INIKECE - Nikmatilah masa mudamu, karena kehidupan yang sesungguhnya dimulai setelah kamu tidak lagi duduk di bangku sekolah, kata mereka. Dulu Kania setuju dengan kalimat itu, meski pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar.
Setidaknya, ia benar-benar menikmati masa awal SMA-nya dengan baik. Ia pintar dalam hal akademik, aktif dalam kegiatan non akademik dan memiliki teman-teman yang asik. Seperti kebanyakan murid SMA, ia juga pernah melakukan kenakalan seperti membolos untuk menonton konser band favoritnya, pergi ke kantin ketika pelajaran berlangsung, dan sebagainya. Kata orang, tidak afdol bila semasa SMA tidak pernah melakukan hal semacam itu.
Semua berjalan seperti yang Kania harap, hingga saat liburan semester satu kelas sebelas ia melihat sesuatu yang ia harap tidak pernah diketahuinya seumur hidup. Saat itu ia baru saja turun dari bus di halte depan mall untuk bertemu dengan teman-temannya. Mereka sudah berjanji malam sebelumnya untuk menonton film yang sedang diperbincangkan banyak orang saat itu.
Tapi, mendadak semua rasa senangnya ketika ia melompat turun dari bus digantikan rasa kecewa, amarah dan kesedihan yang membaur jadi satu. Hal pertama yang dilihatnya ketika ia mendongak dari kedua kakinya yang dibalut sepatu kets berwarna putih adalah pemandangan dua orang yang tengah bermesraan di sebuah kafe di samping mall.
Kania akan turut senang apabila sosok itu adalah pasangan yang tengah memadu kasih, bukannya ayah kandungnya dengan wanita yang tidak pernah ia kenal sama sekali. Sambil menggigit bibir, ia berusaha menarik napas sebelum kedua mata ayahnya menangkap sorot matanya yang berkaca-kaca. Detik berikutnya yang Kania tahu ia sudah berlari menjauh, mengabaikan ayahnya yang melepaskan pelukan wanita di kafe itu sambil memanggil namanya.
"Kania, semua yang kamu lihat hari itu bukan seperti yang kamu pikir. Tante Winna itu hanya kerja ayah." kata ayah di depan pintu kamar Kania beberapa hari setelah kejadian. Kania tidak peduli. Ia menolak berpikir panjang. Ia rasa sakit hatinya memang sebesar itu hingga akalnya menolak untuk berupaya berpikir logis.
Ia merasa menjadi gadis yang paling terpuruk sejak kejadian itu. Bagaimana tidak, semua ia hanyalah gadis SMA yang merasa paling beruntung tinggal didalam keluarga yang harmonis. Meski kedua orangtuanya pekerja, ia merasa tidak pernah kekurangan kasih sayang. Ibu dan ayah akan selalu membuat waktu untuk keluarga di atas apapun. Sesederhana itu, yang Kania tahu semua orang tampak bahagia.
***
"Kania, hari ini nggak ada kegiatan, kan? Mau temani ibu ke toko bunga untuk caara bridal shower Tante Tia nanti malam, nggak?" tanya ibu pagi itu, membuyarkan lamunan Kania yang masih meringkuk di balik selimut.
Hari-harinya berlalu makin tak karuan sejak kejadian itu. Tak ada lagi tawa lepas yang ke luar dari bibir mungil Kania ketika keluarga kecil itu berkumpul. Pun, tatapan kasih tak tersirat lagi dari kedua mata Kania yang selalu berbinar ketika melihat yahanya.
"Cantik-cantik ya bunganya, Nia." kata ibu ketika mereka sudah tiba di salah satu toko bunga terdekat dari rumah.
Kania hanya tersenyum samar. Setiap ia melihat senyum ibunya, ia selalu akan mundur selangkah untuk memberanikan diri mengutarakan apa yang sudah dilihatnya dua bulan lalu. Ia tak sanggup membayangkan senyuman yang meneduhkan itu akan sirna dari wajah wanita yang telah melahirkannya itu.
"Menurut kamu bagusan yang mana? Bunga daisy putih atau atau mawar putih?" tanya ibu lagi, menunjukkan buket bunga daisy di tangan kanan dan buket mawar putih di tengan kirinya.
