Kualat Tol Cipularang, Kematian Meri (Part 9)
INIKECE - Kuntilanak yang berteman denganku selalu membisikkan sesuatu di telinga setiap malam. Ia mengajakku untuk bunuh diri. Menjanjikan kehidupan yang abadi dan bahagia dengannya.
Ah, memang dia benar! Saat ini, aku sudah tidak menikmati kehidupanku. Semua terasa hampa, aku sudah tidak tertarik lagi bergaul dengan teman-temanku, mengobrol dengan keluarga, dan jalan-jalan ke luar kota. Semua sudah tidak menyenangkan lagi bagiku.
Kebahagiaanku hanya ketika bersama kuntilanak, apalagi kalau di tersenyum. Sangat menyenangkan hatiku.
Di suatu sore, aku sedang mengiris tomat. Kuntianak tiba-tiba muncul dari belakangku. Ia memelukku dan membisikkan ajakan untuk bunuh diri. Aku tersenyum dan membalikkan badan. Ia menatapku dengan penuh kasih sayang seperti seorang ibu kepada anaknya. Iya, mungkin hubungan kami sekarang sudah lebih dari sekadar teman. Dia sudah seperti ibu bagiku, tepatnya ibu kedua.
"Apa aku akan bahagia di duniamu?" tanyaku kepada kuntilanak.
Ia mengangguk sambil tersenyum. Aku kemudian mendekatkan pisau ke pergelangan lengan kanku membuat kuntilanak itu kembali tersenyum bahagia. Sesaat sebelum ku iris pisau di permukaan kulit. Suara seseorang menegurku.
"Mari! Apa-apaan kamu!" itu Bapak.
Ia merampas pisau dari tanganku sambil mendelik marah, keningnya berkerut.
"Kamu kenapa, Meri?!" Bapak menarik lenganku dan membawaku ke ruang keluarga. Kami duduk di sana.
"Meri, akhir-akhir ini Bapak perhatikan tingkah kamu aneh. Kadang ngomong sendiri. Terus tadi, apa-apaan itu! Kamu mau bunuh diri. Ada apa sebenarnya? Cerita ke Bapak." Bapak membetulkan posisi kaca matanya dan menatapku tajam.
BACA JUGA :
Kualat Tol Cipularang, Meri Berteman Dengan Kuntilanak (Part 8)
Bapak terkejut mendengar jawabanku.
"Siapa?"
"Kuntilanak, Pak."
Bapak menyederkan punggungnya ke sofa, kemudian geleng-geleng kepala. Dari ekspresi wajahnya, sepertinya ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Kemudian, ia merogoh smartphone-nya.
"Bapak mau apa?" tanyaku/
Ia tidak menjawab. Dan tetap menunggu seseorang mengangkat teleponnya.
"Halo, tolong hari Rabu kirimkan Psikiater ke rumah saya, ya. DI jalan Adityawarman. Iya, untuk anak saya. Umurnya dua puluh tiga tahun. Oke, saya tunggu." Bapak berbicara dengan seseorang dari seberang teleponnya.
"Bapak. Aku enggak gila, Pak. Aku beneran punya teman kuntilanak. Dia bahkan sekarang berdiri di samping Bapak!" Jelasku dengan nada tinggi.
Tapi bapak tetap tidak peduli.
"Bapak tahu pasti kamu sedang ada masalah yang nggak bisa diungkapin. Mulai sekarang kamu tidur dengan ibumu sementara Bapak akan tidur di kamar kamu. Bapak akan terus awasin kamu. Takutnya nanti malah coba bunuh diri lagi."
Jujur, au tidak terima bapak memperlakukanku seperti ini. Mungkin kuntilanak benar, aku harus bunuh diri saja. Memulai kehidupan baru, di dunia baru. Tapi sayangnya, aku tidak punya kesempatan untuk bunuh diri. Ibu dan Bapak sangat ketat menjagaku, sampai-sampai ibu yang memandikanku. Mereka tidak membiarkanku sendirian.
Hingga pada suatu malam. Ada tiga orang laki-laki yang mengendap-endap masuk ke rumahku. Mereka bertopeng badut, jaket hitam, celana jeans, dan membawa pistol. Mereka berhasil masuk ke kamar tempatku dan ibu tidur.
"Jangan sekali-kali berteriak. Kami tidak segan-segan membunuh kalian," kata salah satu dari mereka.
Aku dan ibu ketakutan. Mereka menggeledah seisi kamar, membuka lemari dan merampas perhiasan emas. Mereka juga meminta kode brankas yang ibu simpan di dalam lemari. Dengan terbata-bata, ibu menyebutkan kode brankasnya.
Ketika mereka sibuk mengeruk uang, buru-buru ibu meraih smartphone dan berusaha menghubungi polisi. Sialnya, salah satu dari mereka menyadari itu, lalu memberi tahu temannya yang memegang pistol. Segera ia membidik punggung ibu, aku refleks mendorong tubuh ibu dan perluru itu meleset tepat mengenai dada kiriku.
0 comments:
Post a Comment