Cerita - Memori Masa Lalu

Cerita - Memori Masa Lalu

INIKECE - Hari ini merupakan hari pertamaku bekerja di sini. Aku membuka tirai jendela dan kurasakan hangatnya sinar mentari menembus kamar. Aku menatap ke arah jalan dan kulihat jalanan yang ramai dengan mekarnya bunga Sakura.

Seketika aku teringat dengan salah satu film animasi yang berjudul 5 cm per second. Aku masih ingat dengan jelas kutipan pada film itu yaitu "kecepatan bunga sakura saat jatuh adalah 5 cm per detik, pada kecepatan berapa aku harus hidup untuk dapat bertemu denganmu lagi?"

Aku kembali ke salah satu meja kecil dan melihat file perusahaan animasi tempatku akan bekerja. Aku tersenyum miris, mengingat seseorang yang meletakkan semua impiannya pada perusahaan ini tetapi malah aku yang bekerja disini. Samar-samar teringat rangkaian peristiwa pada masa itu, masa-masa yang cukup sulit untuk kulupakan.... (Tokyo,2017)

Indonesia, 2010

"Kak cepetan dong, hari ini kan hari pertama aku MOS. Aku nggak mau telat, nanti dihukum sama senior-senior." Aku berteriak sebal menunggu kak Algi keluar dari rumah.

"Sabar bawel.. Lagian siapa yang mau marahin kamu? Mereka nggak akan berani."

Aku mendengus sebal mendengar ucapannya. Ya iyalah, siapa juga yang berani sama kak Algi yang notabene adalah pentolan SMA Nusa Bangsa ini.

"Terserah, udah buruan ayo berangkat." Aku melangkah menuju mobil dan mempersiapkan segala sesuatu yang akan dipakai saat MOS nanti.

Sesampainya di sekolah, aku melihat beberapa anak baru yang sedang dihukum dan dengan panik aku melihat jam tangan. Jam 08.00 OMG pantesan saja, matilah....

"Kamu yang telat sini!" ucap salah seorang senior yang melihatku datang. Aku menunduk dan berjalan mendekat ke arahnya.

"Kamu tau nggak sekarang jam berapa? Mau jadi apa kamu kalau sekolah aja datengnya telat-telat gini?"

Masih menunduk dan hendak membuka suara, tiba-tiba ...

"Hai Ellen, sorry nih gue nggak tahu kalau hari ini MOS. Tadi gue bangun kesiangan gitu jadi adek gue juga ikut kesiangan. Dia usdah siap dari subuh kok, cuma gue aja yang lama."

Gosh, apalagi ini. Aku memutar bola mataku dan mendengus sebal.

"Eh...eh... hai kak Algi, Iya kak nggak apa-apa kok, tadi saya cuma mau nyapa dia aja hehe." Aku melihat kakak senior ku ini tersenyum canggung saat kulihat kak Algi berkata demikian dan merangkulku. The Power of kak Algi.

Kakak seniorku pun menyuruhku bergabung dengan anak-anak baru lainnya yang saat ini sudah berada di dalam kelas. Kejadiannya selalu seperti ini. Fast track seperti di Dufan.

***

Aku merasa setiap orang melihatku dengan canggung. Aku tahu rumor tentang kak Algi sudah menyebar di seluruh sekolah ini, bahkan sampai ke anak baru sekalipun. Algivara Anando Ribero, satu-satunya kakak laki-lakiku, king SMA Nusa Bangsa, pemenang olimpiade sains tingkat nasional, MVP basketball SMA Nusa Bangsa.

Pemegang sabuk hitam karate, bahkan saat ini sudah diterima di 3 Universitas ternama di Indonesia meskipun UN belum dilaksanakan. Sedangkan aku? Percayalah, aku hanya gadis biasa yang introvent. Hampir tidak mempunyai prestasi dan selalu hidup di bawah proteksi dan kekuasaan kak Algi, dan suasana seperti ini sudah biasa kurasakan.

