Cerita, Secangkir Teh Untuk Senja
INIKECE - Menghangat, udara menghangat seiring bola api di langit semakin turun ke kediamannya untuk beristirahat karena pekerjaannya yang menerangi separuh bumi sepanjang siang telah usai. Sebagai persembahan terakhir, ia menunjukkan sayap merah-oranye bersarnya terlebih dahulu di atas sana.
Bagaikan car air yang tumpah kemudian disapu oleh tangan yang ahli. Membuat penduduk tanah selalu takjub akan pertunjukannya itu walaupun mereka sering melihatnya hampir setiap hari. Gumpalan awan merah bergerak pelan ditiup angin menambah kesan pertunjukan langit tersebut.
Penggurat seni cat air tidak bosan-bosannya memgabadikan pemandangan itu di atas kanvas putih yang baru lahir. Penikmat senja tidak bosan-bosannya memendangi langit itu sambil menggenggam secangkir kopi panas dengan serangkaian kata-kata mutiara buatannya yang berseliweran di benaknya untuk ia pamerkan sebagai caption instagram atau twitter nanti.
Pengabdi kamera berlensa besar dan mahal tidak bosan-bosannya mengambil momen itu dalam kameranya dan sengaja membiarkan orang-orang berlalu-lalang di depannya sebagai objek siluet foto.
Sebuah telapak tangan menyentuh kaca jendela dengan hati-hati, seolah-olah takut tangannya akan menggores kacanya. Sang empunya mengembuskan napas, membuat embun tipis di jendela di hadapannya. Cantik, senja selalu saja terlihat cantik. Tangannya kini menyibak rambut panjang coklatnya ke balik bahu.
Pintu apartemennya diketuk. Gadis yang tadinya berdiri di hadapan jendela besar kini berbalik untuk melihat siapa yang mengetuk pintu tempat tinggalnya. Sebenarnya ia sudah menduga siapa sosok itu. Benar saja. Ia bisa melihat dengan jelas dari lubang pintu. Seorang pria muda yang memakai kemeja kotak-kotak biru kini tengah berdiri di balik pintu. Gadis itu tersenyum. Akhirnya datang juga, ia pun membuka pintu.
"Aku kira kamu baru akan datang ketika aku wisuda nanti."
Pria itu tertawa
Berisik! Tolong diam sebentar! Bisik gadis itu pada jantungnya.
Pesta teh mungkin sudah tidak dilakoni lagi bagi anak-anak muda jaman sekarang. Tapi tidak untuk Blair dan sahabat kecilnya, Peter. Sudah sepuluh tahun lamanya mereka bertemen. Ketika lulus SMA, mereka memutuskan untuk kuliah di tempat yang berbeda, namun satu kota.
Orangtua mereka akhirnya memutuskan untuk memberikan gedung apartemen yang sama pada anak-anaknya itu dengan kamar terpisah.
Dentingan cangkir teh dan teko terdengar bertalu-talu seakan-akan ingin memberi pesan kepada sang tamu yang kini telah duduk di bangku teras balkon bahwa si tuan rumah sedang dalam keadaan bahagia. Persis seperti pertunjukan langit di luar sana. Indah, hati si tuan rumah juga indah.
"Aku hampir telat masuk kelas Fitokimia."
Seperti biasa, Blair yang akan bercerita terlebih dahulu tentang kejadian di kampusnya selama seharian tadi. Bola api kehidupan semakin menenggelamkan dirinya di ufuk barat. Semburatnya semakin lama semakin sirna. Angin malam yang dingin mulai bertiup, memberi tanda bahwa sang Dewi Malam akan segera tiba. Penduduk tanah harus bersiap-siap.
"Blair," panggil Peter setelah sahabatnya itu menyelesaikan celotehannya.
"Ya?"
"Untuk nonton malam ini, aku mau ajak Julia."
Oh iya. Hampir lupa. Sudah hampir sebulan Peter dan Julia menjalin hubungan. mereka jadian tepat sehari sebelum Blair putuh dengan Noah, mantan pacarnya.
Bola api kehidupan kini benar-benar sudah tenggelam. Langit kini mulai gelap, dan pada saat itu, Blair baru membuka mulutnya.
