedalamanya cukup untuk 1 orang dewasa duduk.

Kolam itu hanya berisi air yang tidak terlalu banyak, di tengahnya ada sebuah patung yang seakan membuka mulut. Mungkin, dulu patung itu berfungsi menyemburkan air, entahlah.

"Ini, namanya Sinden. Dulu, seperti sendang, Airnya banyak, tapi sudah lama tidak berfungsi," ucap Pak Prabu menjelaskan. "Nah, saya ingin kalian jadikan ini sebagai fokus program kerja utama kelompok kalian. Coba kalian cari bagaimana mengalirkan air sungai ke sendang ini, karena dari sini, jarak sungai sudah tidak terlalu jauh."

Widya mengamati sekeliling. Apa yang dikatakan Pak Prabu memang masuk akal, tapi tidak akan mudah. Setidaknya bila Widya bisa mengkalkulasi cara yang paling efektif adalah dengan cara membuat semacam selokan untuk aliran air. Masalahnya, bagaimana caranya?

Mengamati Sinden itu, membuat Widya tiba-tiba teralihkan pada sebuah pemandangan tidak wajar. Di tengah Sinden, ada ruang tanah kosong. Di sana diletakkan sebuah sesajen lengkap dengan semua persembahannya.

"Itu apa, Pak?" tanya Widya.

Pak Prabu menoleh. "Itu adalah cara warga kami. Sebenarnya di sini warganya masih sangat menjunjung adat, dan itu adalah salah satunya. Kami menghargai mereka yang terdahulu."

Medengar itu, Widya seprti tidak tahu harus mengatakan apa. Seharusnya ia tahu, bila warga di sini memiliki kepercayaanya sendiri. Pantas saja ia tidak menemukan surau di desa ini.

"Takkira buat manggil setan tadi, Pak," sahut Wahyu. Membuat seorang orang yang ada di sana kaget, lebih seperti malu.

Untungnya, Pak Prabu menanggapi itu dengan tertawa.

Semua anak memandangan Wahyu sengit, seakan apa yang dikatakan oleh pemuda kurus itu benar-benar tidak dipikirkan terlebih dahulu. Sekarang Widya tahu, ternyata benar tidak semua manusia terlahir dengan otak yang waras.

"Ngapain manggil setan, Mas?" ledek Pak Prabu. "Kalau di depan saya saja kelakuannya kaya setan," sindir Pak Prabu sambil melirik ke arah Wahyu.

Hal itu disambut tawa oleh Widya dan lainnya. Wajah Wahyu tampak merah padam.

Melihat perubahan raut wajah Wahyu, Pak Prabu segera merevisi ucapannya, "Saya bercanda Mas Wahyu, tolong jangan dimasukkan hati."

"Gak bercanda juga gak apa-apa, Pak. Dia ini mahasiswa yang sebentar lagi kena DO," sahut Ayu, sembari melotot pada Wahyu.

Wahyu hanya diam, sembari menekuk wajahnya.

Mereka melanjutkan perjalanan kembali, tapi perasaan Widya mendadak tidak enak saat berada di dekat Sinden, seakan ada yang mengawasinya entah dari mana. Ia meninggalkan tempat itu bersama yang lain, tapi mata Widya masih tertuju pada sesajen itu.

Tanpa terasa, mereka sudah berjalan jauh ke barat. Di sana mereka menemukan pemakaman desa, banyak pohon beringin dan pohon-pohon besar tua berjejer di sepanjang jalan ini. Ada bebatuan besar di bawah pohon itu, dan lagi-lagi Widya menemukan jejek sesajen di beberapan pohon. Hal itu membuatnya ingin mengajukan pertanyaan itu lagi, tapi sepertinya jawabannya akan sama saja.

Di area pemakaman, Pak Prabu menjelaskan tempat ini merupakan tempat warga yang sudah menemukan ajalnya dikuburkan. Tempat itu terlihat sangat tenang. Pohon besar membuat suasana terasa sejuk, tapi tetap saja. Widya merasa tidak nyaman berada di tempat-tempat seperti ini. Hingga, Bima tiba-tiba bertanya, "Mohon maaf pak, kenapa di beberapa batu nisan dibalut sebuah kain hitam?"

Pertanyaan itu membuat Widya dan yang lain baru menyadarinya, lantas mereka melihatnya bersama-sama. Ternyata memang ada beberapa batu nisan yang dibalut kain hitam, seakan menjadikannya tampak berbeda dengan batu-batu nisan yang lain.