Kania tampak menimbang sebentar sebelum ibu menyahut, "dulu ayah kamu melamar ibu pakai bunga daisy putih. Bunga ini memang terlihat sederhana, tapi justru dia dikagumi karena kesederhanaannya yang indah."
"Mawar, aku pilih mawar." jawab Kania cepat.
Ibu tampak mengernyit melihat perubahan tingkah laku Kania yang tiba-tiba, tapi tak mengatakan apa-apa. Setelah ibu membayar buket bunga mawar putih pilihan Kania, mereka segera masuk mobil. Ibu menghidupkan mesin, tapi tak kunjung menginjak pedal gas.
"Kania."
Kania yang menunduk sambil menautkan jemarinya pun mendongak. Perasaannya mendadak tidak enak.
"Akhir-akhir ini ibu perhatikan kamu sudah jarang kumpul sama teman-teman dan lebih banyak menyendiri di kamar. Ada apa, sayang?'
Kania menelan ludah. Ia tahu pertanyaan itu akan keluar dari mulut ibunya, tapi ia tak menyangka ibu akan bertanya pagi itu setelah ia mantap untuk mengubur dalam-dalam lukanya.
"Kamu tahu kan, kamu memang nggak bisa cerita semua yang kamu mau ke orang di dunia ini. Kecuali ibu, jadi, cerita sama ibu, nak. Setidaknya penting apapun itu seperti kamu cerita soal sosis goreng di kantin waktu TK dulu atau sepenting cerita kamu menang lomba cerdas cermat waktu SMP. Ceritakan itu semua, ibu pasti akan selalu dengar."
Kania menghirup napas dalam. Tenggorokannya tercekat. Detika berikutnya tak ada sepatah kata pun yang ke luar dari bibirnya selain air mata yang mulai mengalir membasahi pipinya. Ternyata sesakit itu luka yang dirasakannya hingga ia tak mampu berkata-kata. Ia hanya menuangkan semuanya dalam tangisan. Semenit, tiga menit, lima menit, ibu terus menggenggam tangan Kania sambil mengelusnya lembut, berusaha menenangkan putri remaja satu-satunya itu.
"Bu, maafin Kania, bu." kata Kania lirih di sela isak tangisnya.
Ibu tersenyum tipis sambil mengangguk.
"Ini soal ayah, Kania nggak tega ngomong ini ke ibu." kata Kania, ia menatap jauh ke dalam mata ibu yang sabar menunggunya. "Beberapa bulan lalu Kania lihat ayah lagi di kafe sama wanita yang kata ayah cuma teman kerjanya, tapi"
Kalimatnya terhenti. Kania berusaha sekuat tenaga menahan tangis yang seperti akan tumpah lagi. Di balik pandangan matanya yang kabur akibat air mata, Kania masih dapat melihat dengan jelas ibunya tetap tersenyum tipis. Tak ada raut amarah sedikit pun yang terlihat di wajah wanita awal kepala empat itu.
"It's okay, it's okay, sayang, kalau kamu nggak sanggup cerita." kata ibu. "Ibu tahu kamu mau ngomong apa."
Ibu mengangguk setelah diam sesaat. "Maafin ibu, Kania, karena kamu harus melihat kejadian itu. Maafin ibu, nak"
"Kenapa ibu minta maaf? Kenapa, bu?" tanya Kania tak habis pikir. "Harusnya ayah yang minta maaf sama ibu, sama kita."
"Ibu paham kamu pasti kesal dengan ayah, tapi ibu mohon jangan benci ayahmu, Nia."
Kania tersenyum masam. Tangisnya sudah berhenti.
"Kania, ibu mau kamu tahu bila hal semacam itu sudah biasa dalam pernikahan."
"Hal semacam itu? Selingkuh? Biasa giamana, bu?" tuntut Kania tak mengerti. "Dan gimana ibu bisa sesantai ini mendengar ini semua? Aku merasa jadi anak paling bodoh sekarang karena jadi satu-satunya pihak yang merasa sakit hati."
