Kisah Gadis Berpayung Jingga

Kisah Gadis Berpayung Jingga

INIKECE - "Sepertinya sebentar lagi turun hujan," ucap gadis yang duduk di sebelahku. Aku pun mendongak ke atas dan mendapati langit yang mulai menggelap. Aroma pekat tanah basah mulai tercium, embusan angin dingin juga mulai mengelus kulit.

Aku benci suasana seperti ini, sendu. "Ya, aku rasa memang akan hujan," sahutku padanya. Entah apa yang dibawa oleh gumpalan awan hitam yang lewat, mengapa setiap kali mereka datang hatiku selalu terasa hampa? 

Seperti ada sesuatu yang kulupakan, namun aku tak tahu apa itu. Kuhirup dalam-dalam udara ingin ini, berharap bisa memenuhi rongga hati. Sembari memejamkan mata, kubuka satu per satu memori di otakku. Mencari apa pun yang bisa memberikan jawabn ataupun kelegaan.

"Kamu bawa payung?" Gadis itu bertanya padaku lagi. Sontak aku segera membuka mata dan menatapnya tajam. Sebenarnya siapa dia dan apa maunya? Mengapa ia selalu mengajakku bicara?

"Bukan urusanmu!" Kali ini aku menjawabnya dengan ketus. Aku sudah sabar meladeni pertanyaan-pertanyaannya sedari tadi, tapi sepertinya orang itu tak ada niatan untuk berhenti menggangguku.

Saat ini aku benar-benar ingin berkonsentrasi. Sekali lagi kupejamkan mata. Mengapa aku membenci suasana sendu sebelum hujan turun? Tiba-tiba aku merasakan bulir air jatuh tepat di dahiku, tapi tak akan kubiarkan hal itu merusak konsentrasiku. Satu, dua, tiga, empat, bulir-bulir yang lain mulai menyusul. Ini tak bisa kubiarkan, tetesan demi tetesan air yang jatuh ke aspal mulai mengusik pendengaranku.

Aku pun membuka mata dan segera beranjak dari kursi. Pepohonan di taman ini juga mulai basah kuyup, tanah menjadi becek dan tawa anak-anak yang sedari tadi bermain di sekeliling pun lenyap. Satu demi satu orang-orang segera menepi, mencari tempat berteduh.

Namun aku tetap bergeming, rambutku pun mulai basah, diikuti sekujur badanku yang menjadi sasaran air hujan tanpa ada penghalang. Aku menoleh ke arah kanan, dak tak kudapati seorang pun. Bahkan gadis itu juga takut dengan hujan dan memilih bersembunyi.

Kakiku hendak melangkah mengikuti arah semua orang itu berteduh. Namun detik itu juga aku mengurungkan niat itu. Lagi pula aku sudah terlanjur basah, tak akan ada bedanya aku berteduh atau tidak. Akhirnya kuputuskan untuk tetap di sini dan duduk kembali. Sekali lagi aku mencari, tapi bukan di dalam pikiran melainkan di dalam hatiku. Percuma aku berpikir seribu kali, karena aku tahu memori itu tak tersimpan di otakku.

Sembari melihat para burung yang terbang mencari pepohonan rindang untuk berteduh, aku tersadar satu hal. Ya... Itu dia... sesuatu yang hilang itu, sesuatu yang hilang itu, sesuatu yang selalu kurindukan saat turun hujan. Pulang! Rumah! Aku ingin pulang. Seperti kawanan burung yang hinggap dari satu pohon ke pohon lainnya, begitu pula dengan diriku. Aku juga harus kembali ke rumah.

Sekarang aku harus pulang, tak bisa kutunda-tunda lagi. Tekadku sudah bulat, aku akan pulang saat ini juga. Aku kembali berdiri dan menatap sekeliling. Tunggu... Ke arah mana aku harus pergi? Ke kiri kah? Atau Kanan? Apakah lurus ke depan? Atau malah balik ke belakang? Mengapa semua jalan ini terasa asing?

Di saat aku kebingungan memilih arah, aku baru sadar tak ada lagi tetesan hujan yang mengenaiku. Apakah sudah reda? Tapi sejauh mata memandang, aku masih melihat garis-garis air yang jatuh dari atas. Aku mendongak dan mendapati sesuatu yang menghalangi hujan menerpaku.

Sebuah payung lebar berwarna jingga, gadis itu yang membawanya. Ia tepat berada di belakangku menggenggam gagang payung tersebut dan mengarahkannya kepadaku. Sejak kapan ia berada disini? Bukankah tadi ia pergi karena takut pada hujan? Mengapa sekarang ia malah berdiri di belakangku melawan hujan?

"Kok kamu balik lagi sih?" Tanyaku geram. Gadis itu hanya tersenyum dan tak menjawab pertanyaanku. Ia malah meraih tanganku dan menggenggamkan gagang payung itu padaku. Kemudian ia pun pergi dengan tubuh yang basah. Oh... Tidak... Gadis itu membuatku melupakan jawaban yang telah kutemukan tadi.