"Boleh, kok. Dia, pacarmu," jawab Blair. "Apakah Julia keberatan kalau ada aku?"
"Tidak apa-apa. Justru ingin berkenalan denganmu. Kalian belum pernah bertemu, kan?"
Sudah. Lebih tepatnya Blair sudah melihat sosok Julia ketika Blair sedang berkunjung ke rumah Ghea. teman kelasnya, untuk kerja kelompok tiga hari lalu. Ternyata letak rumah Julia hanya dipisahkan oleh satu rumah dari rumah Ghea. Blair mengetahui bahwa sosok itu adalah Julia karena mobil yang terparkir di depan rumah Julia adalah mobil milik Peter.
Gadis cantik berambut pirang tengah berbincang di samping mobil dengan seorang pria yang tidak lain dan tidak bukan adalah Peter. Setelah Julia dan Peter masuk ke dalam rumah Julia, Blair baru turun dari mobil Ghea menyusul teman-temannya yang tengah berjalan santai menuju pintu rumah.
"Belum."
Benar, kan? Mereka belum pernah bertemu secara resmi?
"Kamu terlihat cantik."
Blair tersenyum, menunggu kalimat itu dilontarkan untuk dirinya juga. Tapi ia kembali meleburkan harapannya itu. Ketika berangkat menuju rumah Julia tadi pun, Peter tidak mengatakan apa-apa saat melihat Blaie yang dibalut gaun merah mudah yang sangat jarang dipakai olehnya.
Mengapa ia berharap kalimat itu diucapkan pada dirinya juga ketika Peter mengeluarkannya untuk Julia? Untuk penampilan, Julia terlihat lebih mempesona dengan gaun merah sebetis. Setengah rambut pirangnya dikepang ke belakang dengan sempurna dan sisanya terurai ke depan menggelombang.
Berbeda dengan Blair yang hanya mengucir rambut coklatnya seperti kucir kuda dengan karet rambut yang biasa ia pakai. Memang, gaun adalah pakaian yang agak berlebihan jika dipakai untuk nonton saja. Tapi setelah nonton, mereka bertiga akan pergi makan malam.
"Julia, ini Blair, sahabatku dari kecil yang tinggal digedung apartemen yang sama denganku." Peter memperkenalkan Blair pada Julia. "Blair, ini Julia, pacarku."
"Julia."
"Blair." Blair menyambut tangan Julia.
"Peter beruntung punya sahabat sepertimu. Kamu cantik dan terlihat ramah," puji Julia.
"Tapi aku tidak secantik dirimu, Julia," Blair tertawa.
"Terima Kasih."
Dewi malam sudah muncul sedari tadi di atas sana. Sedang purnama. Bintang-gemintang membinkai langit, terbelenggu oleh tugasnya untuk selalu menemani Dewi Malam setiap malam. Tapi gemintang tidak mengeluh. Ia tulus karena gemintang tahu ia akan mempercantik Dewi Malam dengan keberadaannya. Setidaknya tugasnya itu ada fungsinya bagi penduduk tanah; membuat penduduk tanah kembali takjub ketika malam tiba.
Blair tidak fokus ketika menonton di bioskop, juga tidak menghabiskan makan malamnya. Padahal ia bisa saja menambah porsi makannya seperti pada malam-malam sebelumnya.
Waktu terasa sangat lama bagi Blair. Tiga setengah jam yang mereka habiskan untuk nonton dan makan, terasa seperti tiga abad bagi Blair.
"Dua minggu lagi ada acara festival air manur. Aku sudah beli dua tiket," ujar Blaie ketika mobil Peter telah sampai di area parkir apartemen. Acara malam itu telah usai. Mereka sudah mengantarkan Julia ke rumahnya dua puluh menit lalu.
"Festival air mancur di taman kota? Yang jadwalnya jatuh pada Sabtu malam tanggal tujuh belas itu?"
Blair mengangguk.
"Aku... Sudah beli dua tiket juga. Untuk aku dan Julia."
