Ramadan Punya Cerita, Maira Dan Lontong Raksasa
INIKECE - Sore itu suasana salah satu rumah di pinggiran kota Tangerang Selatan lumayan sepi, gadis kecil berusia lima tahun itu melirik ke kanan juga kiri dari balik tirai depan pintu kamarnya untuk memastikan bahwa rumah yang dihuninya benar-benar tidak ada manusia lain selain dirinya seorang.
Setelah memastikan situasi memang tidak ada napas manusia lain selian dirinya, gadis itu bergegas masuk dalam kamarnya dan mengeluarkan seonggok lontong yang dari tadi bersembunyi dalam kantong celananya.
"Assalamualikum"
Saking asiknya mengupas daun pisang yang menyelimuti tubuh lontong tersebut, gadis itu sampai tak menjawab salam, jangankan menjawab, seluruh perhatiannya sudah tertuju pada lontong yang sudah telanjang tersebut sampai-sampai suara salam dari ruang tamu pun tak terdengar.
Rupanya ibu dari anak perempuan manis tersebut pulang lebih awal dari sekolah tempatnya mengajar.
"Rumah apa kuburan ya, kok gak ada yang jawab salam."
Setelah meletakkan sepatu pada tempatnya, wanita tersebut pun mencari apakah ada orang lain di dalam rumah, sebab pintru rumah tak terkunci.
"Maira anak mamah yang cantik mana, ya?' panggilnya sambil membuka pintu kamar Maira, namun ia dapati tidak ada seorang pun dalam kamar tersebut, tapi saat pintu kamar itu ingin kembali ditutup terdengar suara bersin dari balik pintu.
Ternyata Maira sembunyi di balik pintu dengan lontong yang baru ia kupas di tangannya.
"Loh ade? Ngapain di belakang pintu?"
Tanya ibunya, namun Maira hanya membalas dengan senyum lebar dan giginya yang ompong di tengah. Maira kebingungan karena ibunya pulang mengajar lebih cepat dari biasanya.
"Apa yang kamu sembunyiin?' Nggak ada kok, Ma!" "Itu apa ditangan kamu?"
Sontak Maira pun menjatuhkan lontong yang berada di tangan yang bersembunyi di belakang tubuhnya.
"Nggak ada kok, Ma" "Oooohh, ngga ada ya. Terus itu apa di belakang kamu?" "Lontong, siapa yang taro di situ? Kan lengket nanti."
Dengan berlagak tidak tau apa-apa, Maira pun mengambil lontong tersebut.
"Kamu mau makan lontong itu ya tadi?"
Kata ibunya dengan wajah meledek yang memaksa anaknya untuk berkata jujur.
"Nggak kok, Maira juga baru tahu."
Namun si ibu makin memasang wajah yang membuat Maira jujur akan perbuatannya. Tatapannya begitu tajam sehingga mata Maira mulai berkaca-kaca. Tangisnya pun meledak.
"Iyaa! Huuhuuuu Maira tadi mau makan lontong iniii.." Air mata Maira mengalir deras.
"Maira laper sekalii huhuhuhu... Maira takut mati..."
Ibu Maira pun menuntunnya untuk duduk bersebelahan di kasur.
"Sini anak mama yang cantik, nggak pernah ada ceritanya orang yang meninggal gara-gara puasa, yang ada juga sehar gara-gara puasa, toh orang kalau mau operasi aja harus disuruh puasa dulu sama bu dokter. Ya emang begini puasa, sayang."
Maira masih terisak.
"Gini deh, kalo kamu berhasil puasa sampai magrib setiap harinya mama kasih kamu uang lima irbu, tapi kalo gagal satu hari aja berarti hangus, gimana?"
Tawaran itu juga tidak membuatnya berhenti meneteskan air mata.
"Dan, selama kamu mau berbuka kamu bebas mau makan apa aja, nanti mama beliin."
Anak itu pun menatap ibunya dengan wajah imut yang berlinang air mata dan jari kelingkingnya yang disodorkan ke ibunya itu sebagai tanda perjanjian antara mereka berdua.
Sorenya Maira ingin berbuka dengan lontong favoritnya, lontong bang Ikram. Ditemani dengan sang kakak, Aura, Maira pun bergegas ke tempat bang Ikram berjualan beberapa makanan dan minuman.