"Tidak ada yang istimewa dari itu. Hal itu kami lakukan sebagai penanda, bahwa yang dikuburkan belum 10 tahun meninggal," jelas Pak Prabu. Jawaban itu sama sekali tidak memuaskan Widya, terlebih anak-anak yang lain. Tapi sekali lagi, mereka meyakinkan bahwa hal itu tidak perlu diperdebatkan lebih jauh.

Ada yang aneh dari gelagat Nur. Widya baru saja menyadarinya, tapi ia lebih memilih diam, seakan tidak mau mengatakan apa pun kepada siapa pun. Ia terus menundukkan kepala, seakan melihat sesuatu yang menakutkan.

"Sekarang saya ajak ke perkebunan singkong, salah satu bahan makanan yang kami perjualbelikan sebagai komoditas warga desa ini," ucap Pak Prabu.

Namun, Nur tiba-tiba terhuyung, Anton yang melihatnya dengan sigap menahan tubuhnya.

"Kamu gak apa-apa, Nur?" tanya semua anak-anak yang mengerumuninya.

"Badan saya rasanya tidak enak," ucap perempuan berjilbab itu. Wajahnya meringis menahan sakit.

"Ya sudah, mari saya antar. Kalau begitu kita semua sekarang kembali ke desa," ajak Pak Prabu, tapi Bima justru menghentikannya.

"Sudah, biar saya saja yang mengantar Nur, Pak. Bapak lanjutkan saja kelilingnya, toh. ini semua penting bagi kami untuk menandai mana saja proker yang bisa kami kerjakan," ucap Bima. Pak Prabu yang awalnya ragu mendengar itu, akhirnya setuju.

"Ya sudah," kata Pak Prabu. "Kamu ingat kan, jalan pulangnya?"

Bima mengangguk, dan segera membopong Nur untuk kembali ke tempat peristirahatan mereka. Entah mengapa Widya justru merasa kalau Nur tengah menyembunyikan sesuatu. Perlahan Bima dan Nur pun menghilang dari pandangan mereka.

***

Sampailah mereka di tempat terakhir, sebuah ladang singkong dengan sebuah saung di atasnya. Tidak ada yang istimewa dari tempat itu, kecuali suburnya lahan untuk singkong yang menjadi landasan sumber mata pencaharian warga desa.

Tapi semua orang teralihkan pada sebuah papan dengan gapura tunggal. Di sana terdapta pemdangan tak lazim. Lagi-lagi Widya dan yang lain melihat sesajen. Kali ini, Widya merasa bahwa hal ini seakan-akan menunjukkan bahwa area ini begitu keramat.

"Saya tahu, kalian pasti bertanya-tanya untuk apa benda ini disini," ucap Pak Prabu seakan mengetahui isi kepala mereka. "Sebenarnya, di belakang gapura ada sebuah jalan yang langsung menuju ke hutan belantara. Karena itu, gapura ini dipakai sebagai penanda saja, dan ingat, saya mohon, jangan ada dari kalian yang melewati batasan ini ya.
Karena tidak ada yang tahu apa yang bisa kalian temui di hutan sana. Saya ingatkan sekali lagi, jangan ada yang berani melewati batas gapura ini apalagi nekat berjalan menuju kesana." Pak Prabu menunjuk sebuah lereng jalan setapak yang mengarah ke hutan. Jangankan berjalan menuju sana, membayangkannya saja sudah membuat Widya merasa ngeri.

"Nama lereng ini adalah Tapak Tilas," lanjut Pak Prabu memecah keheningan.

Dari semua informasi yang mereka dapat, Widya dan yang lain sudah dapat memetakan, mana saja tempat yang bisa mereka jadikan proker untuk individu maupun kelompok. Mereka menandainya dengan lingkaran merah dan membagi tugas. Mereka juga menyusun mana saja yang layak mereka kerjakan terlebih dahulu. Proker Sinden yang akan menjadi proker utama mereka.

Setelah berunding, mereka kembali ke penginapan masing-masing, Widya dan Ayu segera mendatangai Nur. Gadis itu masih tampak lemas, tapi sudah bisa untuk duduk. Widya dan Ayu segera menjelaskan hasil observasi bersama Pak Prabu dan ia siap dengan proker apa yang menjadi tanggung jawabnya.

Siang itu Widya, Ayu, dan Nur akhirnya memutuskan untuk melepas lelah dengan tidur. (BERSAMBUNG...)

0 comments:

Post a Comment