Aku mencari tempat duduk yang aman, di bagian belakang dan tak lama kemudian kulihat seorang cowok -  yang tadi ada di barisan anak-anak yang telat - masuk ke dalam kelas dan duduk di sebelahku.

"Hai, gue Vanya." Kaktku sembari mengulurkan tangan kearahnya.

"Reino," katanya singkat, padat, jelas. Tanpa membalas uluran tanganku, tanpa menoleh ke arahku. Matanya fokus pada komik yang sedang dibacanya. Aku kembali menarik tanganku dan mengambil salah satu buku tulis dari dalam atas.

"Hmm.. Lo marah ya sama gue?" tanyaku dengan hati-hati. Aku tahu semua orang mungkin akan marah padaku karena peristiwa tadi.

"....." Hening, tidak ada jawaban darinya.

"Gue juga nggak mau kok, tapi kak Algi tuh gitu, gue ---"

"Siapa tuh?" kata memotong pembicaraanku.

"Siapa? Kak Algi?" dan dibalas anggukan olehnya. "Serius lo nggak tau kak Algi?" Kali ini dibalas dengan gelengan kepalanya.

Aku tersenyum, aku rasa aku menemukan orang yang tepat. Kalau dia tidak tahu siapa kak Algi otomatis dia tidak akan merasa canggung atau segan terhadapku.

"Lo dateng dari hutan ya? By the way mulai sekarang kita temenan ya? Lo mau kan jadi temen gue? ucapku dengan bersemangat.

"Cewek aneh." Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku tersenyum lebar yang disambut dengan geleng-geleng dan senyum tipis dari bibirnya. Dan saat itulah masa-masa SMA-ku dimulai.

***

"Reeeiii, gue lupa bawa PR matematika. Gimana ini?" kataku dengan panik.

"Lupa bawa apa lupa ngerjain?" tanya Rei dengan nada sinis. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum sedikit.

"Hehe... ya lupaa.. Lo kan tahu semenjak kak Algi kuliah di Aussie, hidup gue jadi berantakan huhu," kataku dengan nada sedih.

"Heh lebay, dasar lo-nya aja yang males. Nih PR gue, ganti sampul bukunya pake sampul lo buruan sebelum bel masuk." Aku tersenyum senang dan mengambil buku Rei lalu mengganti sampulnya dengan sampul buku ku.

"Cinta banget pokoknya gue sama lo Rei." Aku melihatnya yang tampak tak peduli dengan ucapanku. Padahal ucapan itu benar-benar berarti untukku.

Sudah lebih dari dua tahun aku mengenal Reino. Dan selama itulah aku dan Reino menjadi dekat. Benar-benar dekat. Reino Alkandra Beckmann, cowok blasteran Indo-Jerman yang sangat tampan di mataku, tingginya nornaml untuk ukuan cowok blasteran, ketua ekstrakulikuler seni rupa, seseorang yang aktif tapi tetap terkesan cool dan satu-satunya yang selalu ada untukku, selain kak Algi.

Dia tidak pernah meninggalkanku atau bahkan menyekitiku. Dia benar-benar seorang teman yang baik. Dia membantuku menyesuaikan hari-hariku saat Kak Algi memutuskan untuk kuliah di Aussie, saat semua orang memandangku sebelah mata - karen aku adik Kak Algi - dia tetap memandangku sebagai apa adanya diriku.

Reino, seseorang yang sering terkena masalah di sekolah karena membantuku, iya membantuku memberikan PR ketika aku lupa mengerjakan, memberiku topi saat upacara bendera ketika aku tidak membawa topi, berpura-pura mengatakan bahwa aku sakit ketika aku mengantuk di kelas sehingga aku bisa tidur di UKS, menemaniku bolos saat hari di mana Kak Algi berangkat ke Aussie karena yang kulakukan hanya menangis sepanjang hari, membantuku memahami semua pelajaran sulit di sekolah, dan hal lainnya yang membuatku merasa spesial.



