Cerita Pendek! Melarikan Diri Dari Mati
INIKECE - Beberapa waktu yang dibutuhkan untuk mati dengan cara menenggak racun serangga? Itu yang Hera pikirkan ketika melihat produk untuk membunuh keco dan kawan-kawannya di sebuah minimarket.
Begitu pula ketika melihat pembersih lantai, atau benda berbentuk lingkaran yang asapnya mampu membuat nyamuk pingsan, atau kapur barus yang wanginya membuat rayap tak mau mendekat.
Semua bahan-bahan itu mungkin akan membuatnya mati dengan cepat tanpa perlu pergi kemana-mana dan membuat curiga. Ia hanya perlu diam-diam membawa kapur barus yang telah ditumbuk dan dicampur air ke dalam kamar. Ia bisa saja pura-pura ke kamar mandi, lantas meminum cairan pembersih kamar mandi yang diletakkan disana tanpa ada yang tahu. Ia juga bisa mencampurkan laturan pembersih piring ke dalam botol minum berbahan besi miliknya.
Dengan cara-cara itu, ia akan mati diam-diam, tanpa suara. Izrail akan mengambilnya perlahan, tanpa tanda atau alarm bahaya. Tiba-tiba, orang-orang akan melihat mulutnya berbusa, atau ia mendadak kejang-kejang, atau matanya membelalak menyeramkan.
Namun, Hera menjauhkan lagi tangannya dari produk-produk itu ketika ingat bahwa semua itu mungkin tidak membuatnya mati. Bagaimana jika imun tubuhnya terlalu kuat, karena nyatanya selama ini jarang sakit?
Bagaimana bila ternyata ada orang yang dengan segera menemukannya, lantai masih cukup waktu untuk membawanya ke rumah sakit dan ia diobati dan sembuh? Bagiamna kalau dosis yang ia minum kurang dan mengakibatkan sakit perut yang tak tertahan, atau kanker, atau tumor yang bisa jadi ia derita untuk waktu yang lama?
Ia ingin mati, tapi ia takut sakit. Itu masalahnya.
Ini kesekian kalinya Hera membatalkan rencananya dan keluar minimarket dengan tangan hampa. Orang rumah akan bertanya ke mana ia pergi, dan ia akan menjawab bahwa ia hanya cari angin. Begitu lagi, begitu lagi. Rencana yang tak berani ia jalani, kendati isi kepalanya terasa menyiksa.
Keluar dari minimarket, Hera membuka ponsel, menemukan belasan notifikasi baru muncul. Kepalanya sudah bilang, jangan dibuka. Namun, jarinya tetap bergerak sendiri, menggeser layar, lantas sejalan dengan itu, mata pun membaca rangkaian kata disana. Seluruh isi kebun binatang tumpah ruah di dalamnya.
Haruskah ia mencari cara lain untuk segera mati dengan pasti? Namun, bukankah kepastian di dunia ini adalah ketidakpastian itu sendiri?
***
Terlahir degan tak mengenal warna bukanlah hal yang Hera inginkan. Tak ada anak-anak yang ingin menjadi Hera, ditakdirkan hanya melihat warna monokrom dalam hidupnya. Ia tak pernah bisa menjawab pertanyaan gutu tentang mana merah, mana kuning, mana pula hijau.
Lagu "Balonku" tak berarti baginya, karena saat ia harus memilih balon mana yang meletus, seisi kelas akan menertawainya. Pikir mereka, bodoh sekali dirinya tak bisa mengetahui mana merah muda dan mana pula yang kelabu.
Tawa-tawa mengejek itu akrab sekali di telinga Hera. Saat ibunya sibuk dan ia terpaksa memakai seragam sendiri, ia harus menelan pahit ketika ternyata warna yang dipilihnya salah. Setiap masuk sekolah, semua orang akan tahu kekurangannya begitu jam pelajaran Seni.
Ia yang tak bisa membedakan warna cokelat ataukah merah, hanya mengetahui gelap terangnya. Dengan begitu, ia akrab dengan kesendirian akibat keanehannya. Ia karib dengan suara dalam kepalanya saja, karena suara teman bahkan gurunya terlalu sumbang.
"Nikmati saja, Hera. Kamu spesial, ingat itu," selalu begitu kata ibunya. Namun, tak pernah ia pahami, dari sisi mana ia bisa spesial?
Karena pertemanannya dengan sepi dan harapannya untuk bisa melihat warna, ia mulai senang menggambar. Anak-anak lain mengikuti lomba mewarnai, tapi ia tak bisa membedakan krayon hijau atau merah, jadi ia memilih berdiam di sudut dan menggambar.
Saat remaja, temannya mulai senang bermain-main dengan cat air, tapi Hera tak tahu apa-apa selain gelap terang, jadi ia memilih warna hitam dan putih sebagai teman setianya untuk berkaya.
"Gambarmu bagus, Hera. Lihat, kamu spesial, bukan?" Begitu komentar ibu Hera saat melihat gambarnya, membuat ia tersenyum bahagia. Saat itu, ia tahu apa makna "spesial" yang ibunya maksud.
Namun, kebahagiaan itu tidaklah berlangsung lama.
***
Suatu hari, kakaknya melihat progres gambaranyya, kemudian berkomentar, "Gimana kalau kamu posting aja?"
Awalnya, Hera sangsi dengan usul itu. Namun, kakaknya terus memotivasi bahwa Hera harus berani mengambil kesempatan. Saat itulah, akhirnya ia mempublikasikan karya tersebut di suatu platform dalam kolom 'Tantangan'. Meski belum resmi, tapi ini memantik semangatnya untuk berkaya.
