Cerita Cerpen, Bidadari Malam
INIKECE - Malam telah larut. Cahaya bulan dan bintang nampak suram, terhalau oleh kabut. Melki menghela napas panjang lalu beranjak masuk ke dalam kamar. Ia, lelaki pecinta malam itu, sendiri tadi duduk menyendiri di berada rumahnya. Menikamti sunyi dan semacam keangkeran kampung kecilnya itu kala malam.
Dalam sunyi, bak pertapa ulung, ia menimang-nimang tiap misteri kehidupannya sendiri. Sesekali ia merasakan suatu firasat yang mencemaskan. Ada semacam pertanda bahwa suatu hal teraneh dalam hidupnya bakal terjadi. Segera, dan malam itu juga!
Tetapi sebagai seorang yang rasional, ia mengelak semua keanehan yang secara tiba-tiba muncul dalam pikirannya itu. Toh ia menyadari bahwa dalam sunyi pikiran sesiapa pun bakal menjadi sibuk oleh hiruk-pikuk kenangan, kekinian, dan harapan yang liar melintasi pikiran tanpa kendali.
Maka keanehan itu baginya adalah keindahan dari sunyi itu sendiri. "Betapa hidup ini lucu dan seru!" gumamnya.
Melki lalu masuk ke dalam kamar. Sejenak iya merebahkan tubuh ke ranjang. Lalu bangkit dan menggapai sebuah novel yang hampir selesai ia baca. Tersisa beberapa halaman saja. Rasa penasaran akan ending dari cerita panjang novel tersebut membuatnya nekad menahan ngantuk. Ia membakar rokok dan kembali fokus meresapi makna setiap kata yang ada.
Beberapa saat berselang, suara segerombolan anjing tetangga terdengar melolong. Keras, dalam irama yang kacau dan penuh gairah. Biasanya pertanda bahwa ada yang sedang lewat.
Tetapi siapa gerangan yang berani lewat selarut ini?
Hatinya berkecamuk. Menduga-duga. Ia terjebak dalam perang sengit antara rasionalisme yang belum lama ia akui dan kepercayaan akan adanya dunia gaib yang telah lama tertanam jauh di bawah alam sadarnya. Megi, sang anjing peliharaanya kemudian ikut menggonggong. Iya sontak menduga bahwa pasti ada 'ata laki wie' (orang jalan malam, Red) yang sedang menanam guna-guna di seputaran rumahnya.
Tapi rasionalitasnya tak mau kalah. Ia lalu mengakui kemungkinan lain. Bahwa anjing-anjing itu sedang menggonggong warga yang hendak pergi memburu mobil di jalan raya sana untuk pergi ke kota. Sebab kampungnya belum bisa dimasuki kendaraan apapun. Kampung paling udik.
Di sisi lain, ia ingin mengintip lewat jendela, hendak memastikan. Tetapi ada rasa takut yang seketika menjalari sekujur tubuhnya. Bulu kuduknya berdiri.
"Tok.....tok...tok....!"
Melki tersentak, berulang kali, pintu rumahnya diketok. Tapi ia belum menggubris. Matanya membelalak. Mendegar dengan saksama.
"Tok...tok...tok...!"
Kali kesekian, ketukan pintu itu disusul suara seorang perempuan. Amat ayu dan asing baginya.
Melki lalu melepaskan novel dari tangannya, dan beranjak ke dapur hendak mengambil parang. Dengan sedemikian hati-hati ia merangkak, guna memastikan bahwa sang tamu tidak mendengar derap langkahnya.
Dari dapur, suara ketukan pintu samar terdengat. Sekali lagi, dan disusul suara penuh harap bercampur rasa cemas. Masih dengan kehati-hatian yang sama, ia merangkak kembali ke kamar tamu. Kini dengan sebilah parang panjang nan tajam di tangan kanan, dan sebuah senter di tangan kirinya.
