Cerita Pertemuan Terkahir, Move On
INIKECE - Bangku panjang itu kosong. Biasanya ia sudah menantiku. Dia datang setiap hari, di jam dan tempat yang sama, sedang aku hanya datang ketika ingin. Meski begitu dia tidak pernah marah kepadaku.
Di hari-hari aku tidak hadir, dia tetap menanti dalam sunyi selama kurang lebih satu jam, sebelum kemudian beranjak pulang. Ya, aku kadang cukup tega untuk tidak menemuinya dan hanya mengamatinya dari kejauhan, meski sebenarnya aku datang. Mau bagaimana lagi, jujur memang ada saat-saat aku tidak ingin berbicara dengannya.
Aku duduk di pinggir dan menyadarkan punggungku. Kuletakkan tas jinjing di sisiku. Kurasakan belaian angin lembut, dedaunan kuning berguguran karenanya. Hamparan air terbentang beberapa meter di depan, riaknya menjauh perlahan seolah alur waktu melambat untuknya. Danau itu masih biru, sebiru saat pertama kali aku datang kemari.
Semburat emas cahaya matahari sore terpantul di permukaannya, memperkuat suasana tenang dan damai yang kurasakan. Kali ini, aku yang menunggunya. Ternyata penantianku tidak lama. Handaru berjalan perlahan ke arahku, dan meskipun aku tidak terbiasa mendengar langkahnya yang cepat namun dalam, entah mengapa aku tidak perlu menoleh untuk tahu keberadaannya.
Ia menghempaskan tubuhnya di ujung lain bangku itu, kemudian ia menghela napas panjang. Aku hanya memandanginya dalam diam. Kutunggu ia mengatakan sesuatu. Butuh berapa waktu sampai Handaru mulutnya dan menanyakan kabarku. Aku tidak menjawabnya. Masih mengamatinya sedari tadi, aku tahu ia sehat. Namun aku tetap bertanya balik padanya. Jawabannya sesuai ekspektasiku.
"Apa kabar anak kita?" tanyanya lagi.
"Baskara baik-baik saja. Hari ini dia kutitipkan pada neneknya," jawabku. Kualihkan pandanganku kembali ke danau. Dari sudut mataku terlihat Handaru mengangguk.
"Dia bisa beradaptasi? Sudahkah dia punya teman baru?"
"Dia baik-baik saja," ulangku. "Aku tahu kamu khawatir padanya, tapi seperti yang aku sudah bilang berkali-kali padamu, semua ini" aku mengangkat kedua telapak tanganku di atas bahuku," sepertinya bukan masalah yang berarti baginya. Baskara cepat beradaptasi, dan dia bahagia."
Handaru mengangguk sekali lagi, terlintas senyum getir di wajahnya. Perasaannya tercabik. Ia senang anak semata wayangnya bahagia, namun ada sebagian dirinya yang ingin anaknya sedih dan rindu padanya. Aku paham perasaan itu.
"Dia rindu kamu, tentu. Sering ia bertanya mengapa ayahnya tidak tinggal bersama dia lagi," tambahku.
"Dan apa jawabanmu?"
"Bervariasi, Kadang kujawab kamu sibuk, kadang kujawab kamu butuh menyendiri," kataku datar. "Kadang kujawab setengah jujur bahwa ayahnya memulai hidup yang baru, namun tidak bersama kami. Basakara cukup terpuaskan. Dia belum butuh tahu detailnya."
Handaru menunduk dan memejamkan matanya, "Aku minta maaf," katanya lirih.
"Jangan meminta maaf lagi, Mas, aku sudah memaafkanmu sejak permintaan maafmu yang pertama," balasku cepat. "Aku sudah ikhlas. Lagipula aku juga bersalah dalam hal ini. Namun tetap saja kita tidak bisa bersama lagi."
Handaru membuka matanya dna menoleh ke arahku. Pandangannya hangat. Perih hatinya terpancar lewat kedua matanya dna merasuk padaku, membuat dadaku tiba-tiba terasa sesak.
"Kamu perempuan yang baik, Andhini. Aku beruntung menikahimu."