Reino benar-benar menepati janjinya pada Kak Algi bahwa dia akan menjadi teman yang baik untukku. Ia, hanya teman baik. Tapi hal itu sangat berarti untukku. Sejak hari saat aku duduk sebangku dengannya, hidupku perlahan berubah, Reino mengajarkanku banyak hal yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Reino mampu membuat Kak Algi begitu percaya padanya hingga sampai saat ini selalu pergi dan pulang sekolah dengannya. Aku, Alvannya Ananda Ribero, seorang gadis biasa yang introvert menjadi gadis ceria yang selalu ingin tahu tentang dunia. 

Tahun ini merupakan tahun terakhir kami berada di SMA. Tahun yang berat, untuk menghadapi segala urusan kelulusan dan untuk menghadapi fakta bahwa mungkin tak selamanya aku bisa bersama dengannya.

Seringkali kamu mengunjungi bukit di belakang sekolah hanya untuk memandangi rangkaian alam yang luas, menghabiskan waktu untuk mengobrol dan bercanda tawa, mendengar antusiasnya ketika bercerita tentang mimpinya.

Reino selalu menceritakan impiannya yang ingin kuliah di jurusan animasi karena dia sangat menyukai komik dan anime. Reino pintar sekali menggambar, dan inspirasinya terdapat pada film-film animasi yang ditontongnya. Aku selalu senang menghabiskan waktu di sini melihatnya menggoreskan kuas pada sketchbook yang selalu dibawanya, menonton film-film animasi yang bahkan sebenarnya aku tidak mengetahui jalan ceritanya.

Aku selalu menyukai semua hal tentangnya. Walau begitu, aku tidak bisa mengatakan semuanya, mengatakan bagimana perasaanku kepadanya. Jangan ditanya, mengingat aku selalu menghabiskan waktu dengannya maka perasaanku untuknya sangat tergambar jelas, tapi aku tidak ingin merusak semuanya.

Aku lebih memilih menyimpan perasaanku asal dia tetap berada di sini bersamaku daripada aku mengatakan yang sebenarnya dan mengetahui fakta bahwa dia tidak memiliki perasaan yang sama kepadaku dan hal itu akan membuat suasana menjadi tidak baik. Tidak tidak, begini saja sudah cukup, aku menyukuri semua ini.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpanya. Tidak mendengar suaranya yang lembut saat membangunkanku di pagi hari, tidak mendengar suara motornya yang selalu menjemputku setiap hari, tidak memandang wajahnya yang serius mengerjakan gambarnya, dan hal lainnya yang tidak ingin kubayangkan.


"Eh, katanya di kelas kita mau ada anak baru lho." Samar-samar aku mendengar suara teman-temanku yang sedang bergosip membicarakan rumor bahwa akan ada anak pindahan ke kelasku. Heran, sudah kelas 12 tetapi masih ada saja yang pindah.

Aku melangkah menuju tempat duduk dan kulihat Reino sedang asik dengan komik manga yang baru dibelinya kemarin. "Serius banget bacanya, belajar Rei belajar, udah kelas 12 juga masih aja hobi baca ginian," ucapku sembari mengambil komik itu dari tangannya.

"Rese, sini balikin komiknya. Lagian gue nggak belajar juga nilai gue udah bagus tuh. Nggak kaya elo," ucapnya sambil merebut kembali komiknya dari tangku.

Aku mendengus sebal dan berpura-pura tidak peduli dengan ucapannya. Tak alam kemudian guru yang mengajar di kelas kami pun masuk diikuti dengan seorang gadis di belakangnya. Ternyata rumor tentang murid pindahan itu benar adanya.

"Anak-anak, dikelas kalian kedatangan murid baru. Bapak harap kalian bisa saling membantu dan berteman dengan Alana. Alana silahkan perkenalkan diri kamu."

