Cerpen! Real Friend?
INIKECE - "Bu, aku berangkat, ya" teriakku sambil menggigit roti dan berlari menuju teras.
Waktu menunjukkan pukul 06.15, Artinya lima belas menit lagi gerbang sekolah akan ditutup. Aku berlari meninggalkan rumah dan segera menaiki motor ojek langgananku.
Namaku Niken Calya Gayatri. Aku seorang pelajar tingkat dua SMA. Kehidupanku sama seperti siswa SMA pada umumnya. Keseharianku hanya belajar dan bergaul dengan teman-teman seusaiku.
"Tumben banget telat," tanya Wulan.
"Iya, semalam nonton bola sama ayah," jawabku terengah.
Wulan menggeleng. Setiap akhir pekan, aku memang biasa menonton tayangan ulang pertandingan bola bersama ayah. Sebenarnya, aku tak begitu suka bola, tetapi inilah quality time-ku bersama ayah yang sehari-hari bekerja di luar kota.
"Sudah belajar untuk ulangan hari ini?" Tanya Wulan.
"Beres," jawabku.
Jam pelajaran pun berakhir. Lelah rasanya setelah menempuh ulangan harian dua mata pelajaran sekaligus di empat jam pertama. Kurogoh ranselku untuk mengambil bekal makanan yang selalu ibu siapkan. Sayangnya, aku tak menemukan kotak makan dalam ranselku. Tampaknya bekalku tertinggal karena pagi tadi aku terburu-buru sarapan.
"Ken, ini ada titipan," ucap Wulan sambil menghampiriku.
"Dari?" tanyaku.
"Siapa lagi?" jawabnya.
"Senang nggak sih, Ken, dapet kiriman terus?" tanya Wulan.
"Pas banget sih, bekal makan aku ketinggalan. Kita makan bareng, ya" jawabku sambil membuka kemasan makanan yang diberikan Wulan.
Kejadian tadi bukanlah hal langka bagiku. Teman-teman kelasku sangat terbiasa dengan kejadian ini. Ini kali keskian aku mendapat titipan dari Adrian. Kakak kelasku. Mulai dari camilan, minuman, sampai barang-barang yang sebenarnya tak aku butuhkan. Aku sendiri tak pernah memintanya, tetapi ia terus memberikan perhatian seperti ini padaku.
Bukan rahasia lagi perihal aku dan Adrian. Seisi kelas bahkan seantero sekolah munkin tahu akan hal ini. Kami tak ada hubungan spesial. Hanya berteman, mereka bilang Adrian suka padaku, aku? Tak tahu.
"Hai."
Suara tersebut mengagetkan sekaligus menghentikan langkahku. Aku menoleh ke asal suara.
"Kak Adrian?" ucapku kaget.
"Mau pulang bareng nggak?" tanyanya.
Aku melirik pada teman-temanku. Mereka tersenyum sambil sesekali saling berbisik.
"Kita duluan, ya Ken. Ketemu besok," ucap teman-temanku sambil melambaikan tangan.
"Jadi?' tanya Adrian.
Aku mengangguk. Aku tak punya pilihan karena teman-temanku telah pergi lebih dulu.
Sesampaonya di rumah, aku berterima kasih pada Adrian yang telah mengantarku. Aku sengaja tak mengajaknya untuk masuk ke rumah. Ibuku punya rasa ingin tahu berlebih bila ada teman pria yang berkunjung.
***
Hari ini, guru IT mengumumkan bahwa sekolahku akan menyelenggarakan sebuah perlombaan permbuatan film pendek remaja. Hal ini membuatku begitu antusias. Aku adalah orang yang senang berkompetisi. Buatku sebuah kompetisi adalah ajang untuk melatih diri dan bersaing dengan banyak orang.
Aku bekerja keras untuk membuat konsep dalam perlombaan pembuatan film pendek. Banyak ide bermunculan dalam kepalaku, tetapi aku harus bisa membuat konsep yang sangat berbeda dari peserta lain.