'Awas kau kalau darat!' gerutunya dalam hati. 'Akan saya cincang kau habis-habis!"
Ia menghela napas dalam-dalam. Menyatukan segala indra dan segenap kekuatan untuk menyerang. Kini ia berdiri tepat di balik pintu itu.
'Tok....tok....tok...!"
Suara ketokan yang keras mengagetkannya. "puka mai!" refleks ia berteriak lantaran kaget.
Mendengar suaranya, sang tamu sontak memperkenalkan diri dari balik pintu sebagai Tasya. Berasal dari Jawa, sedang membutuhkan bantuan, sedang nyasar, tak punya niat buruk, dan lain lain.
"Siapa keluargamu disini? Kau jangan berpura-pura!" tegas Melki.
===**===
Sejenak Melki merenung. Mengingat-ingat pengalamannya sewaktu merantau ke Jakarta dulu. Pada awal perantauannya disana, ia pernah mengalami getirnya kehidupan tanpa sepeserpun uang, tanpa hunian. Tapa teman atau keluarga.
Kala itu, ia benar-benar terjebak di tengah pola pikir masyarakat kota yang serba curiga. Di tengah kesemarakandan zaman yang kian melahirkan maling-maling cerdik, terorisme dengan berupa-rupa modus, dab terutama, ia pernah merasakan tanda-tanda zaman dengan rasa peri kemanusian yang telah terkubur dibalik hiruk-pikuk ekonomi.
Dan kini, bila perempuan itu benar-benar Tasya, pengalaman serupa terjadi secara terbalik. Seorang masyarakat kota maju sedang terjebak di tengah belantara keterpencilan. Di kampungnya yang benar-benar udik, jauh dari jangkauan infrastruktur umum, sebuah kampung tanpa akses jalan beraspal, dan terutama jauh dari jangkauan perhatian pihak berwenang dalam upaya pemerataan pembangunan.
Kecuali sebuah sekolah dasar inpres yang telah didirkan tahun delapan puluhan silam, tempat ia mengabdi sebagai guru bahasa Inggris sekarang.
"Nak, ini uang" kata sang ibu suatu malam dalam pilu,"pergilah engkau ke kota. Cari kerja, sebab, engkau tahu, kami tidak biasa membiayamu untuk kuliah" lirih sang ibu membekali kepergiannya malam itu dalam bahasa Manggarai.
"Mohon maaf, tanpa sepengetahuan kamu" lanjut sang ayah, "kami telah menjual kerbau kita itu!"
Iya. Melki adalah anak semata wayang. Buah cinta sepasang suami-istri yang malang tapi pandai mensyukuri tiap detak waktu kehidupan dan tiap penggal realitas yang ada. Mereka adalah petani yang giat dan memiliki cinta dan kasih sayang luar biasa pada sang buah hati. Mereka tak jarang menyesali semua bakat dan talenta yang dimiliki Melki yang luar biasa. Namun, apa daya, secara ekonomi mereka amat tak mampu.
Selama duduk di bangku Sekolah Dasar, Melki selalu menjadi juara kelas. Ia gemar membaca dan pernah mengaku ingin belajar Bahasa Inggris. Buku-buku serta majalah pemberian om-nya yang bekerja di Labuan Bajo selalu lahap ia baca di sela-sela kesibukannya membantu orangtua.
"Kami hanya bisa berdoa, semoga kamu selamat sampai tujuan!" pesang sang ibu bercampur tangisan panjang.
Niat mereka mengutus Melki berawal dari ajakan Shinta, salah seorang warga kampung yang paling dikagumi lantaran bisa pulang dengan harta berlimpah setelah sekian lama merantau di Jakarta. Kala itu, Shinta sedang berlibur, dan tidak seorang warga pun yang tahu ihwal pekerjaan Shinta di Jakarta sana.
Acara 'wuat wai' pun dihelat malam itu untuk mendoakan dan mengutus perantauan Melki secara adat Manggarai.
