INIKECE - "Nak, Nenek mau tanya, alamat ini di mana, ya?" Aku menoleh, melihat seorang nenek yang kurus dan bungkuk, tingginya hanya setinggi bahuku. Aku pun melihat secarik kertas yang dipegang nenek itu, lalu segera memberikan arahan untuk menuju alamat itu.
"Terima Kasih ya, Nak," ucap Nenek itu seraya pergi.
"Niken, kamu lagi bicara sama siapa?"
Aku mengangkat kepalku, melihat dua temanku yang tampak kebingungan. Aku berpikir sejenak, lalu tersenyum.
"Gak lagi bicara sama siapa-siapa kok, pasti cuma perasaanmu saja."
Benar, itulah rahasiaku. Terkadang, aku dapat melihat hal-hal yang tak dapat dilihat orang lain. Mungkin itulah yang orang-orang sebut sebagai makhluk halus.
Aku cuma gadis SMA biasa yang mendambakan kehidupan normal sebagai pelajar SMA. Pergi ke sekolah, belajar, bercanda tawa dengan teman-teman, ditembak cowok keren, berpacaran, dan lulus dengan perasaan puas. Akan tetapi, karena rahasiaku ini, aku kesulitan.
Setiap kali diajak jalan-jalan seusai sekolah oleh teman-temanku, selalu saja ada yang mengganggu. Aku tak bisa berjalan-jalan dengan santi kalau terus-terusan melihat hal-hal aneh. Pernah sekali aku justru muntah di tempat umum, dan itu memalukan sekali.
Dulu, ada beberapa anak cowok yang mendekatiku. Tapi semua tidak tahan karena aku sering tiba-tiba kaget sendiri padahal tak ada apa-apa, atau berubah pucat dan hanya berkata, "Tidak apa-apa, cuma perasaan saja." Tidak jarang juga aku membatalkan janji kencan dengan mereka karena ini.
Sesampainya aku di rumah, aku langsung melempar diriku ke atas ranjang dan membenamkan wajahku ke bantal.
"Niken, kalau sudah di rumah cuci tangan cuci kaki dulu! Jangan langsung ke ranjang!" seru Mama dari dapur.
"Iya, Ma!"
Aku bangun dari tempat tidurku dan menatap cermin setinggi tubuhku yang berada di sudut kamar. Aku ingin anak perempuan yang tidak terlalu kurus, tapi juga tidak terlalu gemuk. Wajahku juga tidak terlalu jelek. Rambutku hitam dan lurus yang panjangnya hingga punggung.
Orang-orang akan mengira aku ini gadis SMA yang normal, tapi kenyataannya aku tidak normal sama sekali. Mungkin, aku juga tak akan pernah menikah seumur hidupku.
Lalu suatu hal terbesit dalam benakku. Tak mungkin hal ini hanya dialami oleh satu orang saja di sunia ini. Mungkin di luar sana, ada orang lain yang bernasib sama denganku. Mungkin di luar sana, ada orang yang mengerti penderitaanku. Lalu mungkin, suatu saat nanti aku akan bertemu dengan belahan jiwaku.
***
Paginya, aku terlambat bangun, dan terpaksa mengambil jalan pintas agar tiba di sekolah tepat waktu.
Aku tidak terlalu suka jalan ini. Jalannya gelap, suram, dan bau. Baru karat. Terkadang, aku melihat sesuatu yang mengerikan di sudut tikungan ujung gang ini. Aku mendengar dari orang-orang sekitar, beberapa puluh tahun lalu pernah ditemukan mayat yang termutilasi di tempat itu. Arwah orang itu masih bergentayangan sampai sekarang, hanya saja bagian tubuhnya tak pernah lengkap.
Aku bertemu dengan makhluk itu beberapa tahun yang lalu, dan ia menyadari aku bisa melihatnya. Dia memintaku mencarikan jari kelingking kirinya yang hilang. Aku sangat ketakutan melihat wujudnya, dan saat itu aku pigsan di tempat. Kini, aku akan berusaha sebisaku untuk tidak melihat makhluk itu.