Pondasi hati yang mulai dibangun kembali oleh Blair, jatuh tanpa ampun seperti istana yang disambar cemeti dewa.
"Oh ya, harusnya aku sudah tahu jawabannya." Padangan Blaie beralih ke kaca jendela mobil sampingnya.
"Bagimana kalau kamu pergi dengen Ghea?"
"Dia akan pergi dengan pacarnya," jawab Blaie. "Sepertinya aku harus pergi sendiri."
"Kalau Tia? Atau Hanna? Biar aku yang menghubungi mereka"
"Mereka sudah punya rencana dengan orang terdekat mereka masing-masing!" Blair agak terkejut karena dirinya telah membentak Peter.
"Blair, aku.."
"Maksudku, kalau kamu sudah punya rencana dengan Julia, harusnya kamu bilang dari awal," potong Blair dengan suara lebih lembut. "Agar aku tidak beli dua tiket. Tapi... harusnya aku sudah tahu kalau pergi kemana-mana, kamu pasti akan pergi dengan Julia."
Hening.
"Acara festival kampusmu kapan? Seperti aku bisa"
"Tidak perlu. Nanti aku pergi bersama Ghea saja. Aku takut mengganggu rencana kalian lagi."
"Blair, kita pergi bertiga saja ke festival air mancur nanti. Tiketmu yang sudah kubeli biar kubayar."
Blair menggeleng. "Kalian berdua saja perginya. Aku pergi sendiri saja dan simpan uangmu itu. Aku tidak enak dengan Julia. Malam ini biarkan jadi malam pertama dan terakhimu mengajak aku, Peter. Ke depannya tidak apa-apa kamu pergi dengan Julia saja."
Blair membereskan isi tasnya.
'Aku mau masuk duluan. Terima kasih untuk traktirannya tadi." Blair memandang sahabatnya sekali lagi sebelum turun dari mobil.
Malam itu dingin. Blaie bisa merasakannya di betis dan lengannya yang terbuka ketika turun dari mobil. Tapi tidak dengan hati dan matanya.
***
Peter melontarkan sumpah serapah ketika dirinya terjebak di dalam kemacetan. Ia tidak peduli dengan lembayung senja yang tampaknya lebih indah dari biasanya. Ia harus sampai sebelum senja sialan ini berakhir. Ia harus datang ke pesta teh.
Tadi siang hingga sore ia terpaksa menemani Julia makan siang dan belanja. Apa boleh buat, Julia kini adalah pacarnya. Jadi ia harus memberikan yang terbaik bagi pacarnya itu. Entahlah, bukankah ia yang memilih untuk pacaran dengan orang lain karena sahabatnya sendiri sudah memiliki hubungan dengan seseorang yang bernama Noah?
Peter tetap melanjutkan hubungannya dengan Julia setelah mengetahui Blaie masih sangat terpukul selama berhari-hari atas kisah cintanya yang kandas dengan Noah. Akan sangat mengerikan jika Peter memutuskan hubungannya dengan Julia hanya karena Blair sudah putus dengan Noah.
Apalagi Blair waktu itu masih menyebutkan nama Noah dan menceritakan kenangan-kenangan manisnya bersama Noah dulu. Memangnya ada jaminan Blair akan membalas perasaannya yang sudah tumbuh dari kelas 1 SMA itu? Jika Peter mengutarakan perasaannya, Blair akan menerimanya? Mimpi saja.
Ting Tong. Peter memencet bel.
Tak lama kemudian, pintu apartemen itu dibuka.
"Aku kira kamu baru akan datang ketika aku wisuda nanti."
Peter tertawa. Maaf karena baru datang.
Ia tahu bahwa mereka selalu mengadakan pesta tehnya di balkon kamar Blair yang terdapat bangku-bangku dan meja kecil. Jadi ia langsung pergi kesana sementara gadis itu menyiapkan teh untuk mereka berdua.
"Aku hampir telat masuk kelas Fitokimia.'
Seperti biasa, Blair yang akan bercerita terlebih dahulu tentang kejadian di kampusnya selama seharian tadi. Bola api kehidupan semakin menenggelamkan dirinya di ufuk barat. Semburatnya semakin lama semakin sirna. Angin malam yang dingin mulai bertiup, memberi tanda bahwa sang Dewi Malam akan segera tiba. Penduduk tanah harus bersiap-siap.