Aku tidak merespons ucapannya dan bangkit dari dudukku. Kulangkahkan kakiku ke depan, mendekat ke tepi danau. Kulayangkan pandangku ke hamparan biru keemasan itu, mencari tepi sebaliknya. Seekor angsa putih terlihat berenang dengan tenang, meninggalkan dua garis jejak buih putih panjang di atas permukaan air yang berkilauan.
Handaru nampaknya melihat hal yang sama. "Kamu ingat pertama kali kita datang ke sini dulu? Mungkin itu angsa yang sama dengan yang kita lihat waktu itu. Rasanya sudah lama sekali."
"Ya, sepertinya begitu. Tapi dulu mereka berdua. Aku masih ingat mereka melengkungkan leher bersama, seolah membantuk simbol hati. Dimana pasangannya?"
Menyadari kemungkinan jawabannya, kami berdua terdiam. Angsa itu seolah menjadi alegori untuk kami, bahwa cinta memang tidak abadi. Kami sedang ditertawakan alam.
Handaru mengalihkan pembicaraan. Masih dalam nostalgia, kami mengenang kebersamaan kami terdahulu. Bagaimana kami berboncengan di atas sepeda motor tuanya untuk menuju ke danau itu. Bagaimana kami mampir ke sebuah warung makan untuk jajan bakso pangsit setelahnya. Bagaimana kami menjadikan tempat itu, bangku panjang itu, sebagai tempat kami berpacaran setiap akhir minggu. Bagaimana ia melamarku di tempat itu, sebelah lututnya di tanah saat ia bersimpuh memasangkan cicin berlian pada jari manis tangan kiriku.
Seperti yang kusebut sebelumnya, hari itu berbeda. Untuk pertama kalinya kami berbincang begitu panjang, begitu dalam. Kami menelusuri setiap relung memori indah yang kami punya, menggali, da melemparkannya kembali ke permukaan. Bangku panjang itu kami menyaksikan kebersamaan dua orang yang sudah lama hilang. Kami tertawa lagi setelah sekian lama. Handaru dan aku, kami pernah bahagia.
Tawa kami mereda seiring dengan selesainya pembicaraan topik kenangan manis. Angin meniupkan sehelai daun ke pangkuanku. Kuambil daun kuning itu dan kumainkan dengan jemariku.
"Aku tahu kamu masih transfer ke rekeningku setiap bulannya," ujarku. "Cukup, Mas, aku bukan lagi tanggung jawabmu untuk kamu nafkahi. Ambillah kembali. Aku tidak mengunakannya sepeser pun. Aku bahkan sudah tidak pakai rekening itu lagi."
Ini adalah salah satu hal yang paling kusebut saat kami bertemu. Dan setiap kali pula Handaru menyanggahnya, menyuruhku tetap menyimpannya. Untuk berjaga-jaga, begitu katanya.
Namun tidak kali itu.
Terdengar napas yang dalam dari sebelahku. Handaru masih diam. Nampaknya ia sedang berpikir keras. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya di wajahnya, menggosoknya beberapa kali, kemudian meletakkannya di atas kedua lututnya.
"Baiklah," jawabnya, "Kalau itu maumu, Andhini. Tapi kalau kamu butuh bantuanku, apapun itu, aku"
"Aku tidah butuh apa-apa. Doamu saja cukup Mas," potongku.
Handaru memandangiku sekali lagi. Dia mempelajari wajahku, seolah sedang memetakan ekspresi apa yang aku keluarkan. Dahi, hidung, dagu, begitu alur pandangnya. Namun akhirnya ia kembali ke mataku.
"Andhini," ujarnya. "Aku sudah memikirkannya. Aku selalu ragu, selalu menunda, karena sebetulnya aku tidak ingin. Aku takut. Tapi aku harus mengamil keputusan, dan mungkin inilah saatnya,"
Ia masih belum melepas pandangannya dari mataku. Aku menelan ludah.
"Ini adalah pertemuan terakhir kita."
Aku tidak percaya Handaru baru saja mengatakannya. Kupicingkan mataku, sedikit berharap aku hanya salah dengar.
"Tolong ulangi sekali lagi," pintaku memastikan.
"Mulai besok kamu tidak perlu menemuiku lagi di tempat ini. Karena mulai besok, aku juga tidak akan datang lagi kemari."
"Kamu yakin?" tanyaku.
Bola matanya bergerak. Dia megamati ekspresi wajahku lagi.
"Harus."