"Salamat pagi semuanya, nama saya Alana Caroline, pindahan dari Harriot International High, senang bertemu kalian dan mohon bantuannya," katanya seraya menunduk dan kemudian tersenyum.

Cantik. Satu kata yang bisa kudefinisikan untuknya. Rambut kecokelatan panjang yang ikal di bagian bawahnya, bulu matanya yang lentik dan bola matanya yang cokelat menambah kesempurnaan di dirinya. Dapat dilihat bahwa semua anak lelaki di kelasku sedang terkagum-kagum padanya. Seketika aku pun menoleh pada lelaki disebelahku ini, dan suprise, Alana sukses mengalihkan perhatiaanya dari komik kesayangannya.

Mata jelas terkunci pada sosok Alana, aku mendengus pelan dan melihat ke arah luar jendela, berusaha untuk tidak peduli dengan semua ini.

"Alana, silahkan duduk disitu dan anak-anak mari kita mulai pelajaran hari ini."

Kulihat Alana melangkahkan kakinya ke bangku yang ada didepanku, karena hanya itulah satu-satunya bangku kosong yang ada.

Alana yang sudah duduk di bangkunya kemudian menoleh ke arahku dan Reino. "Hai, gue Alana. Mohon bantuanya ya," katanya seraya mengulurkan tangan dan tersenyum.

"Reino," ucap reino membalas uluran tangannya dan balas tersenyum. Sial, dulu pas kenalan sama aku aja Reino boro-boro mau jabat tangan, nengok pun enggak.

"Vanya," ucapku kemudian dan mencoba memaksakan diri untuk tersenyum. Alana kemudian membalikkan badannya dan bersiap untuk memulai pelajaran.

Untuk pertama kalinya sepanjang hari aku merasa sangat kesal karena sepanjang hari itulah Alana dan Reino tiada henti-hentinya bercanda dan tertawa bersama. Ugh, aku melihat jam di pergelangan tanganku dan waktu pulang ternyata masih cukup lama. Tahan Vanya tahan, abaikan abaikan, aku mencoba memfokuskan diri ke buku Kimia yang ada di depanku.

"Kok lo mendadak jadi pendiem Van? Biasanya ngoceh mulu nggak berenti-berenti." Tiba-tiba Reino menyenggol tanganku dengan sikunya. "Baca buku kimia? Nggak salah? Lo sakit ya? Gue anter ke UKS ya," ujarnya sambil menaruh tangannya di kepalaku dan tertawa cekikikan.

"Apaan sih lo, lebay," Aku bangkit dari kursiku dan meminta izin pada Bu Irna untuk ke toilet. Entahlah, perasaanku hanya tidak tenang. Pasalnya, baru kali ini ada seseorang yang bisa membuat Reino mengobrol nyaman selain aku. Aku senang Reino mempunyai teman baru yang membuatnya nyaman tapi hatiku jelas menolaknya.

Aku melihat ke cermin toilet, melihat sosok gadis dengan rambut sebahu yang tidak bisa dibilang indah. Sangat berbanding terbalik dengan Alana sang bidadari, aku melangkah keluar dari toilet dengan perasaan sedih, mungkin saat ini bumi sedang tidak berpihak kepadaku.

***

Sudah 3 bulan sejak kepindahan Alana ke sekolah ini. Dan ternyata Alana merupakan gadis yang baik. Aku pun tidak menyangka bahwa saat ini kami teman dekat. Biasanya hanya ada aku dan Reino di bukit belakang saat pulang sekolah, kali ini ada Alana yang bergabung bersama kami. Aku senang, karena Alana merupakan orang yang baik.

Walaupun terkadang aku merasa jealous setiap kali Reino memperhatikan Alana dengan berlebihan. Dan Alana merupakan orang yang sangat mudah bercanda, tertawa, memulai pembicaraan, yang sangat jauh berbeda sekali dengan diriku. Tapi hal itu tidak membuatku membenci Alana, aku malah banyak belajar darinya untuk menjadi seseorang yang lebih percaya diri.