"Blair," panggil Peter setelah sahabatnya itu menyelesaikan celotehannya.
'Ya?"
"Untuk nonton malam ini, aku mau ajak Julia."
Blair terdiam sesaat, Peter melirik sahabatnya itu untuk mengetahui reaksi Blair ketika ia bilang akan mengajak Julia. Mata Blair terpaku pada senja kesumba di hadapannya, seperti biasa. Blair memang jatuh cinta pada pertunjukan itu.
"Boleh, kok. Dia, kan, pacarmu," jawab Blair. "Apakah Julia keberatan kalau ada aku?"
Peter menatap Blair. Gadis itu tersenyum. Sepertinya dia baik-baik saja.
"Tidak apa-apa. Justru Julia ingin berkenalan denganmu. Kalian belum pernah bertemu, kan?" ujar Peter.
"Belum."
Blair menyeruput tehnya. Kemudian melanjutkan ceritanya yang sempat terpotong tadi. Peter tersenyum kecut. Memangnya reaksi apa yang diharapkannya dari Blair?
***
Peter merasa Blair bertingkah tidak seperti biasanya malam itu. Ia tetap ceria seperti biasa, bertanya banyak hal pada Julia. Tapi ketika Julia sedang berbicara pada Peter, Blair terlihat banyak bergerak. Melirik arlojinya, merapikan ujung gaunnya yang tidak kusut, atau bahkan memperhatikan sepatu high heels-nya yang tidak kenapa-kenapa.
Apa ia tidak nyaman? Sudah lama sekali sejak Peter melihat Blair memakai gaun manis dengan sepatu high heels di kakinya. Itu membuatnya snagat cantik. Tapi ia tidak bisa mengatakannya bahkan tadi ketika melihat Blair membuka pintu apartemennya dengan penampilan seperti itu. Peter berusaha mengalihkan pandangannya terus-menurus karena tidak sanggup dengan kecantikan sahabatnya itu.
Dan ketika Julia berkata, "Peter beruntung punya sahabat sepertimu. Kamu cantik dan terlihat ramah."
Ya. Aku memang beruntung. Sangat beruntung.
Berlnajut dengan keanehan Blair, ia bahkan tidak bereaksi apa-apa ketika adegan hantu di bioskop muncul dengan tiba-tiba sementara Julia sudah berteriak ketakutan di dekapan Peter, Peter menggenggam tangan Julia semakin erat, dan begitu seterusnya sampai film telah usai.
Puncaknya adalah ketika Blair tidak menghabiskan makan malamnya. Blair adalah tipe orang yang banyak makan. Walaupun begitu, olahraganya juga teratur. Dulu, setiap malam ketika Blair dan Peter makan malam berdua atau bertiga dengan Noah, Blaie selalu menambah porsi makannya. Bahkan ketika Peter berkunjung ke apartemen Blair untuk sekadar membantu tugas Blair atau menemani Blair menonton film, Blair yang paling banyak memakan cemilan.
Entah kenapa Blair hanya menyuap tiga sendok makanannya malam itu. Kemudian Blair sibuk memainkan handphone-nya. Naoh? Pikir Peter. Tidak mungkin. Mereka sudah putus. Tapi bukankah ada kemungkinan Noah menyesali keputusannya dan mengajak Blair balikan? Sudahlah. Memangnya kenapa kalau Blair dan Noah kembali berpacaran? Ia berusaha fokus kepada Julia di sampingnya yang mulai mengajaknya mengobrol.
Ternyata itu belum puncak keanehan sikap Blair.
Ketika mereka tiba di area apartemen, Blair mengatakan bahwa ia sudah membeli dua tiket festival air mancur di taman kota yang akan diselenggarakan dua minggu lagi. Satu untuk Blair, satunya untuk dirinya.
"Aku.. sudah beli dua tiket juga. Untuk aku dan Julia."
Peter menyadari air muka Blair berubah.