Terdengar bisikan-bisikan aneh.
"Ke mana kakiku... Ke mana tanganku... Ke mana kupingku..."
Aku terus berjalan dengan kepala menunduk.
"Anak perempuan... Hei... Carikan anggota tubuhku..."
Aku menahan napasku dan berjalan semakin cepat.
"Kamu tak bisa mendengarku? Aku pernah melihatmu... Aku pernah... Aku pernah..."
Kakiku mulai bergetar.
"Aku ingat... Aku ingat..."
Sesosok wujud wajah ayng dipenuhi darah muncul dari bawah dan menatapku tepat di mata.
"Mana jari kelingking kirku?"
Aku terlonjak kaget dan segera menutup mulutku dengan kedua tangan, berusaha sekeras mungkin untuk tidak berteriak. Seseorang menutup mataku dengan tangannya, lalu menarikku ke bahunya. Dia mengajakku berjalan dengan sangat cepat.
"Hei... Mana jari kelingking kirku?"
"Jangan ganggu dia, dasar menjijikkan," ujar orang itu.
Setelah berjalan beberapa saat, orang itu melepaskan pelukannya. Aku membuka mataku, dan melihat kalau kita sudah berada dekat sekolah.
Seorang lelaki berseragam SMA berdiri di hadapanku. Tubuhnya ramping dan tegap. Wajahnya cukup tampan, dan senyumannya membuat jantungku berdebar.
"Kamu bisa melihatnya juga, ya? tanya anak itu. Jantungku berdebar keras. Mungkinkah..
"Jangan-jangan kamu..."
"Iya," jawabnya tanpa ragu sambil tersenyum ramah. "Aku bisa melihat makhluk halus."
Kalimat itu bagaikan gong di dadaku. Rasanya hampir saja aku menangis karena terlalu senang.
"Ayo kita bergegas, sebentar lagi bel sekolah berbunyi," ujarnya.
Kami bersama-sama berlari ke sekolah, lalu berpisah di koridor pemisah antara kelas 1 dan kelas 3.
Tepat setelah aku menyentuh kursi, beal sekolah berbunyi. Pelajaran dimulai, dan aku tak bisa berkonsentrasi. Aku tak bisa berhenti memikirkan anak lelaki yang tadi kutemui. Aku belum tahu siapa namanya. Aku akan mencarinya istirahat siang ini, sepertinya dia anak kelas 3. Memikirkannya saja sudah membuat hatiku melompat senang.
"Hei, Niken!" Panggil teman sebangkuku. Dia adalah Amalia, gadis berambut pendek yang selalu diikat ke balakang. "Ada apa, nih? Kayaknya kamu lagi senang."
Aku terawa tersipu, "Ada, deh"
"Ih, Niken main rahasia-rahasiaan, ya, sekarang!" seru Amalia sambil tertawa geli.
"Wah, rahasia apa, nih!" ujar Michelle, seorang gadis bertubuh mungil dengan kulit sawo matang yang manis. Dia duduk di belakang kami, bersebelahan dengan pacarnya.
"Jangan-jangan Niken sudah punya cowok, ya?"
"Aduh, mana mungkin! Sanggahku sambil tertawa malu. Sekilas, aku membayangkan diriku berpacaran dengan anak tampan itu. Membayangkannya membuatku merasa malu sendiri.
Siangnya ketika istirahat, aku segera mencari-cari di daerah anak kelas 3, ada banyak orang disana, sulit untuk menemukannya.
Sudah tiga kali aku mondar-mandir di sana, dan akhirnya aku menyerah. Mungkin anak itu tidak ditakdirkan untukku.
Aku berjalan menuju pohon besar yang ada di halaman sekolah. Tempat itu sangat sepi, berbeda jauh dengan koridor-koridor yang selalu dipenuhi murid-murid SMA. Aku berniat duduk sebentar di bawah pohon itu untuk menarik nafas sejenak, hingga tiba-tiba seseorang menyentuh pundakku.