Malam ini Reino datang ke rumahku. Hal yang biasa dia lakukan setiap Jumat malam. Entah untuk belajar atau hanya mengobrol. Aku membawkan oreo milkshake untuknya ke pinggir kolam renang dan kulihat dia seperti sedang gelisah.

"Van, gue boleh ngomong sesuatu sama lo?" Katanya tiba-tiba. Deg, jantungku serasa berdetak lebih cepat, apa Reino akan bilang perasaannya kepadaku? Aduh Van jangan geer dulu deh.

"Ngomong aja kali, biasanya juga lo nggak pake minta izin dulu," kataku mencoba tetap tenang.

"Gue suka sama..." Deg, jantungku makin berdetak tidak karuan menunggu dia meneruskan kalimatnya.".. Alana."

Aku terdiam membisu. Tidak tahu harus berkata apa. Rasaya semua yang sudah kubangun selama ini hancur seketika. Aku bersusah payah menahan air mataku agar tidak menetes, berusaha tidak menampilkan perih dan kesedihan yang saat ini sedang kurasakan.

"Menurut lo gimana? Gue mau nembak dia besok. Kira-kira apa yang harus gue siapin? Bunga ya? Atau boneka?" Katanya dengan bersemangat. Aku harus kuat, aku tidak ingin menghancurkan semangat Reino.

"Kayaknya nggak perlu Rei, yang penting lo harus tunjukkin kalau lo benar-benar tulus sama dia. Gue rasa itu sudah cukup. Gue yakin Alana juga punya perasaan yang sama dengan lo," kataku mencoba tetap tenang.

"Gitu ya? Lo emang pengertian banget. Thanks ya Van lo emang sahabat terbaik gue," katanya sambil mengacak-acak rambutku dan mencubit pipiku.

Sahabat terbaik. Kata-kata itu terus terngiang di telingaku.

Sepulangnya Reino dari rumahku, aku menangis sejadi-jadinya. Meratapi kesedihan yang kurasakan. Salahku bila saat ini ada orang lain yang mengisi hati Reino. Salahku yang tidak pernah mengungkapkan padanya. 

Aku mengambil bingkai foto kecil yang selalu terletak di meja samping tempat tidurku, foto yang selalu kupandangi saat bangun dan hendak tidur. Kini tiada lagi artinya. Aku membanting foto itu ke lantai dan berteriak sekencangnya. Malam itu, benar-benar malam yang pedih untukku.

***

Tokyo, 2019

Aku memasang earphone di telingaku dan berjalan menuju kantor melintasi keramaian Tokyo. Kota yang ramai tapi tetap tenang dan teratur. Aku tersenyum, tidak pernah menyangka akan bekerja dan hidup sendiri di kota ini.

Setelah malam itu, keesokan harinya Reino benar-benar menyatakan cintanya pada Alana dan diterima dengan senang hati. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku juga bahagia, tapi rasa sakit itu tetap mendominasi.

Walau bagaimanapun aku tetap mendukung mereka, sahabat-sahabat terbaikku. Tidak ada perubahan sikap di antara aku dan Reino, hanya saja saat itu aku mulai membiasakan diri pergi dan pulang sekolah dengan sopir pribadiku, karena sudah ada Alana yang menaiki singgsana motor Reino.

Setelah kelulusan, aku memutuskan untuk menyusul kak Algi ke Aussie dan diterima di jurusan Performing Arts of Communication di kampus yang sama dengan kak Algi.

Jurusan yang sangat kuminati karena sesuai dengan hobiku menulis novel, skenario film dan pertunjukan seni. Aku sangat menikmati masa-masa kuliah, aku bertemu dengan banyak teman yang baik. Namun untuk masalah perasaan, aku tidak pernah merasakan hal yang sama dengan apa yang kurasakan pada Reino. Aku tidak terlalu membuka diri pada siapapun, aku hanya takut akan merasakan sakit yang sama dengan saat itu.