Aku bersama sahabatku, Vian dan Tiara mulai bekerja dalam tim. Wulan sendiri tidak tertarik dengan perlombaan seperti ini. Ia lebih memilih menjadi supporter untuk kami. Sesekali kami pun dibantu oleh beberapa teman di kelas.
Aku pun mendapat banyak bala bantuan dari Adrian. Ia sering menemaniku saat aku bekerja untuk menyelesaikan film pendek ini. Ia pun beberapa kali membawakan banyak makanan untuk kami. Tak jarang ia menungguku hingga malam kemudian mengantarku pulang.
Waktuku begitu tersita untuk penyelesaian film pendek, Shooting telah rampung dilakukan. Namun, masih banyak pekerjaan menanti, terutama editing. Film pendek ini harus selesai sebab deadline sudah di depan mata. Kerja kerasku dan tim tak boleh sia-sia.
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Seluruh peserta lomba berkumpul di aula untuk presentasi. Terlihat para juri tengah bersiap. Pemandu acara mulai memanggil peserta lomba satu per satu untuk presentasi.
"Konsep kami dalam film pendek ini mengusung teman sosial. Kami mengangkat kesenjangan sosial yang terjadi di kalangan pelajar, khususnya sekolah kita. Di sini kami ingin menunjukkan bahwa kesenjangan sosial yang terjadi dikalangan pelajar dapat berdampak butuk. Film ini menyuguhkan gambaran nyata yang biasa terjadi dan memberikan banyak pelajaran yang bisa diambil oleh remaja khususnya pelajar. Di sini masyarakat yang bisa mengakibatkan kesenjangan sosial. Marilah kita bersatu untuk membentuk masyarakat yang peduli sesama dan hapuskan kesenjangan. Inilah persembahan kami. Selamat menyaksikan."
Aku tercengang mendengar presentasi yang baru saja disampaikan seorang kakak kelas. Konsep kami sama persis. Tak hanya konsep, adegannya pun nyaris sama. Aku melirik pada anggota timku. Mereka gelisah, kami akan presentasi setelah ini. Apa yang akan kami lakukan sekarang?
Aku bersama tim begitu kecewa karena film yang kami buat harus didiskualifikasi karena kemiripan konsep. Bukan hanya mirip, melainkan juga sama persis. Rasanya lelahku dan tim belakangan ini menjadi sia-sia.
"Sabar, ya. Ken, lain waktu kita bisa coba lagi," ucap Wulan menenangkanku.
Aku hanya diam. Kulihat Tiara dan Vian masih sangat kecewa bahkan marah,
"Kok bisa konsep kita sama persis dengan mereka? Ini pasti ada yang membocorkan," ucap Vian sembari mengepalkan tangan dan mengetukkannya ke meja.
"Ya sudahlah Vian, mungkin memang kita kurang beruntung," ucap Tiara.
"Kita pulang saja. Kita butuh istirahatm," ucapku lalu bangkit dari duduk.
***
Aku tengah menikmati waktu istirahatku dengan teman-teman di kelas. Saat istirahat, kami jarang ke kantin. Kami biasa membawa bekal makanan dari rumah. Saling cicip menjadi kebiasaan kami. Momen seperti ini membuat kebersamaan kami lebih terasa.
"Wulan pelakunya," ucap Tiara tiba-tiba menghampiri kami dengan raut marahnya.
"Ada apa sih?" tanyaku.
"Nah, itu dia datang," jawab Tiara sambil melihat ke arah pintu kelas.
Tiara langsung menghampiri Wulan yang baru saja datang. Tiara menjegal Wulan yang akan duduk di bangkunya.
"Kamu kan yang membocorkan konsep film pendek kita ke kakak kelas?" ucap Tiara meninggi.