Kupalingkan wajahku darinya, "Kamu tahu apa yang aku rasakan sekarang, Mas? Aku lega. Memang seharusnya begitu. Aku sudah menunggumu mengatakannya dari dulu."
Mata Handaru melebar, seperti tidak siap mendapatkan reaksi seperti itu. Mulutnya bergerak ingin menyampaikan sesuaut, namun suaranya tertangguh di tenggorokannya. Beberapa saat kemudian ia menyerah, lalu kembali menghadapkan tubuhnya ke danau.
"Maksudku, seperti yang sudah kukatakan, aku bukan lagi tanggung jawabmu," tambahku, "Kita sudah berpisah, Mas, kamu bilang kamu takut? Aku juga. Pertemuan kita selama ini hanyalah pelarian dari rasa takut itu, penundaan atas sesuatu yang pasti terjadi. Aku mendukung keputusanmu bukan karena aku ingin, tapi karena ini kenyataan yang harus kita jalani. Ada alasannya mengapa aku bersikap dingin kepadamu selama ini, namun yang jelas itu bukan karena aku menyimpan dendam padamu. Aku sudah berdamai dengan diriku sendiri. Sudah waktunya kamu juga melakukan hal yang sama."
Handaru menghela napas, lalu tersenyum simpul. "Kamu memang selalu lebih rasional dariku, Andhini. itulah mengapa aku jatuh cinta padamu."
"Katanya perempuan lebih cepat dewasa daripada laki-laki," ujarku serius.
"Ya, sepertinya itu benar adanya."
Angin lembut kembali bertiup di tepi danau itu. Kubiarkan daun yang sejak tadi kupegang diterbangkannya. Sang angsa terlihat berenang menjauh. Aku mengerlingkan mataku ke arloji di pergelangan tangan kiriku.
"Saatnya aku pergi, Mas. Baskara sudah menungguku. Aku janji pulang lebih awal hari ini."
"Oh?" Handaru memeriksa arlojinya sendiri,"...ya, tentu saja. Tolong sampaikan salam sayangku padanya. Dan juga permintaan maafku untuk yang terakhir kali."
Kuambil tas jinjing dan aku berdiri, "Akan kusampaikan. Kamu juga akan langsung pulang?"
"Tidak," jawabnya." Sepertinya aku akan mampir dulu."
"Baiklah."
Handaru memandangiku berbalik dan berjalan menjauh, namun aku berhenti. Aku menoleh padanya sekali lagi.
"Mas Ndaru," kataku. "Semoga hidupmu bahagia. Aku mencintaimu. Selalu."
Tanpa menunggu reaksinya aku melanjutkna langkahku. Kutegakkan tubuhku. Tangisku berderai, namun kutahan diriku agar tidak terisak, supaya ia tak tahu.
Hari itu memang berbeda.
***
Handaru memandangi sosok istrinya pergi. Rambut hitam panjangnya yang digerai, langkah kakinya yang anggun. Diperhatikannya terus hingga wanita itu hilang dari pandangannya. Itu adalah kesempatan terakhirnya, tidak ada lain kali.
Hatinya perih. Seperti ada lubang yang tiba-tiba muncul di dadanya. Kosong, namun berat dan menyesakkan. Terlebih karena Handaru sadar anggukan pelan kepala Andhini saat ia berjalan pergi menandakan bahwa wanita itu menangis. Mata Handaru berkaca-kaca, namun ia bersikeras menahan diri untuk tidak ikut berurai air mata.
Setelah Andhini pergi, Handaru berdiri dan melempar pandang ke danau untuk terakhir kalinya. Angsa putih itu sudah tidak lagi terlihat. Mungkin ia sudah tiba di sarangnya dan siap mengkhiri hari. Memikirkannya membuat Handaru teringat ia juga memiliki tempat yang ingin dituju sebelum gelap. Dia rindu ibunya.
Perjalanan dari danau menuju ke pemakaman umum membutuhkan waktu dua puluh menit menggunakan mobil. Handaru menyempatkan untuk membeli bunga tabur dan air mawar sebelum masuk ke dalam areal pekuburan.
Ia sudah lama tidak datang ke tempat itu. Berapa lama waktu berlalu sejak hari itu? Delapan bulan? Satu tahun? Dua tahun? Handaru tidak ingat. Dia bahkan hampir lupa di sebelah mana makam keluarganya dan tersesat, kalau tidak karena ia bertanya pada penjaga kuburan.