Reino diterima di jurusan animasi di salah satu kampus ternama di Indonesia, sesuai dengan impiannya. Aku sangat bahagia mendengarnya. Sedangkan Alana memutuskan kembali ke kotanya dan mengambil jurusan business.

Hubungan Reino dan Alana pun masih tetap berlanjut walaupun mereka harus menjalani LDR. Sesekali kami bertukar pesan, menanyakan kabar dan menguncapkan rindu satu sama lain. Namun seiring berjalannya waktu, bertukar kabar rasanya semakin sulit hingga kebiasaan itu menghilang perlahan.

Setelah kelulusan aku mendapat tawaran pekerjaan di Tokyo yang tanpa ragu langsung kuterima. Aku bekerja sebagai director di salah satu perusahaan animasi di Tokyo. Miris bukan, aku yang ingin melupakan Reino malah diterima di perusahaan impiannya.

Semua hal ini mengingatkanku padanya, tapi aku berusaha untuk tidak menghiraukannya. Tahun ini adalah tahun ketigaku bekerja disini dan sudah lama sekali sejak kabar tearkhir dirinya. Sampai saat ini aku tidak tau dimana dia berada atau bagimana kabarnya.

Kadang aku merindukannya tapi aku menepis semua kerinduan itu dan percaya bahwa suatu saat aku bisa bahagia tanpa bayang-bayangnya. Semua kenangan tentangnya sudah kusimpan dan kututup rapat, kenangan yang paling indah dan juga menyakitkan.

Hidupku sekarang jauh lebih baik karena aku sudah lama mengikhlaskannya dan menjalani semua ini dnegan senang hati. Kadangkala kak Algi menanyakan tentang kehidupan asmaraku tapi aku hanya ingin fokus pada karieku saat ini.

Aku kembali fokus pada jalan raya dan melihat raya dan melihat betapa indahnya bunga sakura yang sedang berguguran. Sebelum memasuki kantor, aku berhenti sejenak di salah satu pohon sakura di depan kantor. Tidak ada yang kulakukan, hanya melihat keindahan kelopak sakura yang berjatuhan dari jarak dekat. Tiba-tiba ....

"Moshi moshi..." aku mendengar suara yang sangat familiar di telingaku. Suara yang sudah lama tidak kudengar, dan sangat kurindukan. Aku terdiam terpaku, tidak berani menolehkan kepalaku ke arah suara itu. Takut kalau itu hanya imajinasiku saja.

"Benar nggak kalau kecepatan bunga sakura jatuh itu 5cm per detik?" ucap suara itu lagi. Dan lagi ini aku memberanikan diri melihat ke arahnya.

Sosok lelaki jangkung yang tidak berkurang ketampanannya itu saat ini tersenyum menatapku. Aku diam tak bergeming, mencoba mencari kebenaran dari matanya bahwa yang kulihat memang benar dia.

"Watashi wa anata ga koishi, Vanya-chan..." Tanpa kusadari air mataku menetes.

Jelas aku juga merindukanmu. Aku tetap diam tak bergerak, masih takut kalau ini semua hanya mimpi. Tapi walaupun ini semua hanya mimpi, biarlah aku hanya ingin menikmati saat ini. Benar kan?

"Rei..."

***

Penulis lahir di Bandar Lampung, 14 Agustus 1996 dengan nama Radina Ajeng Prameswari. Satu-satunya anak perempuan dari tiga bersaudara. Impiannya ingin tinggal di luar Lampung tapi saat ini belum tersampaikan dan hanya tertuang dalam hobinya menulis dan mengarang bebas. Cerpen ini merupakan salah satu karya yang paling baru dari penulis.

0 comments:

Post a Comment