Komik-komik lain mendapatkan banyak pujian dan ditunggu-tunggu episode selanjutnya. Namun, beberapa komik tak seberuntung itu. Begitu pula milik Hera. Sejak memasuki episode ketiga, karyanya selalu dipenuhi komentar para pembaca, tapi hampir delepan puluh persen berisi cari maki.
***
Langkah tidak membawanya pulang ke rumah. Hera berhenti di stasiun kota yang tak terlalu ramai, sebab ini bukan hari libur nasional ataupun weekend. Orang-orang berlalu lalang dengan barang-barang yang mereka bawa, tanpa memedulikan keberadaan dirinya.
Seberapa cepat ia mati jika menabrakkan dirinya ke kereta api yang lewat? Mungkin hanya dalam sepersekian detik, jasadnya langsung terbelah dua tanpa ada yang menolong. Orang-orang akan mengerubunginya dengan jijik dan ngeri. Akankah keluarga mengenali dirinya? Mungkinkah mereka sampai hati mengemas jasad dan menguburkannya?
Kenapa pula ia harus memikirkan itu? Bukankah sejak awal ia hanya ingin mati dengan pasti? Inilah jawabannya. Kemungkinan mati dengan menabrakkan diri ke kereta yang lewat bisa lebih cepat lagi. Namun, ia harus mencari rel di tengah jalan. Kereta yang baru berangkat atau tiba di stasiun akan melambatkan laju jalanya, sedangkan yang masih dalam perjalanan tidak akan bisa mengerem jika ia mendadak muncul di hadapan.
Tubuhnya akan terpental dan otomatis mati. Kalau tidak, koma pun tak apa-apa. Asal ia bisa hengkang dari sesaknya dunia yang penuh dengan komentar buruk ini.
Ia berbalik badan dan berjalan buru-buru, hingga tubuhnya menabrak seorang kakek tua yang membawa serenteng plastik berisi kerupuk di bahu kenannya. Spontan ia memohon maaf, membantu sang kakek mengambil plastik besar itu.
Namun, saat Hera menyerahkan plastiknya, barulah ia sadar ada yang aneh. Kakek itu kebingungan meraba-raba tanah di sekitarnya, seolah mencari sesuatu. Hera memperluas area pandangnya, lantas nyaris melotot melihat tongkat tak jauh dari tempat si kakek berjongkok.
Usai mengambilnya, Hera menyentuh bahu di kakek. "Kakek cari ini?" Jantungnya entah mengapa berdebar, berharap firasat di dalam kepalanya salah. Jangan, jangan, jangan, bantinnya.
"O, ya maaf dek, saya ini buta. Tidak bisa lihat apa-apa."
Hati terasa dicubit saat mendengarnya. Hera melihat plastik berisi kerupuk yang dibawa si kakek, masih penuh. "Bagaimana kakek bisa jualan kerupuk?"
Kakek itu meraba-raba lantas meraih plastik saat tangannya menemukannya. "Saya biasanya duduk saja Dek, di selasar statsiun. Nanti yang beli tinggal naruh uang, ambil kembalian sendiri."
"Ka-kalau mereka nipu kakek, gimana?" Hera membantu kakek itu berdiri, lantas menuntunnya berjalan.
Dengan tersenyum, si kakek menjawab, "Ya, ndak papa. Biasanya saya, ya seperti ini. Daripada ndak kerja, ndak dapat uang, dari mana bisa makan? Kita berusaha, Allah yang menentukan."
Dada Hera tersentak mendengarnya. Sebuah kesadaran menghantamanya bertubi-tubi saat itu juga. Ia tidak menyahuti kata-kata si kakek karena sibuk menggigit bibir untuk menahan air mata. Kesedihan dan kegelisahan berbaur dalam hatinya, membuat ia merasa akan meledak. Setelah kakek itu duduk di selasar, ia hanya mengambil dua bungkus kerupuk dan meletakkan uang pecahan lima puluh ribu ditangannya, lantas berlari lekas-lekas dari sana, tanpa bicara apa-apa.
***
Hera membuang semua catatan-catatan tentang cara bunuh diri terbaik yang terserak di lemari belajarnya, begitu pula gunting dan silet yang ia siapkan di atas meja. Usai itu, ia terduduk di kasur dan memejamkan mata.
Saat membuka mata, ia memang tidak lantas bisa mengerti warna. Namun, ia tahu mana pintu dan mana jendela. Ia tahu mana rak buku dan mana rak sepatu. Ia bisa membedekan celana dan rok, tanpa harus menyentuh semuanya terlebih dahulu.
Menyadari itu, dadanya yang tadi terasa sempit, perlahan merasa beigtu lega. Seolah ada oksigen yang memenuhinya setelah seharian ia hanya menghirup karbon berisi benci dan sakit hati.
Tak lama, ia dengar ponselnya berdering. Notifikasi surel masuk ke ponselnya. Begitu membukanya, kesedihan yang menumpuk dalam hati selama beberapa lama, terasa melesap perlahan, seiring matanya membaca :
Selamat! Komik anda akan kami terbitkan secara offical, kami harapkan revisi di beberapa bagian yang akan didiskusikan dengan editor kami setelah anda mengonfirmasi email ini.
Profil Penulis :
Niswahikmah, seorang mahasiswa prodi Bahasa Arab yang juga aktif menulis dan mengirimkan karyanya ke berbagai media. Di usianya yang kesembilan belas, ia telah menerbitkan dua buku tunggal dan sepuluh antologi bersama. Kini, ia aktif berkiprah di Forum Lingkar Pena (FLP) Sidoarjo sebagai kadiv kaderisasi.
0 comments:
Post a Comment