"Dasor lalong bakkok koe du lakom, lalong rombeng koe du kolem!" sepenggal doa perutusan yang sarat makna terucap. "Semoga engkau pergi dengan kehampaan (ayam putih), dan nanti bisa pulang dengan sebuah keberhasilan (ayam berbulu panjang dan tebal)"
Shinta dan kedua orangtuanya hadir dalam acara tersebut. Kepada semua anggota keluarga yang hadir, ia sempat mengaku senang bisa pergi bersama Melki. Ia juga berjanji untuk membantunya dalam banyak hal selama di Jakarta nanti. Dalam hal apa pun.
Sungguh sebuah pengakuan yang membuat hati kedua orangtua Melki bahagia. Lantas menyatakan ucapan terima kasih yang tulus dan berulang-ulang kepadanya.
Selama dalam perjalanan, hingga beberapa minggu di Jakarta, Shinta menjamin segala kebutuhan Melki. Ia bahkan mengaku, rela melakukan apa saja baginya, sebab telah lama memendam rasa cinta pada lelaki tampan nan malang itu. Kala itu, Melki hanya bisa menjawab betapa besar ia menghargai perasaan Shinta. Akan tetapi, ia butuh waktu untuk membuktikan semuanya. Toh kalau jodoh, keduanya tidak terikat hubungan keluarga yang bisa menghalangi.
Iya. Melki memang ganteng. Lelaki yang perkasa, yang tumbuh dan besar dalam lingkaran keluarga papa. Ia patut dicintai wanita mana pun. Namun, ia hanya ingin, itu bukan satu-satunya alasan Shinta mencintainya. Ia juga tak mau, kekayaan wanita tetangganya itu ia jadikan alasan untuk menerima cintanya begitu saja.
Seiring berjalannya waktu, Melki mulai mengetahui banyak hal tentang Shinta. Shinta ternyata bekerja sebagai pelacur. Wanita panggilan, atau pemuas dahaga pebisnis atau pejabat-pejabat kaya. Sebab memang, Shinta adalah wanita yang amat cantik. Namanya juga cukup tenar di sana.
Melki lantas menjauhi Shinta. Justru pada saat uang sakunya mulai menipis. Kesana-kemari ia melamar kerja, namun gagal. Tidur di emperan toko. Sesekali di kolong jembatan guna menghindari pantauan perampok atau semacamnya.
Hampir dua bulan, ia merasakan pahit getir realitas di sebuah kota metropolitan.
Seorang lelaki kampungan nan malang terjebak dalam labirin doa dan harapannya sendiri. Hingga akhirnya ia diterima bekerja di sebuah perusahaan plastik. Entah namanya apa.
===**===
Hampir dua tahun berlalu. Melki sudah bisa membeli hp sendiri dan telah mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di sebuah universitas swasta. Jurusan Sastra Inggris, kelas Karyawan. Kerinduan supar pada kedua orangtuanya sudah tak terbendung lagi. Dengan terpaksa ia mendatangi Shinta untuk meminta nomor hp orangtua Shinta guna bisa berhubungan dengan kedua orangtuanya. Kala itu, ia menemukan bahwa ayah dan ibu Melki ternyata telah lama ber-telephone dengan Shinta dan menanyakan keadaan anak semata wayang mereka. Tapi sengaja Shinta rahasiakan.
Beruntung sore itu, Shinta dengan setengah hati memberikan nomor orangtuannya. Sehingga ia bisa menelpon sang ibu dan ayahnya di kampung. Tangisan panjang sang ibu mengisi perbincangan panjang keduanya. Sang ayah yang lebih tegar menahan rindu, hanya bisa mengabari sang anak kalau mereka sedang menuai hasil perjuangan mereka selama bertahun-tahun.
Semua tanaman pertanian, seperti cengkeh, kopi, dan lain-lain telah berbuah melimpah pada saat harga di pasaran juga sedang naik. Dari hasil itu semua, mereka sedang mendirikan rumah baru permanen.