"Semua pernikahan pasti ada masalah, nak. Entah itu adu argumen karena masalah sepele atau bahkan masalah yang besar. Mungkin kamu selama ini selalu melihat ibu dan ayah baik-baik saja karena memang kami memilih bertingkah demikian di depan kamu, tapi itu tidak berarti ibu dan ayah tidak pernah beradu argumen di belakang kamu. We did, a lot."
Ibu mendesah pelan sebelum menlanjutkan. "Ibu nggak sepenuhnya menyalahkan ayah kamu yang memilih untuk melampiaskan dengan mencari kebahagiaan di luar rumah, di belakang ibu. Ibu tahu ayah butuh waktu dan ibu yakin pada akhirnya ayah akan tetap kembali ke rumah yang sesungguhnya, yaitu ibu dan kamu."
Kania menggeleng tak percaya atas penjelasan ibu. "Nggak bisa gitu dong, bu. Kenapa ibu diam aja kalau ibu selama ini tahu? Apa ibu nggak sakit hati? Ibu sudah nggak cinta sama ayah?"
Lagi, ibu tersenyum. "Nggak, Kania. Tentu saat pertama kali ibu tahu ayah berhubungan dengan wanita itu di belakang ibu, ibu merasa hancur. Ibu marah, marah sama ayah, protes ke Tuhan. Dalam perselingkuhan, kita nggak bisa menyalahkan satu pihak saja. Kita harus bisa berpikir logis untuk melihat dari berbagai sisi. Entah itu ibu introspeksi diri, mencoba mengerti pemikiran ayah dan pemikiran wanita itu."
Kania hanya menunduk sambil menggeleng pelan. Ia berusaha mencerna semua penjelasan ibu yang terasa tidak masuk akal dalam idealisme-nya sebagai remaja.
"Kania, ibu mau kamu paham ini. Kelak suatu saat nanti, saat kamu sudah mulai punya pacar atau akan berumsah tangga, nggak menutup kemungkinan kejadian seperti ini akan terjadi. Kalau kamu tanya ibu apa ibu cinta sama ayah, jawabannya tentu. Karena kalau tidak, ibu nggak akan bertahan sejauh ini."
Keduanya tersentak ketika seorang pria paruh baya mengetuk kaca jendela di samping kemudi. Itu adalah bapak tuakng parkir yang mengingatkan ibu untuk segera pergi karena ada pelanggaran baru yang datang.
Setelah ibu memberi uang parkir, wanita itu segera menginjak pedal unuk melaju membelah kepadatan ibu kota. Baik dirinya dan Kania sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing selama lima belas menit perjalanan.
***
Tak ada yang begitu berubah setelah percakapan dengan ibu di depan toko bunga dua minggu lalu. Kania sudah terlanjut kehilangan kepercayaan terhadap ayah. Meski yang dilihatnya, sepertinya ayah sudah menjauh dari Tante Winna atau siapapun itu. Malam sebelumnya ibu bahkan masuk ke kamar Kania untuk mengingatkannya bila semua baik-baik saja.
"Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, sayang." kata ibu ketika melihat Kania mengemas buku pelajarannya ke dalam tas.
"Ibu sudah berbicara dengan ayah. Kita jadikan semua pelajaran. Maafkan ayahmu ya, nak. Kita ini keluarga."
Hari-hari terus berlalu dengan berbagai hal yang membuat semua orang berproses, entah untuk menjadi lebih dewasa, lebih sukses atau apapun itu. Semua orang berpindah. Entah berpindah ke lain hati, ke lingkungan lain, atau melupakan kenangan buruk di masa lalu. Semua berubah, baik menjadi lebih baik atau bahkan lebih buruk.
Tak ada yang seratus persen sama seperti sebelumnya. Tak terkecuali Kania yang hari demi hari belaar menerima dan memahami. Di awal usainya yang menginjak dua puluh, ia baru dapat mengerti penjelasan ibu di depan toko bunga saat itu.
Ia cukup menyesali hal terpahit yang ia tahu dari penghianatan beberapa tahun lalu itu dilakukan bukan oleh musuhnya, melainkan orang yang paling disayanginya. Ia sudah terlanjut kecewa, hingga apapun hal baik yang dilakukan ayah akan selalu terlihat buruk baginya. Hingga ia berada di titik itu, Kania rasa ia sudah bisa menerima seperti yang ibu alami dulu. Ia tak mungkin lupa, tapi ia sudah memaafkan.