Kami menghentikan kegiatan makan bersama dan langsung menghampiri mereka yang tengah berseteru. Aku berusaha melerai keduanya.
"Ini ada apa sih?" tanyaku.
"Wulan yang sudah membocorkan konsep film kita, Ken. Dia itu musuh dalam selimut," ucap Tiara.
"Apa maksudmu?" Tanya Wulan.
"Aku lihat tadi kamu bertemu dengan kakak kelas yang memenangkan perlombaan kemarin. Kamu mengucapkan selamat dan dia berterima kasih atas kerjasamamu. Jelas kan?" jawab Tiara.
Semua pandangan kini mengarah pada Wulan. Wajahnya memerah dan matanya seperti menahan tangis. Wulan langsung menerebos kerumunan orang yang mengitarinya dan berlari meninggalkan kelas.
Seisi kelas maish ramai membicarakan Wulan. Aku tak percaya dengan semua yang kudengar, Wulan adalah sabahatku. Mungkinkah ia tega melakukan semua ini?
Bel pulang sekolah telah berbunyi. Namun, Wulan tak kunjung kembali, Tasnya masih tersimpan di bangku yang kini kosong tak berpenghuni. Di manakah Wulan saat ini? Berkali-kali kucoba menghubungi Wulan, tetapi ponselnya tidak aktif, aku dan Vian mulai mencari berbagai sudut di sekolah. Hasilnya nihil.
Sebelum pulang, aku mampir ke rumah Wulan untuk mengantarkan tasnya. Rumahnya sepi. Setahuku keluarga Wulan semuanya pekerja dan baru malam hari ada di rumah. Tampaknya Wulan tak ada di rumah. Aku harus mencari Wulan ke mana? Aku mulai mengkhawatirkannya.
Keesokan harinya, Wulan hanya diam dan selalu menghindar ketika kami dekati. Saat jam istirahat pun, ia memilih keluar kelas daripada berkumpul dengan kami. Sebenarnya, kami hanya ingin ia menjelaskan kejadian sebenarnya. Sikapnya yang seperti ini justru membuat kami menjadi yakin bahwa ia memang dalam semua ini.
Sepulang sekolah, aku sengaja menghampiri Wulan untuk mengajaknya pulang bersama. Namun, sikapnya masih sama. Ia langsung membereskan barang-barangnya dan melangkah pregi tanpa melirikku. Aku mengejarnya, tetapi ia terus berjalan dengan sangat cepat.
Aku mengikuti saran Tiara. Mungkin Wulan memang butuh waktu untuk sendiri. Kuharap semua ini cepat selesai. Tak enak rasanya perang dingin dengan sahabat sendiri.
"Eh, kamu pulang duluan saja. Aku ada perlu," ucapku pada Tiara.
"Mau ke mana?" Tanya Tiara.
Aku melambaikan tangan dan bergegas meninggalkan Tiara. Aku berlai untuk mencari seseorang yang biasa memberiku informasi tentang Wulan.
"Boleh ganggu sebentar?" ucapku dari ujung pintu kelasnya.
"Aku ambil tas dulu ya," jawab Adrian.
Aku menunggu Adrian di depan kelasnya. Ia tampak mengambil tas dan berpamitan pada teman-temannya.
"Kita ngobrol di tempat yang enak, ya" Ajak Adrian.
Aku mengangguk tanda mengiyakan ajakannya. Kami berjalan bersama menuju tempat parkir sekolah.
Adrian membawaku ke sebuah tempat makan yang baru kali ini aku datangi. Tempatnya cukup ramai. Kulihat banyak anak sekolah yang sengaja datang kesini untuk makan, nongkrong, bahkan belajar bersama.
Pandanganku tertuju ke berbagai arah. Banyak hal yang menarik perhatianku dari tempat ini. Aku suka dengan konsep dekorasinya yang begitu sederhana namun sangat nyaman. Adrian tengah sibuk memesan beberapa camilan dan minuman sementara aku terus memerhatikan sekeliling.