Sebaliknya, Melki juga memberitahu mereka bahwa ia sudah mulai kuliah, sambil kerja. Tak perlu kalian cemaskan, pesannya. Ia mengaku bisa membiayai kuliah dengan hasil kerjanya.
"Bos saya baik sekali, ende" aku Melki, "baiknya seperti ende dan ema!"
Kabar gembira itu justru menyulut tangisan panjang sang ibu, oleh rasa haru.
Sungguh sebuah pertumpahan rasa rindu yang amat menyejukkan kalbu. Namun, dalam hati, Melki sekaligus mencemasi kabar gembira itu. Ia tahu, bahwa di kampungnya terdapat banyak ata mbeko. Termasuk ayah Shinta. Sudah sekian banyak warga 'yang cukup kaya' atau sedang tumbuh secara ekonomi telah tewas dan diduga meninggal karena disantet olehnya.
Benar saja, hanya sebulan berselang, Melki mendengar kabar bahwa sang ayah telah tiada. Mati mendadak. Pada saat minum kopi sore, di kebun. Usai memetik cengkeh. Kala itu, Melki sempat pulang untuk melayat sang ayah.
Ada sekitar satu bulan ia di kampung. Sang ibu tiba-tiba jatuh sakit. Berbagai pengobatan dilakukan. Baik tradisional maupun medis. Tapi gagal. Sang ibu akhirnya pulang ke pangkuan Sang Kuasa tanpa satu pun riwayat penyakit yang terdeteksi. Semua warga, termasuk dirinya percaya bahwa kedua orangtuanya meninggal akibat disantet ayah Shinta.
Tetap saja. Ia sadar, itu semua hanyalah prasangka yang takan terbukti. Segalanya sia-sia!
Dengan luka yang teramat dalam pun, Melki memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Hendak menyelesaikan kuliahnya yang tinggal dua tahun saja. Sekaligus untuk melarikan diri, atas pesan dari pamannya, Rikus,agar bisa luput dari target ayah Shinta.
===**===
Melki pulang ke kampung usai menyelesaikan gelar sarjananya. Sang mantan guru di sekolah dasarnya dulu langsung memanggilnya untuk bekerja di SD tersebut. Ia kini tinggal sendirian di rumah permanen peninggalan kedua orangtuanya.
"Siapa kamu?" tanya Melki tegas sambil menyorotkan lampu senter tepat di wajah wanita asing di balik pintu itu. Di balik pintu, Supar menemukan sesosok wanita yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Dari rona mukanya, Melki bisa pastikan bahwa ia memang seorang keturunan Jawa. Ia mengenakan jilbab hitam, yang ia kombinasikan dengan kemeja merah jambu, dan celana jeans abu-abu.
Ronanya memancarkan aura kedewasaan, kesederhanaan dan kepasrahan sekaligus. Wanita itu menutup wajahnya dengan tangan. Bermaksud menghalau cahaya senter itu.
Lalu Melki menyoroti senternya ke arah kaki. Bermaksud untuk menghitung jumlah jari kakinya. Sebab ia sempat menduga, bahwa ia adalah darat (bidadari). Kalau benar, berarti jari kaki dan tangannya pasti berjumlah enam. Tetapi, senyata-nyatanya ia menemukan jari wanita itu normal.
"Aku Tasya, mas. Dari Jogja. Akan aku ceritakan semuanya kenapa aku sampai di sini!" wanita itu memohon dengan sungguh agar diperkenankan masuk ke dalam rumah. Ia juga mengaku sedang sangat lapar.
"Tunggu!" tegas Melki, "duduk kamu di sana, sebelum saya memotong lehermu dengan parang ini!"
Wanita itu menurut. Lalu duduk di salah satu kursi panjang di beranda rumah Melki. Ia meletekan ransel kecil yang sedari tadi digendong tepat di ujung kedua kakinya.