Sambil berdiri di depan cermin yang memperlihatkan pantulan dirinya menggunakan terusan selutut berwarna putih, Kani tersenyum. Fokusnya teralih ketika mendegar ponselnya berbunyi. Itu pesan masuk dari ayah yang mengatakan bila ia sudah tiba di depan indekos putrinya.
"Hai, Kania. Apa kabar, nak?" tanya ayah ketika Kania menghambur ke pelukan pria itu. Wajah ayah masih sama seperti beberapa waktu lalu, hanya saja terlihat ada sedikit semburat putih di rambutnya yang tebal.
Pagi itu mereka bersama-sama naik mobil menuju pemakaman dekat rumah mereka tinggal dulu yang memakan waktu dua jam dari indekos Kania. Sambil menghela napas, ayah menggenggam jemari putri satu-satunya dengan erat ketika mereka sudah tiba di tempat tujuan.
Mendadak, Kania merasa nostalgia. Sejak ia memutuskan untuk kuliah ke luar kota, ia jadi jarang bertemu ayah dan merindukan semua interaksi kecil antara orangtua dan anak yang biasa mereka lakukan dulu. Kania tahu, sesakit hati apapun ia pada ayah, ia tak akan bisa membenci pria itu.
"Hai, sayang. Apa kabar? Aku datang sama Kania sekarang. Dia sering sibuk, jadi jarang angkat telepon." kata ayah sambil meletakkan bunga daisy putih di atas makam ibu. Pria itu berjongkok untuk mengelus nisan yang tampak berdebu.
Kania melakukan hal yang sama. Sambil menahan air mata yang akan segera tumpah, ia mengelus pahatan di kayu yang mengukir nama ibunya. Ia rindu ibu. Rindu berkeluh kesah di telepon hampir setiap malam, rindu mencium aroma moringa yang melekat pada tubuh ibu, rindu melihat senyumnya yang selalu berhasil meneduhkan Kania apabila gadis itu pulang sekolah dengan menyimpan segala keluh kesah.
Ia rindu segala sesuatu tentang ibu. Ibu mengajarkan banyak hal, terutama untuk selalu ikhlas dan memaafkan. Mungkin ia tak akan menjadi gadis pemaaf seperti ibu bila tidak dibesarkan oleh ibu yang jauh lebih pemaaf. Ingin rasanya ia menghmburk ke dalam pelukan ibu pagi itu untuk mengatakan, "bu, aku sudah menerima semuanya. Ibu jangan khawatir." tapi terhalang dimensi yang berbeda.
"maafkan ayah," gumam ayah melihat putrinya yang tampak berkaca-kaca di samping makam istrinya. Sejak sebulan lalu Kania memustuskan untuk kembali menghubungi dirinya, ia tahu tak akan bisa menebus kesalahn beberapa tahun lalu dengan apapun.
Kania tersenyum. Pagi itu di bawah terangnya matahari yang tak malu-malu menunjukkan batang hidunya, untuk pertama kalinya ia bersyukur karena sudah pernah merasakan pengkhianatan. Pengkhianatan memang selalu meninggalkan bekas luka, dan seiring prosesnya bekas luka itu akan pudar karena pengampunan. Ia menghargai semua prosesnya. Semua yang melibatkan dirinya, ibu dan juga ayah. Pada akhirnya ucapan ibu terkbukti, perasaan ayah tidak memudar, justru bertambah kuat berkat keteguhan dan kesetiaan ibu. Mungkin semua itu tidak akan pernah ia rasakan bila empat tahun yang lalu ia tak melihat ayah dan Tante Winna di dalam kafe alih-alih asik menonton film bersama teman-temannya.
***
Profil Singkat
Maura Nabila lahir di Medan 21 tahun sialam, lalu pindah ke Sidoarjo dan saat ini sedang berusaha menyelesaikan skripsi untuk mendapatkan gelar dari salah satu universitas di Semarang. Penulis memiliki cukup banyak imajinasi dan suka menuangkannya dalam bentuk tulisan, namun sebagian besar dari mereka hanya bertahan menjadi tumpukan di draft laptop penulis.