"Suka sama tempatnya?" tanya Adrian
"Ah, iya..." jawabku.
"Jadi, apa yang bisa aku bantu?" lanjut Adrian.
"Wulan ada cerita-cerita apa gitu sama kakak?" tanyaku.
"Wulan? Memang ada apa dengan dia?"
"Mungkin dia cerita sesuatu sama kakak?"
"Hmm... Nggak cerita apa-apa sih, malah dia jutek sama aku."
"Jutek?"
"Iya, udah beberapa hari ini dia jutek banget. Memang ada apa sih?"
"Ada sedikit masalah sih, kak. Aku kira dia ada cerita sama kakak, makanya aku tanya."
"Masalah apa?"
"Soal lomba film kemarin. Aku juga nggak tau sih persisnya gimana, Wulannya juga ngehindar terus. Nggak enak juga, kak perang dingin kayak gini."
"Oh, gitu. Eh sebentar," ucapnya sambil merogoh tas ransel.
Andrian menyodorkan sebuah kotak padaku. Aku mengambil dan perlahan membuka isi kotak tersebut.
"Tadi pagi aku mau titip ke Wulan, tapi dia malah pergi begitu saja."
"Ini buat aku?" tanyaku sambil memperlihatkan isi kotak tersebut.
"Suka nggak?"
"Aku nggak bisa terima, kak," jawabku sambil menyodorkan kotak tersebut.
"Suka nggak?"
"Aku nggak bisa terima, kak," jawabku sambil menyodorkan kotak tersebut.
"Kenapa?"
"Sebenarnya selama ini aku merasa nggak enak dengan semua kebaikan kakak."
"Aku senang melakukannya dan aku tulus, kok."
"Tapi..."
"Ken, aku memang suka padamu, tapi aku nggak berharap apa-apa. Dengan kamu tahu dan bisa dekat denganmu itu cukup buatku. Jadi, please terima ini ya."
Aku terdiam sambil terus menatapi kotak yang ada di tanganku. Selama ini Adrian memang sangat baik padaku. Ia perhatikan dan terlalu 'dermawan'. Beberapa kali Adrian kerap mengungkapkan perasaanya padaku. Namun, aku selalu menolaknya. Kupikir ia akan berhenti mendekatiku. Nyatanya, ia patang menyerah.
"Sudah jangan dipikirkan. Simpan dan sekarang makan."
Perkataan Adrian membuyarkan lamunanku. Sontak kumasukan kotak pemberiannya ke dalam ransel. Kami menyantap makanan yang kini terhidang di meja kami.
***
Aku berpamitan pada Adrian untuk masuk ke dalam rumah. Ia tersenyum sambil melambaikan tangannya. Kubalikkan tubuh membelakanginya. Tiba-tiba langkahku terhenti karena Adrian menahan tanganku.
"Ken, jangan banyak pikiran, ya. Urusan Wulan, nanti aku coba cari tahu."
Aku tersenyum dan mengangguk. Adrian melepaskan tanganku dan kembali melambaikan tangannya. Aku melanjutkan langkah lalu masuk ke dalam rumah.
Sudah beberapa hari belakangan Wulan tak masuk sekolah. Ia seperti menghilang ditelan bumi. Wali kelas pun tak pernah mendapat kabar apa pun dari keluarganya perihal ia tak pernah masuk sekolah. Aku dan teman-teman sudah berusaha menghubunginya. Entah berapa kali dalam sehari aku menghubungi ponselnya tapi selalu tidak aktif. Kami pun beberapa kali mendatangi rumahnya, tetapi selalu saja dalam keadaan kosong.
Begitu sampai di rumah, aku kaget melihat Wulan tengah menungguku. Wajahnya sembab. Ia berlari dan langsung memelukku. Aku menenangkan Wulan sambil menepuk lembut pundaknya. Wulan masih menangis. Perlahan kulepaskan pelukan Wulan dan mengajaknya ke kamar.