Setibanya ia di sisi makam ibunya, dicabutnya ilalang kering yang tumbuh liar dan disebarkannya bunga tabur yang ia bawa di atas pusara itu. Tidak lupa ia kucurkan air mawar setelahnya. Handaru lalu menghapus percikan tanah kering yang menutup nama ibunya di bantu nisannya yang nampaknya terciprat oleh hujan lebat kemarin malam,
Ratin Sastrowilogo binti Soebandriyo Sastrowilogo. Lahir : 18-04-1957, Wafat: 23-02-2017
23 Feruari 2017
23 Feruari 2017
Tanggal yang tertera itu membuka tabir memori yang Handaru pendam dalam-dalam, ingatan pedoh yang tidak ingin ia akui keberadaannya, tidak ingin ia bangkitakan lagi.
Kalau saja hari itu Handaru pulang kerja lebih awal.
Kalau saja hari itu ibunya dan Baskara tidak mereka ajak pergi untuk makan malam.
Kalau saja malam itu ia tidak bertengkar dengan Andhini di dalam mobil mereka.
Kalau saja malam itu ia fokus berkendara dan memperhatikan kaca spionnya.
Kalau saja malam itu ia melihat bus antar kota yang melaju seratus dua puluh kilometer per jam di sisi kanan kendaraannya.
Kalau saja ...
Cukup.
Berdamai dengan diri sendiri. Itu yang Andhini lakukan, dan Handaru bertekad untuk juga melakukannya. Berandai-andai dengan skenario-skenario khayalan tidak akan memutar balik waktu dan mengembalikan segalanya seperti semula.
Tangis Handaru pun pecah, air matanya berjatuhan di atas tanah kubur yang sudah basah sebelumnya oleh air mawar.
"Maafkan aku, Ibu maafkan aku yang melupakanmu. Aku yang baru mengunjungimu hari ini setelah sekian lama. Aku yang menolak menerima kepergianmu. Aku, anakmu yang durhaka..." isaknya. Diusapnya ujung batu nisan ibunya dengan lembut. "Semoga ibu tenang di sana, dan jauh darimu siksa-Nya."
Handaru menengadahkan tangannya dan berdoa dengan lirih dan khusyuk. Selesainya ia kemudian berdiri dan berjalan ke arah dua kuburan yang berada di samping makam ibunya. Ia berhenti sejenak di depan keduanya, kemudian ia berjongkok, dan dibersihkannya kedua makam itu. Dipandanginya kedua batu nisan itu bergantian, lalu ia tersenyum.
Andhini Citra Tunggadewi binti Darsa Yuwana. Lahir: 25-05-1988, Wafat: 23-02-2017
Baskara Jaya Pradipta bin Handaru Putramanggala. Lahir: 01-10-2012, Wafat: 23-02-2017
"Semoga kalian tenang di sana," katanya sembari menaburkan bunga dan mengosongkan botol air mawar di atas keduanya. Ditengadahkannya kedua tangannya dan didoakannya keluarga kecilnya itu. Air matanya masih mengaliri pipinya, namun seiring dengan setiap tetesnya yang jatuh Handaru merasakan perasaan lega yang selama ini tidak pernah ia rasakan. Hatinya masih perih, tapi juga terasa lapang. Beban berat itu baru saja dicabut darinya.
"Ayah masih belum bisa menyusul, Nak" ujar Handauru sambil mengusap batu nisan Baskara, "Ayah mohon kamu jangan nakal dan jaga ibumu selama Ayah tidak ada, ya."
"Dan Andhini," Handaru berpaling ke nisan istrinya. "Mulai hari ini dan seterusnya, doaku akan menyertai kalian, itu janjiku."
Handaru bangkit berdiri. Dipandanginya ketiga pusara itu sekali lagi, kemudian ia berbalik menuju pintu gerbang pemakaman. Langkahnya kecil dan ringan.
***
Profit Penulis
Profit Penulis
Dean Budoyo, penulis kelahiran Yogyakarta, 08 September 1992. Tertarik dengan literatur, kucing, dan bakery. Sedang merintis usaha makanan ringan berbahan dasar mete.
0 comments:
Post a Comment