"Oh ya, harusnya sudah tahu jawabannya," Blair tersenyum kembali, tapi kini wajahnya menatap jendela mobil. Tiba-tiba Peter merasa sangat bersalah.
"Bagaimana kalau kamu pergi dengan Ghea?"
"Dia akan pergi dengan pacarnya," jawab Blair. "Sepertinya aku harus pergi sendiri."
"Kalau Tia? Atau Hanna? Biar aku yang menghubungi mereka"
"Mereka sudah punya rencana dengan orang terdekat mereka masing-masing!"
Peter terkejut ketika Blair membentaknya. Sangat tiba-tiba.
"Blair, aku.."
"Maksudku, kalau kamu sudah punya rencana dengan Julia, harusnya kamu bilang dari awal," potong Blair dengan suara lebih lembut. "Agar aku tidak beli dua tiket. Tapi.. harusnya aku sudah tahu kalau pergi kemana-mana, kamu pasti akan pergi dengan Julia."
Blair.. andai kamu tahu bahwa jika disuruh memilih, Peter akan memilih pergi dengannya dibandingkan dengan Julia. Tapi Peter sudah berjanji pada Julia akan mengajaknya ke festival itu. Bahkan tiket mereka kini sedang berada di tangan Julia.
Hening. Peter ingin mencairkan suasana.
"Acara festival kampusmu kapan? Sepertinya aku bisa"
"Tidak perlu, Nanti aku pergi bersama Ghea saja. Aku takut mengganggu rencana kalian lagi."
"Blair, kita pergi bertiga saja ke festival air mancur nanti. Tiketmu yang sudah kubeli biar kubayar."
Blair menggeleng. "Kalian berdua saja perginya. Aku pergi sendiri saja dan simpan uangmu itu. Aku tidak enak dengan Julia. Malam ini barikan jadi malam pertama dan terakhirmu mengajak aku, Peter. Kedepannya tidak apa-apa kamu pergi dengan Julia saja."
Peter terdiam. Apakah Blair sedang sakit? Dari gerakannya yang tidak nyaman, tidak menghabiskan makan malamnya, dan mood-nya yang naik turun begini. Atau sedang PMS-kah? Baru saja Peter ingin membuka mulutnya untuk menanyakan keadaa Blair, tiba-tiba Blair membuka mulutnya terlebih dahulu.
"Aku mau masuk duluan. Terima kasih untuk traktirannya tadi."
Peter terkesiap mendengar pernyataan Blair dan menatap tidak percaya sahabatnya itu yang sedang turun dari mobil. Peter segera mematikan mesin mobilnya dan memanggil Blair. Gadis itu tidak menoleh.
***
Sehari setalah kejadian itu, Blair mengirim pesan kepada Peter. Blair meminta maaf atas perlakuan kurang ajarnya kemarin, meninggalkan Peter begitu saja di area parkir. Peter segera menanyakan apakah Blair sedang tidak enak badan. Tapi bliar hanya mengatakan bahwa ia sedang banyak pikiran saja kemarin.
Seminggu berlalu.
Kini Peter sedang makan siang bersama Julia. Tapi pikirannya terus melalang buana ke sahabatnya itu. Sudah seminggu ini ia tidak melakukan pesta teh. Blair selalu tidak ada di apartemen ketika senja. Dan selalu Blair memberi banyak alasan ketika Peter ingin berkunjung ke kamar apartemennya atau mengajak Blair berbincang-bincang di luar pada malam hari, berdua saja.
Ia sempat berpapasan dengan Blair ketika Peter ingin ke kampus siang hari. Blair baru saja pulang dan sedang membuka kunci pintu kamar apartemennya. Karena kamar mereka bersebrangan, maka Blair bisa mendengar Peter keluar dari kamarnya. Mata mereka sempat bertemu beberapa detik sebelum akhirnya Blair tersenyum dan langsung masuk ke kamarnya tnapa berkata apapun.
"Peter!" panggil Julia lebih keras.
"Iya?" Peter tersadar dari lamunannya.
Julia menatap Peter dengan sorot mata satu. Kemudian Julia menggenggam tangan pria itu.
"Aku siap, Peter."