"Minum dulu," ucapku sambil menyodorkan segelas teh hangat.
Wulan menyesap teh yang kusuguhkan. Sesekali ia menyeka air matanya.
"Maafkan aku, Ken," ucap Wulan sambil terisak.
"Kamu tenang dulu, ya. Ceritakan semuanya padaku."
"Aku cemburu, Ken." Wulan membenamkan wajahnya.
"Maksudmu?" tanyaku heran.
"Aku iri padamu. Kamu pintar, populer, dan semua orang menyukaimu."
Aku terhenyak dengan pengakuan Wulan. Selama ini kami berteman sangat baik. Namun, aku tak pernah menyangka ternyata Wulan semarah ini padaku.
"Aku selalu iri melihatmu mendapat pujian dari guru karena prestasi akademikmu di kelas. Belum lagi setiap perlombaan yang kamu ikuti selalu membawa pulang piala. Dan pria yang aku sukai pun tergila-gila padamu."
"Kak Adrian?" tanyaku.
"Iya. Selama ini aku cemburu lihat Kak Adrian begitu perhatian padamu. Awalnya kupikir akan biasa saja ketika bercerita semua kekagumannya padamu. Ternyata hati aku sakit, Ken. Kenapa meski kami sih, Ken? Padahal aku jauh mengenalnya sejak lama."
Aku terdiam mendengar semua ucapan Wulan. Hatiku sakit. Orang yang selama ini aku anggap sebagai sahabat ternyata menaruh kebencian padaku. Aku merasa sudah menjadi teman yang paling jahat baginya.
"Rasa iri telah membuatku hilang arah. Sekarang, semua orang benci padaku. Seperti yang Tiara bilang. Aku musuh dalam selimut. Aku nggak berani menampakkan wajahku lagi di depan teman-teman. Mereka selalu memandang sinis padaku."
"Maafkan aku sudah jahat sama kamu, Lan. Teman-teman nggak marah padamu. Mereka hanya butuh penjelasanmu," ucapku sambil memeluk Wulan.
"Mereka pasti benci sama aku, Ken. aku malu bertemu mereka," jawabnya terus terisak.
"Kita nggak pernah membencimu sama sekali. Justru kami khawatir karena kamu sudah lama nggak masuk sekolah."
Aku mulai melepaskan pelukan. Kutatap Wulan sambil memegang pundaknya. Wulan masih terus menangis.
"Aku bukan sahabat yang baik, Ken. Sahabat macam apa yang iri dengan sahabatnya sendiri. Aku harusnya mendukungmu bukan menjatuhkanmu," ucapnya sambil menatapku.
"Stt... Kamu nggak boleh ngomong seperti itu. Kita lupakan semuanya, kita mulai lagi dari awal."
"Tapi teman-teman yang lain?"
"Kita bicarakan baik-baik."
Wulan memelukku erat. Kami hanyut dalam emosi yang begitu dalam.
***
Aku datang ke sekolah bersama Wulan. Wulan sengaja datang ke rumahku karena ia tak berani untuk datang ke kelas seorang diri. Teman-teman begitu kaget melihat kedatangan Wulan. Pandangan mereka masih sama kepada Wulan. Mereka masih memandang sinis dan tak mau mengajaknya mengobrol. Wulan terlihat tak nyaman dengan suasana kelas saat ini.
Tiara menghampiri aku dan Wulan. Aku tersenyum dan mengajaknya untuk duduk bersama. Tiara menarik tanganku dan membawa keluar kelas.
"Wulan itu sudah buat masalah, Ken.'
"Wulan itu sahabat kita, Ra."
"Sahabat itu nggak akan nusuk kita dari belakang."
"Setiap orang pernah membuat kesalahan."
