Indonesia Punya Cerita! Sejarah Club Malam Yang Menjadi Kunjungan Banyak Remaja

Indonesia Punya Cerita! Sejarah Club Malam Yang Menjadi Kunjungan Banyak Remaja

INIKECE - Disebut sebagai dunia gelap oleh para remaja, dimana setiap remaja akan menghabiskan senang-senangnya hanya dengan bergoyang/dugem, minum, kenalan dengan banyak wanita ataupun pria. Disini banyak para remaja berkumpul.

Disini, akan dibahas sisi gelap atau sejarah dari Club Malam yang banyak dikunjungi oleh remaja sekarang.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan penghargaan kepada diskotek Colosseum pada malam Anugerah Adikarya Wisata 2019 di Jakarta, 6 Desember 2019. Pemberian penghargaan itu diwakilkan oleh deputi gubernur DKI Jakarta. Adikarya Wisata adalah penghargaan dari pemerintah DKI Jakarta untuk penggiat pariwisata di Jakarta.

Tim juri Adikarya Wisata memandang Colosseum berkontribusi mempromosikan pariwisata di Jakarta sehingga layak menerima penghargaan. Mengalahkan 30 nominator lain dalam kategori serupa. Di samping kategori diskotek dan club malam, Adikarya Wisata mempunyai 30 kategori penghargaan lain. Andara lain bar, restoran, maskapai penerbangan, dan hotel.

Keputusan tim juri menuai celoteh minor dari banyak kalangan. Mereka menilai Colosseum tak pantas menerima penghargaan lantaran pernah menjadi tempat transaksi narkoba. Sebagian lainnya berkeberatan karena melihat keberadaan diskotek dan cluc malam tidak sesuai dengan norma Agama.

Menanggapi kisruh seputar penghargaan terhadap Colosseum, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut penghargaan tersebut pada Senin, 16 Desember 2019. Sampai artikel ini ditulis, belum diketahui kemana penghargaan untuk kategori diskotek dan club malam itu mendarat.

Diskotek dan club malam merupakan jenis hiburan malam yang legal di banyak kota Indonesia. Historia pernah mengulas sejarah diskotek di Indonesia. Ia kali pertama berkembang pada dekade 1970-an. Diskotek pertama di Indonesia berdiri di Jakarta dan bernama Tanamur (Tanah Abang Timur). Kepunyaan Ahmad Fahmy Alhady, pemuda tajir keturunan Arab.


* Bagaimana Dengan Club Malam?

Awal muasal club malam agak berbeda dengan diskotek. Club malam lebih dulu berkembang pada akhir dekade 1960-an. Pelopornya Usmar Ismail, tokoh terpandang dalam dunia perfilman Indonesia. Dia juga seorang haji dan ketua umum Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), organisasi bawahan Nahdlatul Ulama.

Usmar mendirikan Miraca Sky Club di lantai teratas gedung Sarinah, Jakarta. Miraca bernaung di bawah bendera usaha PT Ria Sari Restaurant and Show Management, perusahaan bisnis hiburan malam.

Usmar beralih ke dunia bisnis dan hiburan malam sejak 1966. Kala itu dunia film masuk masa suram. Peristiwa G30S dan huru-hara setelahnya ikut menghantam dunia film. Produksi menurun dan impor film tersendat. Bioskop kekurangan stok film sehingga merugi dan akhirnya tutup.

Sebelum beralih ke dunia lain, Usmar sempat menyelesaikan film berjudul Liburan Seniman. Setelah itu, dia ternyata benar-benar liburan dari dunia seni. Dia mengisi hari "liburnya" dengan mengelola bisnis club malam.

Club malam Miraca menjiplak habis konsep club-club malam di Eropa dan Amerika Serikat. Ada minuman keras, restoran, hostes (perempuan pramuria), dan musik hidup. Tapi sajian andalanya adalah tarian telanjang. Kadang dibawakan oleh seorang atau kelompok perempuan penari dari luar negeri. Lain waktu berpasangan antara lelaki dan perempuan.

Bedanya, Miraca hanya untuk golongan ekonomi atas. Sedangkan club malam di Eropa dan Amerika Serikat mempunyai keberagaman segmentasi pasar. Dari paling necis sampai tingkat kantong kembang kempis.

Harga makanan dan minuman di Miraca berkali-kali lipat dari harga di luar. Tiket menonton tari telanjang pun selangit. Untuk sekali masuk club malam, orang harus menyediakan dana Rp5.000-8.000. Sementara pendapatan per bulan rata-rata penduduk Jakarta saat itu sekira Rp1.000-Rp4.000

Karena tempat ini benar-benar baru di Indonesia, prang berpunya rela menghabiskan uangnya untuk menikmati hiburan baru ini. "Night Club menjadi pilihan utama bagi para penikmat hiburan malam yang kebanyakan dari mereka adalah kelas menengah dan pejabat pemerintahan," kata almarhum Firman Lubis, penulis buku Jakarta 1970-an, kepada Historia.

