Ma Apa Kabar? Maafkan Aku - Move On

Ma Apa Kabar? Maafkan Aku - Move On

INIKECE - "Apa kabar Dunia? Apakah hari ini masih sama dengan kemarin?" gumamku sambil membuka mata. Hari ini adalah hari pertama sejak kepindahanku ke Bandung, kota kecil yang berhawa dingin. Aku masih saja berbaring di balik selimut.

Terlalu malas untuk mandi dan keluar dari selimut. Aku berbaring sambil menatap ke atas atap kamarku dan memperhatikan sekeliling kamarku lagi. Ini adalah tempat baru dan dunia baruku yang akan aku jelajahi mulai hari ini.

Alarmku kembali berbunyi, ini mungkin sudah ke sepuluh kalinya dan menandakan ini sudah pukul 09.00 pagi. Aku pun duduk ditempat tidur sambil berpikir apa yang akan aku kerjakan terlebih dahulu. Aku pun berpikir untuk mulai mencari pekerjaan tetapi lebih baik aku membereskan kamarku terlebih dahulu. Aku pun bangkit, mengambil handuk dan mandi. Aku terpikir untuk membeli sarapan terlebih dahulu.

"Neng, mau keluar?" sapa bapak penjaga kost ku. "Iya bapak, saya mah mau cari sarapan. Dimana tempat jual sarapan?" tanyaku sambil aku mengunci pintu. "Neng maunya apa? Didepan itu ada ibu pnejual kupat tahu, disebelah kanan kost ini ada ibu penjual nasi kuning dan di sebelah kiri ujung jalan ada penjual bubur ayam. 

Ada banyak disini neng hahaha" jawab di bapak sambil tertawa. "Ya sudah, saya sambil jalan saja deh bapak. Haturnuhun bapak", "Sama-sama neng, hati-hati. Kalau ada apa-apa, teriak saja". "Hahahah bapak bisa saja, mari bapak" sambil sya berlalu pergi.

Aku berjalan sambil melihat-lihat langit. 'Hai langit, apa kabar mu? Hai ma, apa kabarmu?' sambil menahan tangis. Aku pun langsung mengalihkan pandanganku ke arah penjual makanan, aku tak mau orang-orang melihatku menangis. Setelah berjalan dan melihat-lihat aku pun berhenti di tempat penjual batagor dan kembali ke tempatku. Setelah aku selesai makan, aku pun melihat-lihat kamarku. Aku berpikir untuk membereskan barang-barangku saja.

Aku mulai membuka satu persatu dan meletakkannya sesuai dengan tempatnya. Saat aku ingin membuka kardus terakhir, hatiku kembali sesak. Aku seperti tidak mau membuka kardus itu. Aku tahu ketika aku membukanya hatiku pasti menangis dan kembali teringat kejadian itu.

Kejadian yang sangat ingin kulupakan, kejadian yang membawaku ke tempat ini. Aku berusaha untuk tidak membukanya dan meletakkan kembali di ujung pintu. Aku pun beranjak dari tempatku dan membuka laptop. 'Ada baiknya, aku mencari-cari lowongan pekerjaan saja' pikirku.

Aku pun membuka laptopku dna mencoba mencari-cari lowongan dan melamar ke berbagai lowongan. Tiba-tiba aku terasa lapar, ternyata sudah pukul 15.00. Aku pun berencana untuk keluar mencari makanan. Dan aku terpikir untuk mengajak adikku. Aku meneleponnya dan kami berjanji  di sebuah kafe di tengah kota. Aku pun bersiap dan pergi.


Selama di perjalanan hatiku masih terasa berat untuk bertemu dengannya. Di depan pintu, aku sudah melihat dia ada disana dan hatiku sesak. Wajahnya sangat mengingatkanku kepada wajah mama.

"Kak, sini! Malah bengong!" panggil adikku sambil melambaikan tangan. Aku pun tersenyum dan menjumpainya. "Gimana hari pertama di Bandung? Gimana tidurmu kak, lelap? Dingin gak?" tanyanya sambil melihat-limat menu. "Biasa saja, ga ada yang beda. Kamu mau pesan apa?" tanyaku sambil aku melihat sekeliling kafe. Tempatnya sungguh adem dan membuat tenang. 'Mungkin ini bisa dijadikan tempatku untuk menyendiri' pikirku.

"Aku mau pesan ini. Kakak pesan apa? Lihat dulu", sambil dia memanggil pelayan. Aku melihat menu sambil mendengarkan adikku dan kami pun memesan makanan.

Aku memperhatikan wajahnya, persis seperti wajah mama. Aku sesak lagi. "Kenapa kak?" tanya adikku. Sepertinya di menyadari tingkahku. "Belum bisa lupa sama kejadian itu? Masih teringat mama dengan lihat wajahku?" tanyanya dengan ekspresi yaa ingin menangis. "Enggak kok, aku gak teringat itu. Sudah tak usaha dibahas". "Baiklah, terus recana kakak apa disini? Kakak sudah mulai melamar? Atau kaka masih mengurung diri sepreti kakak di Malang?" "Aku sudah mulai melamar pekerjaan disini. Semoga aku betah disini". "Kalau kakak butuh apa telepon aku. Kenapa sih kita harus beda tempat?" Tiba-tiba pelayang datang dan menghidangkan makanan kami.