Melki menoleh ke kiri dan kanan. Hendak memastikan apakah ada warga yang mendengar teriakannya. Tak satu pun. Malam memang telah benar-benar larut. Semua warga masih tidur lelap.
"Siapa sebenarnya yang kamu cari di kampung seudik ini, huh?" tanyanya pelan.
Wanita itu menjawab dengan isak tangis. Ia menyeka air matanya dengan ujung jilbab. Lalu menjelaskan.
"Mas, sebelumnya saya mohon maaf udah mengganggu. Saya sebenarnya ke sini atas petunjuk almarhumah ibu saya yang telah meninggal tiga tahun silam" lirih Tasya mengaku, "ibu saya datang lewat mimpi hampir setahun yang lalu. Ia menyuruh saya untuk datang ke sebuah kampung bernama "Kakor" di kecamatan Ndoso, Kabupaten Manggarai Barat!"
Melki mendengar dengan saksama. Kebingungan. Sembari mengamati rona muka wanita itu. Menikmati lentik bibirnya komat-kamit manja saat menjelaskan, dan terutama barangkali ada tanda-tanda kebohongan yang terungkap lewat gerak kedua matanya.
Melki mengerutkan kening. Menggeleng panjang lalu menanggapai.
"Saya adalah salah seorang yang percaya pada mimpi. Tapi bukan untuk hal-hal yang tidak masuk akal seperti ini!" pancingnya. "Andai aku adalah kamu, untuk pertama dan terakhir kali, saya berani mengkhianati ibu saya bila menyuruh saya melakukan hal yang amat menyiksa seperti ini!"
"Toh darimana ibu-mu tahu bahwa ada kampung bernama Kakor di sini?"
Wanita itu tertegun dan sontak menangis sejadi-jadinya. Ingin Melki memeluknya lantaran ikut terharu. Tapi apa daya, kecurigaan kian merundungi hati dan pikirannya saat ini.
Masih dalam isak tangis, wanita asing itu menjelaskan kalau kedua orangtuanya adalah pengusaha kaya di Jakarta. Dan, mereka adalah mantan bos Melki dahulu sewaktu di Jakarta. Tasya sendiri tidak pernah bertemu dengannya lantaran sejak kecil ia tinggal bersama neneknya di Jogja. Tapi sang ibu dan ayahnya selalu menceritakan ihwal Melki kepadanya. Mulai dari etos kerja, kejujuran, semangat belajar hingga detail-detail terkecil tentang lelaki malang itu.
"Apa?"
Melki benar-benar terkejut mendengar pengakuan itu. Sekujur tubuhnya merinding. Tapi ia masih tetap belum percaya begitu saja.
"Siapa nama ibumu?" Melki sekedar menyesuaikan nama majikan perempuannya dulu dengan yang akan disebutkan wanita secantik bidadari di hadapannya. Dan ternyata sesuai. Sang ibu memang pernah bercerita soal Tasya kepadanya dan dalam suasana canda, majikannya sering mengaku ingin menjodohkannya dengan putri semata wayang mereka.
Melki sontak melemparkan parang di tangannya jauh-jauh, lalu sujud memohon maaf pada Tasya. Tangisan keduanya pun pecah saat pagi sudah mulai merekah.
Satu per satu warga datang ke rumah Melki. Terutama tetangga dekat yang mendengar tangisan keduanya. Semua orang kaget melihat keduanya berpelukan dalam tangis. Terutama, mereka tidak percaya bahwa seorang gadis cantik nan asing ada di kampung mereka.
Melki sontak mengajak Tasya untuk masuk ke dalam rumah. Warga yang hadir ikut berbondong-bondong masuk lewat pintu depan.
Kepada warga yang hadir, Melki memperkenalkan gadis cantik itu. Cerita panjang tentang perjuangannya di ibu kota dahulu, hingga akhirnya bertemu dan bekerja dengan orang tua Tasya, ia helat di hadapan semua warga yang hadir. Dalam tangis.