Keputusan Usmar mengusahakan club malam memancing banyak kecaman dan makian dari masyarakat dan organisasinya sendiri. Tapi dia keukeuh pada keputusannya. "Saya, kalau perlu, akan keluar dari partai saya (Nahdlatul Ulama) jika club malam harus ditutup," kata Usmar dalam Ekspres, 16 Agustus 1971.

Miraca memperoleh pijakan legalnya di atas Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta tentang pokok-pokok pembinaan kepariwisataan pada 1969 dan keputusan tentang pendirian night club.

"Mulailah dipelopori di Indonesia sejenis usaha yang disebut night club... Alasan yang disampaikan adalah untuk keperluan kepariwisataan, dimana dengan terbukanya Indonesia untuk modal asing diperkirakan bahwa pariwisata adalah sebuah industri yang akan berkembang dan menjanjian pendapatan yang besar bagi Indonesia," catat Daniel Dhakidae dalam "industri Sex: Sebuah Tinjauan Sosio-Ekonomi", termuat di Prisma No.5, Juni 1976.

Perubahan ekonomi dan politik Indonesia setelah 1965 mengantarkan sejumlah pengusaha ke bidang bisnis baru: hiburan malam. Usmar memulainya dengan Miraca.

Gubernur Ali Sadikin terus mendorong pemodal dalam dan luar negeri untuk mengalirkan hepengnya ke hiburan malam. Para pengusaha, kebanyakan memiliki hubungan baik dengan petinggi militer, menjawab ajaka itu. Tercatat ada 23 club malam di Jakarta hingga 1970.

Saban kali ada permukaan club malam baru, Ali Sadikin selalu menghadiri malam peresmiannya. Dia bilang jumlah 23 club malam masih kurang. Club malam harus terus bertambah. "Dan semanya ini akan menambah lagi persyaratan ibu kota Jakarta sebagai kota pariwisatam," kata Ali dalam Ekspres, 21 Desember 1970.

Harapan Ali Sadikin terwujud. Tahun berikutnya jumlah club malam meningkat menjadi 31. Angka ini naik lagi menjadi 36 club malam pada 1972. Pertambahan jumlah club malam berbanding lurus dengan penambahan jadwal tari telanjang. Dan Jakarta tak cukup mamp menampung sendirian tarian itu. Club malam pun menyebar ke berbagai kota.

"Jenis usaha semacam ini akhirnya bukan saja berkembang di Jakarta akan tetapi juga merembes ke kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Ujung Pandang untuk menyebut beberapa nama," tulis Daniel Dhakidae.

Protes terhadap perkembangan club malam, tari telanjang, dan hostes mengemuka seiring kian banyaknya club malam. Mereka berpendapat club malam bukan bagian dari budaya Indonesia. "Kaum pendidil, tokoh wanita, alim ulama, dan tokoh pemuda otomatis menolak dengan alasan bisa merugikan bangsa dan moral," ungkap Ekspres, 16 Agustus 1971.

Ketidaksetujuan para penentang club malam kadang bisa sangat agresif. Di Medan, para penentangnya merusak club malam. Tapi di Jakarta dan kota lainnya, penyerangan kepada club malam tidak terjadi.

Selain karena kebanyakan penjaga club malam berasal dari militer dan membawa senjata api kaliber 38 sampai 45, juga lantaran para pemiliknya memiliki hubungan dengan perwira-perwira militer. Tak sedikit pula club malam dimiliki langsung oleh perwira militer.

Pemilik club malam bahkan dibela penuh oleh Ali Sadikin. Dia meminta para penentang club malam agar jangan tinggal di Jakarta dan berhilir-mudik di jalanan Jakarta. Sebab jalanan itu dibiayai dari pajak club malam.

Pada akhirnya, club-club malam itu rontok dengan sendirinya. Jumlahnya berkurang drastis pada 1976. Hanya tersisa 15 club malam. Miraca milik Usmar Ismail pun ikut bangkrut. Saat bersamaan, diskotek justru mulai bertumbuh. Diskotek menawarkan konsep berbeda. lebih luwes daripada club malam. Tanpa hostes, tari telanjang, dan musik hidup. Kebanyakan pengunjungnya anak muda. Diskotek hanya menawarkan musik dan ajojing sampai singit.

Orang mulai jemu dengan sajian club malam. Entah itu musiknya, hostes,  tari telanjang, dan makanannya. Selera masyarakat terhadap tontonan hiburan juga berubah: dari erotisme ke komedi. 

"Masyarakat lebih menyenangi tontonan komedi," kata Krisbiantoro, penyanyi kawakan Indonesia yang ketika itu menjadi manajer club malam Tropicana.
Tapi club malam tidak pernah hilang dari kota-kota besar. Pemiliknya selalu mengupayakan perubahan konsep club malam. Bisa dengan menggabungkan konsep diskotek dan karaoke atau melalui percampuran layanan pijat dan spa.

0 comments:

Post a Comment