"Kamu mencariku?"
Aku menoleh, dan melihat sosok anak lelaki yang kucari sejak tadi. Jantungku berdegup ketika melihatnya.
"Kita belum berkenalan, 'kan?" tanyanya. "Namaku Ari. Namamu?"
"Namaku Niken," jawabku agar tergagap. "Kamu sungguhan bisa 'melihat'?"
"Iya," jawabnya sambil tersenyum. "Mau mengobrol sedikit tentang itu?"
Kami pun berbincang mengenai kemampuan kami. Tentang apa yang ada di sudut-sudut sekolah ini, tentang apa yang dilihat sehari-hari. Tampaknya Ari lebih paham tentang makhluk-makhluk halus itu daripada aku. Dia menjelaskan, ada beberapa hantu yang memang punya niat jahat, atau sekadar iseng, atau bahkan tak punya niat apapun.
Tak pernah sekali pun dalam seumur hidup ini ada yang dapat mengerti diriku seperti dirinya. Bahkan ibuku sendiri.
Rahasiaku kini sudah menjadi rahasia kami berdua.
Bolehkah aku sedikit berharap? Bolehkah?
Sejak hari itu, kami sering bertemu. Saat istirahat sekolah, atau sebelum sekolah dimulai. Tapi kami tak pernah bertemu seusai sekolah. Entah kenapa, setiap kali aku mengajaknya pulang bersama, dia memiliki kegiatan lain yang tak bisa ditunda lagi. Seperti kegiatan ekstrakurikuler atau OSIS. Dia pun tidak pernah membiarkanku menunggunya, dan memaksaku untuk pulang tanpa dirinya.
Namun itu semua cukup. Kami terus berbincang, dan sedikit demi sedikit mulai mengarah ke kehidupan pribadi kami.
"Aku anak satu-satunya di keluargaku. Ayahku sudah meninggal saat aku masih SD, dan ibuku berjuang keras demi menghidupi biaya hidup kami, serta membiayai pendidikanku."
Ari menyimak dengan seksama. Aku merasa tenang setiap kali bersamanya. Rasanya nyaman berada di sampingnya. Aku harap, kami bisa terus seperti ini selamanya.
"Bagaimana dengan keluargamu?"
Ari tersenyum. "Aku punya seorang adik laki-laki yang lebih muda tujuh tahun dariku. Dia anak yang baik dan lembut, aku sangat menyayanginya. Orangtuaku juga sangat baik dan harmonis. Mereka tak pernah bertengkar sepanjang pernikahan mereka."
"Pasti menyenangkan ya, hidup di tengah-tengah keluarga harmonis itu," ujarku, sedikit merasa iri. Ari masih tersenyum, tapi entah kenapa, sekilas tampak kesedihan di matanya.
"Benar, pasti menyenangkan rasanya."
Setelah pembicaraan itu, aku terus memikirkan makna omongan Ari. Aku tak berani menanyakannya langsung. Padahal dia memiliki keluarga yang hangat, tapi kenapa dia tampak begitu sedih?
Paginya, kami bertemu di dekat sekolah seperti biasanya dan berjalan bersama-sama. Ari sama sekali tidak membahas pembicaraan kemarin. Aku pun tak punya keberanian untuk mengungkit topik itu.
Aku terus kepikiran, hingga tanpa sadar tahu-tahu saja aku sudah berada di depan kelasku sendiri. Aku menabrak orang tanpa sengaja, dan membuat orang itu menjatuhkan dompet yang dipegangnya.
"Maaf!" seruku seraya buru-buru mengambilkan dompet yang terjatuh.
Ternyata itu adalah Boy, salah satu teman sekelasku yang jarang muncul ke sekolah. Kudengar dia sering sakit-sakitan. Aku jadi merasa bersalah karena sudah menabraknya sekeras itu.