Satu kata... aku ingat hanya satu kata yang dapat memancing ingatan itu. Dan tetap saja aku tak dapat mengingatnya kembali, walaupun telah berulang kali aku memejamkan mata, mendongak ke langit, dan menatap sekeliling. Mungkin hari ini cukup sampai di sini. Dengan putus asa, aku pun melangkah gontai menyusuri jalanan.

Angin berembus sangat kencang, membuatku harus menggenggam gagang payung dengan kuat karena payungku sudah terasa seperti diseret ke belakang. Baru kusadari ada sebuah label kertas yang tertempel pada gagang payung yang kupegang. Di situ tertulis; Jalan Anggrek Timur No 98. Alamat itu terasa sangat familiar di telingaku.

Setelah bertanya pada orang sekitar, aku memutuskan untuk pergi ke alamat tersebut. Sesampainya di depan rumah, aku mengetuk pintu dan menekan bel, namun tak ada yang menyahut. Hatiku mendorong untuk terus masuk ke dalam rumah itu. Ternyata pintunya tidak terkunci, aku pun menaruh payung jongga yang kubawa di teras depan dan segera masuk.

Pemandangan pertama yang kulihat adalah rak sepatu yang ada di ujung lorong dekat pintu masuk, tak ada yang aneh dengan rak tersebut, yang membuatku heran justru malah rak di sampingnya. Disana, bertumpuk payung-payung berwarna jingga sama seperti payung yang kupakai tadi, dan anehnya di setiap payung terdapat label alamat yang sama. Hatiku mulai gusar, ada sesuatu yang seharusnya aku tahu.

Kulangkahkan kaki menyusuri ruang tamu, terdapat beberapa bingkai foto yang tertata rapi di kabinet. Aku terperanjat kaget melihat beberapa foto yang kukenal betul, aku mengambil sebuah foto dua orang gadis saling merangkul dan tersenyum manis.

Itu adalah foto diriku dengan gadis berpayung jingga yang aku anggap menyebalkan. Bagaimana bisa? Apa kau mengenalnya? Mengapa aku bisa tak mengingatnya? Satu lagi pertanyaan yang membuatku ternganga, kalau begitu, inikah rumahku? Bagaimana aku tak mengenali rumahku sendiri???

Di tengah kalutnya pikiranku, muncul seseorang dari dalam kamar.

"Udah berhasil pulang?" Gadis itu bergegas menghampiriku dan memberikan handuk padaku.

"Kamu siapa? Kok aku bisa nggak ngenalin kamu? Gimana bisa aku lupa sama rumahku?"

Lagi-lagi gadis itu hanya tersenyum. Kepalaku terasa pusing, berbagai pertanyaan yang tiba-tiba datang membuat otakku seperti sedang digodam palu besar.

"Nina, aku temen serumahmu, Mara. Sahabatmu satu-satunya. Nggak perlu ngerasa bersalah kalau kamu nggak inget aku, setiap hari aku bakalan ada buat kamu, aku bakalan selalu ingetin kamu ulang. Tentang aku, tentang kamu, dan juga tentang kita. Yah walaupun besok kamu bakal lupa lagi sama yang aku omong hari ini. He He.."

Tiba-tiba sebersit ingatan muncul, samar-samar aku melihat kenangan-kenangan masa lalu, dimana aku dan gadis di depanku ini bersama. Benar dia memang sahabatku satu-satunya yang aku sayang. Mengapa aku benar-benar tak bisa mengingatnya?

"Kamu tahu kenapa aku bisa lupa? Terus tadi kamu bilang besok aku juga bakal lupa lagi sama hari ini? Kok bisa gitu? Aku nggak mau lupa lagi, aku nggak mau lupain kamu lagi."

"Tahun lalu kamu kecelakaan, terus kamu mulai nggak bisa nyimpan memori lebih dari sehari. Udah, nggak usah dipikirin, yang penting kan sekarang kamu tahu aku sahabatmu. Sana mandi keburu malam nanti tambah dingin. Aku udah bikin cokelat hangat buat kamu."

Aku pun menurut dan segera masuk ke kamar mandi, namun pikiranku masih berkelana. Jika aku selalu melupakan apa yang terjadi hari ini, berarti setiap hari Mara akan selalu datang menjemputku ke mana pun aku pergi, memberiku petunjuk untuk pulang karena aku selalu ketus dan tak percaya pada orang yang kuanggap asing, serta menjawab semua pertanyaan yang mungkin saja berulang tiap harinya? Dia selalu ada untukku dan tak pernah lelah walaupun aku tak menganggapnya sahabat lagi karena aku selalu melupakan dirinya.

Air mataku menetes membasahi pipi, aku pun mulai sesengguhkan. Akankah besok aku menyusahkannya lagi? Akankah besok aku ketus padanya dan menganggapnya gadis menyebalkan yang suka mengganggu orang lain? Maafkan aku Mara... Sahabat terbaik yang pernah ada.. Semoga kau tak pernah lelah menantiku di tengah hujan dengan payung jingga mu itu.. Terima kasih sahabatku, gadis berpayung jingga yang selalu ada untukku.

Penulis :

Amelia Dewi Kumala, gadis yang sedang berkelana di Surabaya ini gemar menulis sedari kecil, karyanya sudah ada beberapa dalam buku kumpulan cerpen.

0 comments:

Post a Comment