Tiara terdiam mendengar ucapan terakhirku. Sebenarnya aku pun sangat marah dengan tindakan Wulan pada kami. Namun, aku menyadari bahwa ini bukan sepenuhnya kesalahn Wulan. Apalagi saat ini Wulan ingin memperbaiki diri, Apakah ia harus terus disalahkan?
Aku menarik Tiara untuk kembali ke kelas. Sesampai di kelas, aku mengajak Wulan untuk bicara di depan kelas. Awalnya Wulan menolak, tetapi aku memaksanya agar semua ini segera berakhir.
Suasana kelas berubah hening. Semua pandangan tertuju pada kami bertiga yang kini ada di muka kelas.
"Ayo bicara," ucap Tiara dengan nada tinggi pada Wulan.
"Maafkan aku teman-teman. Aku mengaku salah." jawab Wulan perlahan.
"Apa alasanmu melakukan itu semua?" Tanya Vian.
"Ini semua karena aku," ucapku.
Sontak saja seisi kelas menjadi makin bingung. Mereka saling bertanya dengan hal yang baru saja kuucapkan. Wulan menggeleng dan memintaku untuk tidak menceritakan hal yang sebenarnya.
"Aku nggak bisa menjadi sahabat yang baik..."
Aku menghentikan ucapanku saat Wulan menarik tanganku. Wulan menatapku dan memintaku agar membiarkannya bicara.
Wulan mulai menceritakan apa yang melatarbelakangi ia berbuat hal tersebut. Kulihat Wulan mulai terisak saat berbicara di depan teman-teman. Reaksi teman-teman sama seperti reaksiku kemarin. Kami hanya tak habis pikir bahwa Wulan bisa bertindak seperti itu.
"Aku menyesal. Aku janji tidak akan pernah mengulangnya lagi. Aku benar-benar minta maaf. Aku tahu kalian pasti benci banget sama aku. Kalau memang perbuatanku ini nggak bisa kalian maafkan, aku terima."
Aku langsung memeluk Wulan. Entah mengapa aku malah merasa sangat bersalah padanya. Akulah alasan ia melakukan semua ini.
Tiara menarik tubuhku yang masih memeluk Wulan. Tiara menyeka air mata Wulan.
"Lan, kita itu memang bersaing satu sama lain, tapi kita bersaing secara sehat. Jangan sampai karena satu dan lainnya membuat kamu melakukan segala hal untuk menjatuhkan orang lain." ucap Tiara.
"Betul kata Tiara, wajar ketika kita marah pada seseorang tapi bukan berarti kita menutup hati. Kalau kamu mengira kita membencimu. itu salah," ucap Vian.
Aku lega mendengan ucapan Tiara dan Vian. Kulihat teman-teman lain pun cukup memahami kondisi ini. Wulan mulai menyunggingkan senyumnya.
"Lega ya, Lan," ucapku.
"Iya, terima kasih ya, Ken."
"Maafin aku juga ya, Lan"
"Kamu nggak salah, aku yang harusnya minta maaf. Kamu maafin aku kan?"
Aku mengangguk dan tersenyum pada Wulan. Senang rasanya kesalahpahaman ini berakhir. Kuharap semua akan kembali normal.
"Oh iya Ken. Bukan bearti aku akan mengalah urusan Adrian, ya," bisik Wulan.
"Sainganmu terlalu berat." jawabku sambil tertawa.
Seorang pemenang adalah ia yang rela dengan lapang, memaafkan segala kecurangan walau datang dari orang tersayang.
Profil Penulis
Gie Anggraini lahir dan besar di Bandung. Perempuan yang lahir di tanggal 22 September ini telah menelurkan beberapa karya seperti puisi, cerpen, musikalisasi puisi, dan short movie. Novelet pertamanya “Merindukan Hujan” diapresiasi cukup baik oleh para pembaca. Perempuan yang biasa disapa Gie ini sedang gencar mempromosikan novel terbarunya “Yang Pernah Singgah”.
0 comments:
Post a Comment