Tanpa sengaja, aku melihat isi dompetnya. Ada sebuah foto kecil yang menarik perhatianku. Foto seorang anak kecil dan seorang anak SMA.
"Ini siapa?"
Boy berjongkok dan melihat dompetnya yang sedang kupegang. "Itu kakakku," jawabnya. "Dia sudah meninggal lima tahun yang lalu."
Kelasku ribut seperti biasanya, tapi mendadak saja semua jadi hening ketika melihatku semuanya berbisik-bisik.
"Niken?"
"Niken kenapa?"
"Kenapa dia nangis?"
Segera saja aku mendorong dompet itu ke dada Boy, lalu aku berlari sekuat yang kubisa. Bel seklah berbunyi, dan aku mengabaikannya. Aku terus berlari menuju pohon yang selalu kudatangi itu. Ari sedang berdiri disana, bersandar ke pohon.
Dia terkejut melihatku, "Niken? Kenapa kamu disini? Bel sekolah sudah berbunyi, 'kan?"
Aku berhenti beberapa meter di hadapannya. Aku tidak menjawab dan berusaha untuk mengumpulkan napasku. Setelah napasku terkumpul, aku mencoba untuk berkata perlahan-lahan. "Kenapa..."
Ari menunggu.
"Kenapa kamu tidak pernah pulang denganku?"
Dia tampak kebingungan mendengar pertanyaanku. Setelah diam beberapa saat, lalu dia menggeleng. "Tidak ada alasan khusus."
"Apakah kamu membohongiku?" tanyaku tanpa menghentikan air mata mengalir dari mataku.
"Niken, kamu kenapa?" Wajah Ari tampak sangat shock melihatku menangis seperti ini.
"Apakah kamu tidak mau pulang denganku karena kamu tidak bisa pulang?"
Suasana menjadi lebih sepi dari biasanya. Ari tampak terkejut sekaligus tenang. "Aku nggak mengerti maksudmu."
"Jangan pura-pura bodoh!" seruku sambil mengisak tangis. "Apakah kamu membohongiku? Apa maumu? Sudah kuduga sejak awal ada yang aneh kalau ada seseorang yang dapat mengerti diriku."
"Niken, dengarkan penjelasanku dulu. Pasti ada kesalahapahaman. Aku tidak membohongimu, aku ini manusia. Aku sungguhan bisa melihat hantu. Dan aku punya perasaan padamu. Niken."
"Niken!"
Aku menoleh, Amalia dan Michelle datang menyusulku. Mereka berdua menatapku dengan kebingungan. "Niken, kenapa kamu berbicara sendirian?"
Seketika, kakiku gemetar dan lemas. Aku berjongkok dan membenamkan wajahku di lutut.
"Niken, aku bisa jelaskan.." ucap Ari dengan suara yang bergetar.
"Pergi!" teriakku. "Pergi!"
Aku menangis tersedu-sedu dibawah pohon itu. Menangis dengan keras. Hingga akhirnya aku menyadari, Ari sudah benar-benar pergi, tak akan pernah kembali lagi, Amalia dan Michelle pun sudah pergi, mengira aku mengusir mereka.
Hari itu, guru mengizinkanku pulang lebih awal. Sesampainya di rumah, Mama hanya memelukku dan tidak bertanya apa-apa.
Lalu di kamar, aku kembali ke pojok ruangan yang selalu menjadi sahabatku ketika kecil dulu setiap kali aku menangis karena makhluk halus. Kukira, ketika aku sudah dewasa, aku tak akan lagi menangis sendirian di pojok kamar ini. Dan sekarang aku kembali ke sini.
Sejak awal seharunys aku sadar. Tak mungkin ada orang yang bisa mengerti penderitaanku. Dia bisa melihat hantu, karena dia sendiri adalah hantu.
Semenjak pertemuanku dengannya, hari demi hari, tanpa sadar aku semakin dalam memupuk perasaanku. Kini, setelah menyadarinya, semua sudah terlambat.