Sebagian warga yang hadir juga ikut terharu dan menangis, serta memeluk Tasya. Mereka merasa bangga pada Melki, dan bahagia akan kehadiran Tasya di kampung mereka.
Di salah satu dinding ruang tamu, Melki memajang beberapa foto sejak kembali dari Jakarta. Dua bingkai paling atas ia pajang foto kedua orantuanya yang berdampingan dengan bingkai foto mantan majikannya itu, orangtua Tasya. Lalu persis di tengah-tengah bagian bawah kedua foto tersebut ia pajang fotonya sendiri.
"Love never ends" sebuah tulisan tangan Melki dengan cat tertera melingkari ketiga bingkai itu.
"Bagaimana keadaan ayah dan ibu di Jakarta?" tanya Melki penasaran.
Tatapan Tasya sedari tadi terpaku pada foto-foto yang terpajang. Agak lama, sebelum akhirnya ia menoleh dan sontak menangis. Dengan tersengal-sengal, ia memberitahu Melki untuk kedua kalinya. Ia mengaku, bahwa kira-kira setahun setelah Melki kembali ke kampung, pemukiman kedua orangtuanya diserang oleh sekelompok orang tak dikenal. Mereka dibunuh secara sadis.
"Ga lama setelah itu, aku menjual semua aset milik ayah" jelas Tasya terbata-bata. "Hampir separuh uangnya aku sumbangkan ke beberapa panti asuhan, anak jalanan, yatim piatu, dan sisanya aku pakai buat ongkosku ke sini!"
Haru biru kian menyelimuti seisi rumah Melki. Hampir semua warga, terutama kaum ibu, menangis sejadi-jadinya. Mereka benar-benar tersentuh oleh kisah tragis yang menimpa orangtua kedua anak manusia di hadapan mereka, Melki dan Tasya.
"Terus bagaimana kamu tahu alamat kampung ini?" tanya salah seorang warga penasaran.
Melki lalu menjawab dengan mengulangi pengakuan Tasya kepadanya tadi. Ia juga mengaku, bahwa kepada kedua orangtua Tasya, ia memperkenalkan diri secara jujur dan dengan detail lengkap. Mulai dari kampung, desa, kecamatan, hingga kabupaten asalnya. Ia tidak seperti kebanyakan orang yang pergi merantau ke kota-kota besar, misalnya, hanya bilang 'berasal dari Flores', tanpa menyebut nama kampung.
"Dan kalau mau jujur, sebelum ibu dibunuh, ia sempat menelpon aku dan berpesan untuk menikah dengan Melki!"
Sebagian warga tertawa bahagia. Tasya pun tersipu malu dan Melki sontak memeluknya erat.
===**===
Beberapa kaum ibu telah sedari tadi sibuk menyiapkan makanan untuk Tasya dan kopi untuk semua warga yang hadir, atas permintaan Melki. Dalam kesempatan yang sama, serta atas persetujuan paman Rikus yang sekaligus sebagai tua golo, ia mengundang semua warga untuk turut hadir dalam acara besar-besaran di rumahnya hari itu juga.
Acara itu dimaksudkan sebagai penyambutan Tasya, ucapan terima kasih, sekaligus sebagai ungkapan perpisahan Melki kepada kedua mantan majikannya itu. Secara simbolis, acara perpisahan itu dinamakan 'kelas' dalam adat istiadat Manggarai.
Sebagai kepala kampung, om Rikus lantas mengimbau kepada seluruh warga untuk tidak pergi ke kebun hari itu. Ia juga segera membagi tugas kepada masing-masing warga laki-laki demi kelancaran acara tersebut. Dalam rangka memeriahkannya, Melki pun memutuskan untuk menyembelih seekor sapi peliharaannya.
0 comments:
Post a Comment