"Assalamualaikum" "Waalaikumsalam, eh Aura. Ngabuburit?" "Iya nih, si Maira mau beli lontong, eh mana ya anaknya?"
Maira pun sudah lebih dahulu memasukan beberapa lontong ke dalam kantong plastik.
"Aku disini, teh!" "Udah belum?" "Udah nih" "Ya Allah banyak banget kamu ngambilnya siapa yang mau makan lontong segini banyaknya?" "Ya akulah teh! Aku kan lagi puasa, laper. Pasti makan lontong segini doang mah." "Bener ya? Kalo nggak habis lontongnya nangis loh!" "Iya bener!"
Di rumah ternyata ibu sudah menyiapkan beberapa makanan juga minuman dingin untuk berbuka puasa di hari pertama.
Menjelang magrib mereka berkumpul di meja makan.
"Ayooo dong adzan aku laper banget nih, ga tahan mau makan lontong!" kata Maira lucu. Tak lama azan maghrib pun berkumandang, keluarga kecil itu pun langsung berdoa dan berbuka dengan menu santapan yang sudah hadir di tengah-tengah mereka, namun setelah minum es buah dan menyantap sebuah lontong Maira merasa sudah sangat kenyang.
"Ya Allah, aku kenyang banget!"
"Tuh kan teteh bilang, jangan banyak-banyak belinya, sekarang mau diapain lontong-lontong ini?""Gatau, teh. Aku kenyang banget, aku ke kamar dulu yaaa""Heh Mairaaa!"
Maira pun menuju ke kamarnya, namun betapa kagetnya ia saat melihat dinding-dingin di sekitar kamarnya menjadi sebening kaca.
"Wooaaa! Kamarku? Ah keren banget!"
Maria pun takjub dengan apa yang terjadi pada kamarnya, namun beberapa saat kemudian terdengar suara tangisan dari langit-langit kamar barunya itu.
"Hiks..hikss.."
Dilihatnya beberapa lontong sebesar dirinya terkapar di ujung kamarnya
"Wow! Ada lontong raksasa! Hai lontong, kamu kenapa nangis?""Kamu? Kamu kan yang membeli aku dari warung bang Ikram, kenapa kamu ngga makan aku?"
Maira pun terkaget-kaget karena lontong-lontong itu bisa tahu bahwa dirinya lah yang membeli mereka dari warung bang Ikram.
"Eh bukan begitu, aku kira aku bakal abis makan lontong yang banyak, soalnya aku puasa, laper banget."
Kata Maira mencari pembelaan.
"Tapi kenyataannya enggak, kan? Sekarang kamu mau apakan kami?" "Iya, kamu mau apakan kami?" "Hiks..hiks..."
Saut beberapa lontong yang menuntut untuk diperlakukan selayaknya makanan yang lain yaitu dimakan.
"Eh, kok aku?"
Lontong-lontong itu pun mendekati Maira, Maira pun berlari ke sana kemari namaun hasilnya nihil, karena kini dia telah terkepung oleh lontong-lontong raksasa yang menangis meminta di makan.
Maira pun takut bukan main, ia pun ikut menangis.
"Mamaaa! Teteh Rara! Tolong Rairaaa!"
"Dek, bangun! Jangan tidur sehabis makan!"
Maira terbangun dan langsung memeluk kakaknya erat.
"Teteh, lontong aku masih ada?" "Ada tuh, tinggal dua. Papa udah pulang, tadi dia makan lontongnya, kenapa?" "Hehe, nggak apa-apa yang penting lontongnya dimakan jadi gak mubadzir."
Maira pun langsung berlari menuju tempat lontongnya disimpan, kini Maira sadar bahwa buka puasa bukanlah ajang balas dendam kepada perut yang keroncongan selama satu hari penuh.
Besok, lusa, juga seterusnya Maira pun berbuka secukupnya, tidak lagi berlebihan.
Cerpen ini ditulis oleh remaja yang baru lulus Aliyah, Muhammad Fadli Dzul Ikram. Merupakan sosok pemuda yang aktif dalam membuat puisi dan cerita-cerita yang dia publikasikan di beberapa media sosialnya.
0 comments:
Post a Comment