Apakah aku salah jika memilih untuk berharap? Apakah aku salah jika aku memilih untuk bertemu dengannya setiap hari? Apakah aku salah jika aku memilih untuk menjadikannya alasanku untuk bahagia? Apakah aku salah jika aku memilih untuk...
***
Keesokan harinya, aku tidak masuk ke sekolah. Tapi hari berikutnya, aku kembali ke sekolah, dan tak seorangpun yang menanyakan padaku tentang apa yang terjadi kemarin. Amalia dan Michelle pun berlaku seolah tak terjadi apa-apa, tapi diam-diam mereka berusaha menghiburku.
Dan Boy, hari ini lagi-lagi dia tidak masuk sekolah.
Setelah itu, aku tak pernah bertemu dengan Ari. Mungkin dia takut, jika dia tak pergi, aku maupun dia akan semakin sulit untuk melepaskan, dan hal itu hanya akan menyakiti kami berdua.
Setiap kali teringat akan dirinya, rasanya dada ini terasa menyakitkan. Aku hanya berharap suatu saat nanti aku bertemu laki-laki yang paham penderitaanku. Tapi kini, kenapa akhirnya jadi begini?
Ari, apakah kamu sungguh-sungguh dengan perkataanmu waktu itu?
"...aku punya perasaan padamu, Niken."
Suatu hari, ketika aku sedang merindukannya, aku menghampiri pohon itu sepulang sekolah. Ari tak ada di sana. Aku pun duduk dibawah pohon itu, membayangkannya ada di sampingku.
"Niken."
Seseorang memanggilku. Itu Boy. Dia mendekatiku, lalu duduk di sampingku. Keheningan menyelimuti kami dalam waktu yang cukup lama.
"Kakakku dulu meninggal di bawah pohon ini." ujarnya memeah keheningan. "Dia terkena serangan jantung tiba-tiba."
"Hentikan."
Aku memeluk lututku dan membenamkan wajahku kesana. Boy tak bicara apa-apa lagi, lalu tak lama kemudian pergi meninggalkanku sendirian.
"Dasar bodoh," bisikku.
Angin sore berembus, terasa dingin sampai menembus tulang.
"Aku membecinmu. Aku membencinmu. Aku membencimu. Aku membencimu."
Aku tak lagi sanggup menahan air mataku.
"Aku mencintaimu."
Tak tahu apakah Ari mendengarku atau tidak. Tak tahu apakah angin sore itu menyampaikan pesanku atau tidak. Tak tahu langit senja melihat tangisku atau tidak.
Aku hanya menangis, menyadari sudah terlalu dalam untuk manusia yang telah tiada.
Aku tak tahu, apakah aku bisa mencintai pria lain lagi sedalam ini. Sejauh apa pun kakiku melangkah, waktuku sudah berhenti. Aku tak tahu apakah aku mampu untuk melupakan, apalagi merelakan.
Aku tak masalah, jika memang waktuku harus terhenti, jika itu untuk dirimu.
PROFIL PENULIS SINGKAT
Saya Fedora Lay, lahir di Bandung pada 31 Januari 2000. Saya adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, memiliki kakak tertua laki-laki dan kakak kedua perempuan.
Saya sudah memiliki minat dalam menulis semenjak duduk di bangku SMP, dan teman-teman, guru-guru, serta orangtua mendukung minta saya itu. Awalnya, saya melakukan hobi menulis saya hanya untuk bersenang-senang. Setelah lama menekuni hobi ini, saya menyadari kalau saya bisa mengembangkan bakat saya dalam menulis lebih baik daripada yang saya miliki saat itu, sehingga saya terus mengembangkannya sampai sekarang. Saya percaya pada talenta menulis dalam diri saya dan tidak akan pernah menyerah.
Saat ini saya adalah seorang mahasiswi dari jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan. Meski jurusan saya pilih tidak ada hubungannya dengan minat menulis yang saya miliki, saya tetap akan berjuang dalam menggeluti dunia ini.