Peter kebingungan.
"Aku tahu kamu mencintai Blair. Kamu tidak pandai berpura-pura. Sorot matamu selalu mengagumi Blair dan tingkahmu selalu berbeda ketika membicarakan atau berada di dekat Blair. Aku melihatnya, Peter," Julia tersenyum. "Aku siap diputusin kamu."
"Julia, bukan begitu"
"Peter, semakin lama kamu berpura-pura, semakin banyak kamu akan kehilangan. Bayangkan sesakit apa perasaan Blair nanti ketika tahu dirinya telah dibohongi lama oleh sahabatnya sendiri. Kamu akan kehilangan dia sebagai pujaan hati, sekaligus sebagai sahabat."
Peter terdiam. Ia menatap mata Julia. Ada sorot kekecewaan di sana. Tapi apa yang disampaikan olehnya adalah benar adanya.
"Julia, kamu tidak apa-apa?"
Julia mengangguk. "Aku justru akan lebih sedih dan kecewa lagi jika aku tidak melakukan ini," ujarnya. "Satu lagi, aku bersumpah atas nama ibuku, Blair membalas perasaanmu."
***
Blair, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi jika boleh jujur, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu. Kamu tahu legenda seorang anak laki-laki yang tinggal di atas bukit dan terkurung di rumahnya karena penampilannya? Setiap hari ia melihat anak perempuan datang ke atas bukit unutk mencari sebuah bunga.
Tapi tidak ada bunga yang berhasil menarik perhatiannya. Sampai suatu hari si anak laki-laki memberanikan diri keluar dari rumah untuk memberitahu bunga terbaik di kebunnya. Tapi anak perempuan itu tidak pernah datang lagi. Si perasaan dan bunga anak laki-laki itu tidak pernah tersampaikan.
Aku tidak mau menjadi anak itu. Aku ingin kamu tahu, bahwa kamu sudah menjadi penghuni hatiku sejak kelas 1 SMA, sejak anak yang mem-bully-mu mengalami kecelakaan tapi kamu tetap mengunjunginya dan memberinya cokelat. Kamu berdamai dengannya, berdamai dengan keadaan, sementara aku tidak pernah berdamai dengan ayahku yang sering memukuliku sejak kecil sampai aku tidak mau mengunjunginya ketika ia stroke. Karenamu, akhirnya aku bisa berdamai dengan ayahku.
Aku ingin kita mengakan pesta teh lagi. Tapi aku bukan jadi tamu lagi, melainkan menjadi partner setiamu. Maka dari itu, datanglah ke kamarku.
Peter Gomerson
Blair terkesiap. Matanya berkaca-kaca setelah membaca surat yang diselipkan di bawah pintunya itu. Senja kini sedang turun. Sama seperti waktu itu, pertunjukannya kali ini sungguh luar biasa, Mungkin sengaja dipersembahkan kepada dua insan yang sedang memadu perasaan itu.
Blair segera berbalik dan memencet bel kamar Peter. Hanya selang lima detik sampai pintunya terbuka. Sahabatnya itu kini mengenakan setelan jas hitam yang rapi. Di belakangnya terdapat dua cangkir teh dan teko cantik yang diletakkan di atas meja ruang tamu dengan taburan kelopak bunga di sekelilinganya.
Meja itu disinari degan sempurna oleh Raja Siang yang bersiap terggelam, dibanjiri cahaya oranye yang candu.
"Peter..." Blair melangkahkan kakinya ke dalam dan menutup pintu di belakangnya.
"Apa aku bisa menggantikan Noah di hatimu?" Tanya Peter.
Blair menatap mata Peter dalam.
"Ya," air mata Blair mengalir deras. "Sangat bisa. Bahkan kamu lebih mampu di hatiku, Peter."
Blair segera menghambur ke dalam pelukan Peter sambil terisak-isak. Peter membalasnya dengan perasaan lega. Akhirnya pesannya tersampaikan.
Tanpa diketahui mereka, diam-diam mentari menghembuskan napas leganya sebelum tenggelam. Semoga sang Dewi Malam juga mengetahui pesannya nanti.
0 comments:
Post a Comment