"Aku gak apa-apa. Aku pengen sendiri saja". "Kak, aku sudah bilang berkali-kali itu bukan salah kakak. Kepergian mama bukan salah kakak. Kakak jangan gini terus". "Bisa kita gak bahas hal itu, kamu tahu kan aku ga mau bahas itu?" aku sedikit berteriak. "Ya sudah kak, kita makan dulu." Kami pun makan dan diam. Ini yang selalu terjadi setiap kami bertemu sejak setahun lalu kepergian mama. Hubunganku dan adikku sangat merenggang sejak kepergian mama.

Aku pun langsung bersiap-siap untuk pergi setelah selesai makan tetapi adikku menahan. "Kakak ga mau aku temenin malam ini? Kakak yakin?" "Aku gak apa-apa Rin, aku datang kesini untuk belajar melupakan semuanya dan membuka hal baru. Kalau ada apa-apa, aku pasti kabarin kamu."

"Kaka, sudah setahun kak. Please, aku ga minta kakak untuk lupakan mama tapi berhenti menyalahkan diri kakak terus. Papa dan aku dari awal tidak pernah menyalahkan kakak. Kami juga sampai sekarang tidak pernah lupa sama mama. Tapi gak begini kak" ."Iya, aku tahu. Aku sedang berusaha berdamai dengan diriku, Rin. Percayalah, aku ga akan melakukan hal konyol lagi". "Baiklah, kembalilah ke sosok kakak yang aku kenal. "Yaudah, kamu hati-hati ya." Kami pun berpisah. Aku melihat kepergian adikku dan aku pun mengendarai mobilku.

Selama di perjalanan, aku hanya termenung dan aku teringat mama. Wanita tercantik yang sangat sayang kepada kami. Setahun lalu, mama meninggal karena kecelakaan mobil bersamaku. Sejak saat itu, aku memang tak bisa memaafkan diriku. Aku kembali menangis. Aku berusaha untuk berdamai dengan diriku dan berhanti menyalahkan diriku. Tetapi setiap aku teringat kejadian itu, aku menangis lagi. Itulah alasanku kenapa aku berada disini. Aku pun memberhentikan mobilku dan menatap gelapnya langit. Andai aku bisa menggantikan posisi mama. Aku pun kembali terisak tiba-tiba ponselku berdering dan 'Papa' menelepon.

Aku mengangkat sambil menahan tangis. "Kak, apa kabarmu?" Aku terdiam, kalimat yang selalu membuatku ingin menangis dan aku menangis. "Kakak, sayang, nak, jangan menangis lagi. Mama sudah tenang di surga, nak. Bukan salahmu, nak. Bukan salahmu. Kamu tahu itu, kak. Itu murni kecelakaan. Sudah setahun, papa jelaskan ini ke kamu".
"Iya,

Pa" jawabku terisak. "Dengarkan papa, mama adalah wanita yang paling kuat dan penyayang. Papa adalah orang yang paling kehilangan mama sejak setahun lalu. Tapi, papa ga pernah menyalahkanmu. Papa sekarang hanya berpikir ada dua malaikat kecil yang harus papa jaga yaitu kamu dan adikmu. Jadi, berhenti menyalahkan dirimu. Bangkit nak. Maafkan papa, kalau setahun papa mendiamkan kamu disini. Papa hanya merasa begitu bersalah dengan diri papa. Tetapi, papa sudah sadar. Kamu juga begitu kak, papa sangat sayang sama kamu".

"Pa, maafkan kakak pa". "Tidak ada yang perlu dimaafkan, hanya berjanjilah disana kamu akan baik-baik saja dan berdamai dengan dirimu dan masa lalumu". "Iya pa, aku jalan pulang dulu ya. Bye papa". Aku pun mematikan ponselku dan kembali mengemudikan mobilku.

Sesampainya di kamar, aku pun langsung menjatuhkan diriku di tempat tidur. Aku melihat kardus yang disudut pintu dan aku pun beranjak dan membukanya. Aku melihat satu persatu foto di dalam. Ya, foto mama dan aku. Aku kembali menangis, aku terisak. 'Aku rindu ma, maafkan aku ma. Aku akan berusaha berdamai dengan sumuanya ma. Aku akan jaga papa dan adik seperti pesan mama. Aku selalu sayang mama", sambil aku memeluk fotonya dan beranjak ke tempat tidurku. Aku pun tertidur.

Alam berbungi lagi, aku pun terbangun. Aku terdiam dan melihat lagi foto mama tetapi kali ini aku sambil tersenyum. 'Hai ma, Apa kabar? Apa kabarmu disana? Aku akan memulai semuanya dari awal ma.' Ini janjiku untukmu ma, Apa kabar mama? Aku rindu.



***

Biodata Penulis

Aku Angel, gadis berusia 27 tahun yang senang bermimpi dan berimajinasi. Aku lahir di Medan dn sekarang berada di Bandung. Aku senang membaca dan menulis dan juga segala sesuaut yang berkaitan dengan musik.

0 comments:

Post a Comment